Rabu, 27 Oktober 2010

Hadza fi Masyiatillah

Selasa, 26 Oktober 2010, 15.08 WIB

Oleh: Hibatun Wafiroh
Cinta. Istilah yang kepopulerannya melampau batas ruang dan waktu. Nenek moyang kita yang hidup beribu-ribu tahun yang lalu telah mengenal term tersebut. Nabi Adam, sang manusia pertama, menumpahkan perasaan cintanya kepada Hawa hingga lahirlah umat manusia yang jumlahnya membeludak seperti saat ini. 

Cinta adalah napas kehidupan. Demikian aku biasa berujar. Coba bayangkan, Sobat! Dapatkah kita hidup tanpa menghirup oksigen? Dapatkah kita hidup tanpa bernapas? Jawabannya: tidak. Begitu pun dengan cinta. Tanpa cinta, aku haqqul yaqin, ekosistem di muka bumi ini akan binasa. Akan kuberikan satu bukti. Pernah mendengar kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap darah dagingnya? Tahu kenapa sang ibu tega menghabisi nyawa anak yang dikandungnya? Karena saat terjadi peristiwa itu tidak ada rasa cinta dan belas kasih yang tersisa di hati sang ibu. Inilah contoh sederhananya. Akhirnya aku berani mengatakan, tanpa cinta, bumi seisinya bak neraka. Yang ada hanya kebencian, pertikaian, penganiayaan dan peperangan.

Beruntung sekali kita hidup dengan dilingkupi cinta, baik dari sanak keluarga, guru, teman, tetangga maupun masyarakat. Kita patut mensyukuri nikmat ini. Kita patut bersyukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas anugerah cinta ini. Kita pun selayaknya mempersembahkan hal yang sama kepada orang-orang yang mencintai kita, yaitu cinta. Dus, kedamaian hati betul-betul kita rasakan bila kita saling mencintai. Saling mencintai akan berimplikasi pada kesediaan untuk saling menolong. Pada gilirannya, ayat Qur’an yang berbunyi: “dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan” akan menjelma dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Tulisan tiga paragraf di atas hanya sebagai prolog. Sebetulnya aku ingin bercerita tentang pengalaman pribadiku dalam tulisan ini. Sebagaimana prolognya, tulisanku nanti juga berkutat pada topik cinta. Hanya saja kubatasi pada cinta antar lawan jenis. Ya, akan kubeberkan kisah percintaanku agar orang lain dapat mengambil hikmahnya. Akan kubuncahkan apa yang menderu-deru di dadaku agar aku merasa lega, plong dan terbebas dari beban berat. Aku percaya bahwa salah satu manfaat menulis adalah menghilangkan beban pikiran. Karenanya, aku gemar sekali mencatat perjalanan hidupku.

Pada hari-hari biasanya aku curhatkan masalah pribadiku di diary. Tapi entah, kali ini aku ingin sekali memublikasikan dan mempostingnya di blog. Semoga apa yang kutulis ini bermanfaat untuk diriku sendiri dan orang lain. Amin....
***

Adakah yang mengingkari bahwa perjumpaan dengan kekasih adalah momen indah yang selalu dinanti oleh siapa saja? Apalagi jika mereka sama-sama terpisahkan oleh jarak dalam tenggat yang begitu lama. Kebahagiaan seketika hinggap di hati saat berlangsungnya pertemuan itu.

Aku bukan kategori perempuan yang baru pertama kali jatuh cinta. Bukan! Aku cukup berpengalaman dalam urusan cinta. Ketika masih belajar di kelas VIII aku pernah mencintai seorang teman lantaran kepandaian dan kejeniusannya. Kami selalu berebut gelar juara kelas. Tapi dewi fortuna lebih memihakku. Selama dua tahun berada di kelas yang sama (kelas VIII dan IX), aku yang memenangkan persaingan itu. Hingga tahun terakhir di tingkat SLTA aku tak lelah mengagumi dan menyukainya walaupun kami menimba ilmu di madrasah yang berbeda. Jarang bersua tak bisa kujadikan alasan untuk melupakannya. Surat yang pernah dilayangkannya berulang-ulang kubaca tanpa sedikit pun rasa bosan.

Cinta pertamaku mulai luntur kala aku menanggalkan status pelajar SLTA dan bergelut di dunia kampus. Semester dua aku menemukan tambatan hati yang tak lain adalah teman kuliahku. Tepatnya teman sekomunitas. Kami sama-sama tercatat sebagai member sebuah komunitas bergengsi di lingkup Departemen Agama, yakni Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA). Di mataku dia seorang pemuda berbudi luhur dan baik hati.

Tapi malang, hampir dua tahun berkomitmen untuk saling mencintai dan setia, mendadak aku tak sreg dengannya. Di mataku, dia tidak lagi seperti dulu. Perhatiannya kepadaku mulai surut. Dia lebih mementingkan egonya. Itulah beberapa alasan kenapa aku memutus ikatan yang terjalin cukup lama itu. Akhirnya cinta keduaku putus di persimpangan jalan sebelum ia resmi mengucapkan janji suci di depanku. Padahal sebelumnya kami berjanji akan membawa ikatan ini ke jenjang pernikahan. Ah, janji yang tak mampu kutepati. Itulah bagian dari masa laluku yang –kuyakin– menyimpan pelajaran berharga.

Dan cinta yang terakhir kurasa terkesan sangat aneh. Benar-benar sulit dinalar. Aku menyukai seorang teman virtual. Lamat-lamat rasa cinta tumbuh akibat sering berinteraksi di dunia maya –chatting. Duh Gusti, kenapa aku bisa menaruh simpati pada orang yang belum pernah kulihat dengan mata kepadaku sendiri? Aneh bin ajaib. Eit... tapi jangan dikira aku menyukainya semata-mata karena hasil obrolan ngalor-ngidul di dunia maya. Aku telah menelusuri riwayat hidupnya dari orang-orang yang pernah bersinggungan dengannya meski sebagian kecil saja info yang kuperoleh.

Aku berharap mendapatkan orang sebaik dia. Juga realistis bila ternyata dia sama sekali tidak menghiraukanku. Selepas salat maktubah aku selalu memanjatkan doa sederhana, “Ya Allah, jika dia kelak akan berjodoh denganku, biarlah rasa ini bertahan di hatiku. Jika nyatanya ada orang lain yang lebih baik untukku, maka segera sirnakan rasa ini.” Selama hampir sepuluh bulan doa itu selalu kugemingkan. Selama itu pula perasaanku tidak berubah. Aku masih setia menantinya.

Baru beberapa hari terakhir ini aku menangkap indikasi bahwa dia bukan orang terbaik untukku. Kurasa, dia tak menganggap keberadaanku. Bukan tanpa alasan aku membuat kesimpulan seperti itu. Wujudy ka’adamy. Mungkin inilah jawaban doaku, “Jika nyatanya ada orang lain yang lebih baik untukku, maka segera sirnakan rasa ini.” Oke. Tidak apa-apa. Aku legowo menerimanya. Hanya sikapnya itu yang kusesalkan.

Tadi malam pukul 21.30 WIB dengan penuh kebencian dan kekesalan kusobek selembar kertas, lalu kubuang ke tempat sampah. Terpampang fotonya di lembar itu. Dulu aku pernah sekali iseng mencetak gambarnya memakai printer baruku. Terus terang, baru kali ini aku berbuat begitu. Baru kali ini aku mengekspresikan kebencianku seperti itu. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa hamba-Mu ini karena membenci makhluk ciptaan-Mu. Aku membenci sikapnya, bukan membenci fisiknya. Dia orang pertama yang kuberi predikat brengsek di diaryku. Astaghfirullah, semalam aku tak mampu menahan emosi. Untunglah, setelah curhat di diary perasaanku sedikit tenang.

Di paragraf keempat aku sempat menyinggung bahwa perjumpaan dengan orang terkasih adalah momen indah yang selalu ditunggu-tunggu. Dan aku bagian dari orang yang menanti itu. Aku selalu berharap pada satu saat nanti aku dapat bersua dengannya meski hanya semenit atau dua menit. Dia pun pernah berjanji mau bertemu denganku. Kupegang janjinya.

Absurd. Omong kosong. Janji hanya di bibir, tak dibuktikan sama sekali. Boro-boro berjumpa, memberi kabar via sms pun tidak. Padahal aku berharap sekali dia berkenan menghubungiku. Aku ingat, pada tanggal 29 Juni lalu dia pernah bilang ingin meneleponku karena penasaran dengan suaraku. Karena dia berada di luar negeri yang tentu saja akan menghabiskan banyak uang bila meneleponku, maka aku melarangnya. Sungguh aku tak tega melihat orang lain berkorban uang untukku.

Lagi-lagi absurd. Omong kosong. Beberapa hari lalu dia tiba di tanah air. Aku gembira sekali mengetahui kabar kepulangannya. Akhirnya aku berucap welcome to Indonesia lewat facebook yang kebetulan dia tengah online. Dia tak kunjung merespons karena ia sedang tidur di kendaraan menuju rumahnya. Aku memaklumi. Paginya kami berjumpa lagi di dunia maya tanpa perencanaan. Kami berbincang kurang lebih sejam.

Sumpah, aku kecewa dengannya. Dia pernah berujar mau menemuiku, tapi nyatanya apa? Dia malah memintaku ke rumahku. Astaghfirullah. Serendah itukah aku sehingga aku harus main ke rumah cowok. Mau ditaruh di mana harga diriku ini jika aku sampai menginjakkan kaki di rumahnya. Aku adalah perempuan yang masih memegang adat ketimuran. Bagiku, berkunjung ke rumah lelaki adalah hal yang tabu. Seumur-umur aku tak pernah menjejakkan kaki di rumah teman cowok kecuali rame-rame bersama teman kelas. Itu pun dalam rangka kunjungan atas nama kelas, bukan atas nama pribadi. Dan sekarang dia memintaku ke rumahku. Oh tidak!!

Kecewaku yang lainnya disulut oleh kenyataan bahwa dia sama sekali tak menghubungiku. Katanya dulu penasaran dengan suaraku, nyatanya apa? Harusnya kalau dia benar-benar menganggapku penting, minimal menganggap keberadaanku, mestinya dia meneleponku. Sampai hari ini handphoneku tak berdering. Aku kecewa!!

Oke. It’s never mind. Aku tak boleh menjadi perempuan yang lemah, cengeng dan rapuh. Aku tak boleh down hanya gara-gara masalah sepele ini. Di sudut hatiku ada keyakinan bahwa semua ini atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadza fi masyiatillah. Jika kami tidak berjumpa, berarti demikianlah skenario Allah yang harus kujalani. Kalau dia tak berkenan berbincang langsung denganku melalui telepon seluler, berarti Allah tak mengizinkanku mendengar suaranya. Jika dia tak lagi menaruh rasa padaku, berarti mungkin dia bukan orang terbaik yang disiapkan oleh Allah untukku.

Sebagai penutup tulisan ini, ingin kukatakan bahwa aku adalah perempuan tegar yang siap menghadapi persoalan hidup. Aku adalah perempuan yang yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa segala aktivitas makhluk di muka bumi ini dikendalikan oleh Allah. Dialah Sang Mudabbir. Hidup, mati, rezeki dan jodoh ada di genggaman-Nya. Tak selayaknya aku terlalu membencinya. Tak ada gunanya aku terlalu memikirkannya. Saat ini aku ingin fokus menggarap skripsi dengan harapan bulan Maret 2011 nanti aku telah merampungkan studi S1 di kampus ini. Daripada pusing memikirkan pemuda itu, lebih baik aku belajar, membaca dan menulis. Aku harus memanfaatkan sisa waktu yang singkat ini. Semoga Allah memudahkan segala urusanku. Aku turut berdoa, semoga dia mendapatkan hidayah dan pertolongan Allah. Semoga dia bersanding dengan perempuan yang baik dari segi etika maupun ilmunya. Akan kumintakan ampun kepada Allah untuk diriku sendiri dan dirinya. Semoga hidup kami bahagia bersama orang yang kami cintai.

Mohon maaf kepada orang yang kumaksud dalam tulisan ini. Jangan pernah marah menjadi objek tulisanku. Jangan pernah lupa, aku bercita-cita menjadi penulis. Jadi aku suka sekali meluapkan perasaanku dalam bentuk tulisan. Ini adalah media belajarku. Aku suka menulis apa-apa yang kupikirkan. Secara kebetulan saja, saat ini kamulah yang tengah melintas di pikirannya. Oleh karena itu, aku ingin menulis tentangmu. Mohon maaf ya, Sir.... 17.09 WIB

Tidak ada komentar: