Judul :
Sebelas Patriot
Penulis :
Andrea Hirata
Penerbit :
Bentang, Yogyakarta
Cetakan :
1/Juni 2011
Tebal ` : 108 halaman
Peresensi :
Hibatun Wafiroh
Andrea Hirata,
novelis ulung yang telah meramaikan jagat sastra Indonesia melalui tetralogi Laskar
Pelangi dan dwilogi Padang Bulan, kembali menyuguhkan sebuah novel
inspiratif. Berbeda dengan keenam novel sebelumnya, Sebelas Patriot
tidak dipecahnya ke dalam mozaik-mozaik–sebagaimana menjadi ciri khas penulis
asal Belitong ini. Akan tetapi, itu secuil pun tak mengurangi keindahan dan
keunikannya. Andrea tetap penulis eksentrik yang selalu menghadirkan kebaruan
dan kecemerlangan.
Ide utama yang
diusung dalam novel yang mendapat sambutan hangat dari Menteri Pemuda dan
Olahraga, Andi Malarangeng, ini adalah patriotisme. Semangat cinta tanah air
harus senantiasa berkobar dalam situasi paling mencekam sekalipun. Adalah
kewajiban bagi setiap individu untuk membela bangsa dan negaranya. Apapun harus
dikorbankan demi kejayaan tanah air.
Digambarkan dalam
novel ini bagaimana tiga kakak beradik yang dipaksa Belanda menjadi kuli parit
tambang di usia yang masih sangat muda, melakukan perlawanan terhadap penjajah
dengan caranya sendiri, yaitu sepak bola. Mereka lihai bermain bola. Si sulung
berperan sebagai gelandang, si tengah di posisi kanan luar dan si bungsu
sebagai sayap kiri. Tersembur dari anak-anak miskin ini bakat yang hebat.
Mereka tergabung dalam sebuah tim yang kompak. Alhasil, mereka kerap menggondol
kemenangan dalam pertandingan antar unit di lingkungan maskapai timah.
Kabar tentang kehebatan
tiga pemain unggul itu terdengar oleh Van Holden, pimpinan Destric beheeder
yang membawahi wilayah ekonomi Bangka dan Belitong. Mereka dilarang bermain
sepak bola, tapi mereka tidak menghiraukan. Dengan segala bahaya yang
mengancam, mereka nekat bermain. Akhirnya mereka diangkut paksa ke tangsi,
tempat hukuman bagi para ekstremis. Si sulung dan si tengah dibuang ke sebuah
pulau. Sementara si kecil kembali berodi di parit tambang.
Tak lama kemudian
si bungsu yang baru berumur 13 tahun kembali merasakan getir di tangsi lantaran
menolak titah Van Holden untuk memperkuat tim Belanda. Akibat pembangkangan ini,
dia digiring ke sebuah pulau untuk membangun mercusuar.
Perjuangan belum
usai. Sekembalinya dari pulau buangan, tiga pemain poten-sial itu terlibat lagi
dalam pertandingan sepak bola meski larangan tetap diberlakukan. Di babak final
mereka melawan tim Belanda. Dengan formasi segitiga maut, mereka menggempur
pertahanan kompeni. Untuk kali pertama tim Belanda berhasil dikalahkan. Tidak
sangsi, lapangan sepak bola menjadi medan perang untuk melawan penjajah.
Belanda tidak
menerima kekalahan, justru gusar dan menjebloskan tiga kakak beradik itu ke
dalam tangsi. Hukuman tak tertangguhkan pun dilayangkan kepada si bungsu yang
sukses mencetak satu-satunya gol dalam pertandingan itu. Tempurung kaki kirinya
hancur. Dengan kondisi yang demikian memilukan, ia tak mungkin bisa bermain
bola lagi. Tamat sudah karier persepakbolaannya.
Si bocah bungsu
yang bernasib malang itu tak lain adalah ayah Ikal. Bermula dari foto usang
yang ditemukan Ikal–tokoh sentral dalam novel ini–di bawah tumpukan pakaian
bekas. Foto seseorang tengah memegang sesuatu yang seharusnya membuatnya
senang. Foto itu menjadi tabir misteri yang ingin disingkap Ikal. Misteri di
balik foto itu pun akhirnya terkuak setelah dia menanyakan kepada pemburu tua.
Ternyata itu ialah foto ayahnya yang diambil beberapa saat setelah meraih
kemenangan dari tim Belanda.
Dari situ Ikal
bercita-cita menjadi pemain PSSI, menggantikan ayahnya yang tumbang akibat
kesemena-menaan Belanda. Bahkan dia ingin bertindak sebagai sayap kiri seperti
ayahnya. Langkah perdana ditempuh Ikal, yakni mendaftar menjadi pemain di klub
kampung dan berhasil.
Dari klub kampung
Ikal melangkah ke posisi pemain yunior kabupaten. Semakin berpijar semangatnya
untuk menjadi bagian dari PSSI. Namun ia gagal pada seleksi pemain yunior
provinsi. Padahal untuk menjadi pemain PSSI tinggal selangkah lagi. Sedih tak
terperi pun ia rasakan. Mimpi terbesarnya terhempas oleh nasib. Ikal tak putus
asa. Ia mencoba mengikuti seleksi di kesempatan berikutnya. Lagi-lagi ia gagal.
Beruntung ada ayah
yang senantiasa membesarkan hatinya. “Prestasi tertinggi seseorang, medali
emasnya, adalah jiwa besarnya,” petuah sang ayah yang selalu diingat Ikal. Berjiwa
besar tatkala ditimpa kegagalan dalam hal apapun.
Sebagai penutup
cerita, Ikal yang mendapatkan beasiswa di Universitas Sorbone, berhasil
menghadiahkan kaus Luis Figo kepada ayahnya. Butuh perjuangan keras untuk
mendapatkan kaus bertanda tangan asli pemain Portugal itu. Betapa tidak, uang
di kantong Ikal hanya 60 euro, sementara harga kaos itu 250 euro. Kaus itu
sangat berharga mengingat pemain kesayangan ayahnya adalah Luis Figo, di
samping PSSI. Setelah bekerja siang dan malam sebagai general assistant di
klub yunior Barcelona, ia pun dapat membawa pulang kaos tersebut.
Dus, novel Sebelas
Patriot telah menyuburkan patriotisme ke dalam jiwa para pembacanya.
Novel ini patut dibaca oleh semua kalangan. Andai seluruh komponen bangsa
Indonesia memiliki patriotisme, tentu negeri ini akan jaya dan makmur. Andai
para pejabat berjiwa patriotik, tentu penyelewengan jabatan hatta korupsi tidak
akan terjadi. Selamat membaca.
Peresensi adalah penikmat baca dan tulis
asal Demak, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar