Rabu, 12 Desember 2012

Menyuburkan Patriotisme


Judul               : Sebelas Patriot
Penulis             : Andrea Hirata
Penerbit           : Bentang, Yogyakarta
Cetakan           : 1/Juni 2011
Tebal   `           : 108 halaman
Peresensi         : Hibatun Wafiroh

Andrea Hirata, novelis ulung yang telah meramaikan jagat sastra Indonesia melalui tetralogi Laskar Pelangi dan dwilogi Padang Bulan, kembali menyuguhkan sebuah novel inspiratif. Berbeda dengan keenam novel sebelumnya, Sebelas Patriot tidak dipecahnya ke dalam mozaik-mozaik–sebagaimana menjadi ciri khas penulis asal Belitong ini. Akan tetapi, itu secuil pun tak mengurangi keindahan dan keunikannya. Andrea tetap penulis eksentrik yang selalu menghadirkan kebaruan dan kecemerlangan.

Ide utama yang diusung dalam novel yang mendapat sambutan hangat dari Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Malarangeng, ini adalah patriotisme. Semangat cinta tanah air harus senantiasa berkobar dalam situasi paling mencekam sekalipun. Adalah kewajiban bagi setiap individu untuk membela bangsa dan negaranya. Apapun harus dikorbankan demi kejayaan tanah air.

Digambarkan dalam novel ini bagaimana tiga kakak beradik yang dipaksa Belanda menjadi kuli parit tambang di usia yang masih sangat muda, melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan caranya sendiri, yaitu sepak bola. Mereka lihai bermain bola. Si sulung berperan sebagai gelandang, si tengah di posisi kanan luar dan si bungsu sebagai sayap kiri. Tersembur dari anak-anak miskin ini bakat yang hebat. Mereka tergabung dalam sebuah tim yang kompak. Alhasil, mereka kerap menggondol kemenangan dalam pertandingan antar unit di lingkungan maskapai timah. 

Kabar tentang kehebatan tiga pemain unggul itu terdengar oleh Van Holden, pimpinan Destric beheeder yang membawahi wilayah ekonomi Bangka dan Belitong. Mereka dilarang bermain sepak bola, tapi mereka tidak menghiraukan. Dengan segala bahaya yang mengancam, mereka nekat bermain. Akhirnya mereka diangkut paksa ke tangsi, tempat hukuman bagi para ekstremis. Si sulung dan si tengah dibuang ke sebuah pulau. Sementara si kecil kembali berodi di parit tambang.

Tak lama kemudian si bungsu yang baru berumur 13 tahun kembali merasakan getir di tangsi lantaran menolak titah Van Holden untuk memperkuat tim Belanda. Akibat pembangkangan ini, dia digiring ke sebuah pulau untuk membangun mercusuar.

Perjuangan belum usai. Sekembalinya dari pulau buangan, tiga pemain poten-sial itu terlibat lagi dalam pertandingan sepak bola meski larangan tetap diberlakukan. Di babak final mereka melawan tim Belanda. Dengan formasi segitiga maut, mereka menggempur pertahanan kompeni. Untuk kali pertama tim Belanda berhasil dikalahkan. Tidak sangsi, lapangan sepak bola menjadi medan perang untuk melawan penjajah.

Belanda tidak menerima kekalahan, justru gusar dan menjebloskan tiga kakak beradik itu ke dalam tangsi. Hukuman tak tertangguhkan pun dilayangkan kepada si bungsu yang sukses mencetak satu-satunya gol dalam pertandingan itu. Tempurung kaki kirinya hancur. Dengan kondisi yang demikian memilukan, ia tak mungkin bisa bermain bola lagi. Tamat sudah karier persepakbolaannya.

Si bocah bungsu yang bernasib malang itu tak lain adalah ayah Ikal. Bermula dari foto usang yang ditemukan Ikal–tokoh sentral dalam novel ini–di bawah tumpukan pakaian bekas. Foto seseorang tengah memegang sesuatu yang seharusnya membuatnya senang. Foto itu menjadi tabir misteri yang ingin disingkap Ikal. Misteri di balik foto itu pun akhirnya terkuak setelah dia menanyakan kepada pemburu tua. Ternyata itu ialah foto ayahnya yang diambil beberapa saat setelah meraih kemenangan dari tim Belanda.

Dari situ Ikal bercita-cita menjadi pemain PSSI, menggantikan ayahnya yang tumbang akibat kesemena-menaan Belanda. Bahkan dia ingin bertindak sebagai sayap kiri seperti ayahnya. Langkah perdana ditempuh Ikal, yakni mendaftar menjadi pemain di klub kampung dan berhasil.

Dari klub kampung Ikal melangkah ke posisi pemain yunior kabupaten. Semakin berpijar semangatnya untuk menjadi bagian dari PSSI. Namun ia gagal pada seleksi pemain yunior provinsi. Padahal untuk menjadi pemain PSSI tinggal selangkah lagi. Sedih tak terperi pun ia rasakan. Mimpi terbesarnya terhempas oleh nasib. Ikal tak putus asa. Ia mencoba mengikuti seleksi di kesempatan berikutnya. Lagi-lagi ia gagal.

Beruntung ada ayah yang senantiasa membesarkan hatinya. “Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya,” petuah sang ayah yang selalu diingat Ikal. Berjiwa besar tatkala ditimpa kegagalan dalam hal apapun.

Sebagai penutup cerita, Ikal yang mendapatkan beasiswa di Universitas Sorbone, berhasil menghadiahkan kaus Luis Figo kepada ayahnya. Butuh perjuangan keras untuk mendapatkan kaus bertanda tangan asli pemain Portugal itu. Betapa tidak, uang di kantong Ikal hanya 60 euro, sementara harga kaos itu 250 euro. Kaus itu sangat berharga mengingat pemain kesayangan ayahnya adalah Luis Figo, di samping PSSI. Setelah bekerja siang dan malam sebagai general assistant di klub yunior Barcelona, ia pun dapat membawa pulang kaos tersebut.

Dus, novel Sebelas Patriot telah menyuburkan patriotisme ke dalam jiwa para pembacanya. Novel ini patut dibaca oleh semua kalangan. Andai seluruh komponen bangsa Indonesia memiliki patriotisme, tentu negeri ini akan jaya dan makmur. Andai para pejabat berjiwa patriotik, tentu penyelewengan jabatan hatta korupsi tidak akan terjadi. Selamat membaca.

Peresensi adalah penikmat baca dan tulis asal Demak, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: