Rabu, 27 Oktober 2010

Hadza fi Masyiatillah

Selasa, 26 Oktober 2010, 15.08 WIB

Oleh: Hibatun Wafiroh
Cinta. Istilah yang kepopulerannya melampau batas ruang dan waktu. Nenek moyang kita yang hidup beribu-ribu tahun yang lalu telah mengenal term tersebut. Nabi Adam, sang manusia pertama, menumpahkan perasaan cintanya kepada Hawa hingga lahirlah umat manusia yang jumlahnya membeludak seperti saat ini. 

Cinta adalah napas kehidupan. Demikian aku biasa berujar. Coba bayangkan, Sobat! Dapatkah kita hidup tanpa menghirup oksigen? Dapatkah kita hidup tanpa bernapas? Jawabannya: tidak. Begitu pun dengan cinta. Tanpa cinta, aku haqqul yaqin, ekosistem di muka bumi ini akan binasa. Akan kuberikan satu bukti. Pernah mendengar kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap darah dagingnya? Tahu kenapa sang ibu tega menghabisi nyawa anak yang dikandungnya? Karena saat terjadi peristiwa itu tidak ada rasa cinta dan belas kasih yang tersisa di hati sang ibu. Inilah contoh sederhananya. Akhirnya aku berani mengatakan, tanpa cinta, bumi seisinya bak neraka. Yang ada hanya kebencian, pertikaian, penganiayaan dan peperangan.

Senin, 25 Oktober 2010

Menyelami Pemikiran Kiai Sahal mahfudh

By: Hibatun Wafiroh
A. Biografi Singkat KH. Sahal Mahfudh

Nama lengkap beliau yaitu Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Beliau lahir pada tanggal 17 Desember 1937 di sebuah desa kecil bernama Kajen, Margoyoso, Pati. Pendidikan yang pernah ditempunya adalah MI Kajen (1943-1949), MTs Mathali’ul Falah Kajen (1950-1953), kursus ilmu umum (1951-1953), Pesantren Bendo Pare, Pesantren Sarang dan pendidikan Islam di Makkah di bawah bimbingan Syekh Yasin al-Fadani (1960). Jadi sejak kecil beliau hidup di pesantren dan menekuni berbagai genre ilmu agama. Hal ini mempertajam pisau analisisnya terhadap permasalahan umat.

Kiai yang semenjak tahun 1963 mengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kejen ini, sekarang menjabat sebagai rektor INISNU Jepara, Ketua Dewan Pengawas Syariah AJP Putra, Rais ‘Am Syuriyah PBNU dua periode (1999-2004 dan 2004-2009) dan Ketua Umum MUI dua periode (2000-2005 dan 2005-2010). Di samping itu, beliau juga aktif mentransfer ilmu kepada murid-murid beliau di madrasah dan pesantren.
Sosok kiai yang pernah mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta ini terkenal sangat kharismatik, cerdas, santun, bersahaja, disiplin waktu dan sifat-sifat mulia lainnya. Beliau amat disegani oleh banyak kalangan. Meski begitu beliau tak pernah sekalipun menyombongkan kepandaiannya. Tutur kata beliau yang halus dan santun membuat beliau sangat dicintai banyak orang.

Meretas Asa di Tengah Keterbatasan

Oleh: Hibatun Wafiroh
Usiaku kala itu 17 tahun. Seragam putih abu-abu masih menempel di badan. Mungkin dua semester lagi aku tak mengenakannya karena tahun itu menjadi tahun terakhir pengembaraan ilmuku di MA Al Hikmah Kajen, Pati. Di samping menikmati pendidikan formal tingkat SLTA, aku juga nyantri di Pondok Pesantren Roudhotul ‘Ulum di desa yang sama. Perpaduan keduanya membuatku semakin kaya ilmu. Kekayaan ilmu yang menuntutku untuk mengamalkannya secara kontinu dan konsisten.

permulaan memasuki kelas XII inilah cobaan berat menghadangku. Terutama terkait masalah finansial. Bapak yang hanya seorang guru swasta, gajinya tersendat selama berbulan-bulan. Maklum saat itu belum ada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah sehingga gaji guru bersumber dari SPP belaka. Sementara ibu yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang, mengalami bangkrut. Lemari dan rak yang biasanya penuh dengan barang dagangan, mendadak ludes. Pembeli enggan mampir ke kios. Sumber pencaharian keluarga sedang dilanda kemarau.

Perjuangan dan Intelektualitas KH. Sahal Mahfudh


By: Hibatun Wafiroh

Pengembaraan Intelektual

Figur kharismatik yang amat dicintai umat ini bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdus Salam al-Hajaini. Beliau lahir dari pasangan KH. Mahfudh dan Hj. Badi’ah di desa Kajen, kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Beliau hidup dalam kondisi keluarga yang pas-pasan.

Sejak usia dini Kiai Sahal tumbuh di lingkungan pesantren, tepatnya di Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra) yang didirikan oleh ayah beliau, KH. Mahfudh Salam, pada tahun 1912. PMH Putra merupakan pesantren keempat yang tegak berdiri di Kajen setelah Pondok Pesantren Raudhatul ‘Ulum (akhir abad ke-19), Pondok Kulon Banon/Taman Pendidikan Islam Indonesia (1900), Pondok Wetan Banon/Salafiyah (1992) dan Pesantren Mathali’ul Huda Polgarut Selatan (1910).

Wanita Pilar Bangsa



Judul : La Tahzan for Woman
Penulis : Muhammad Sholihin
Penerbit : Cemerlang Publishing, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2010
Tebal : 122 halaman
ISBN : 978-602-84594-6-4
Peresensi : Hibatun Wafiroh (Pustakawan Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Siapa yang akan menyangkal realitas sejarah bahwa pada zaman Jahiliyah wanita diperlakukan tidak adil. Wanita diklaim sebagai makhluk lemah yang sama sekali tidak mendatangkan keuntungan. Bayi perempuan ibarat seonggok daging yang tidak berguna dan akan mendatangkan kesialan sehingga dikubur dalam kondisi hidup-hidup. Penderitaan dan ketidaktenangan selalu melingkupinya.

Menuju Pribadi Paripurna


Judul : Allah Sangat Mencintaiku, Jadi Dosa-dosa Sedikit Bolehlah
Penulis : Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit : Gara Ilmu, Jogjakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 190 halaman
Peresensi : Hibatun Wafiroh (Pustakawan Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Manusia diberi hak hidup oleh Allah bukan untuk hidup semata. Di balik itu tersimpan amanat besar yang akan dipertanggungjawabkan kelak, yaitu amanat untuk menjadi hamba yang taat sebagaimana tersirat dalam firman-Nya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku.” Apabila amanat itu telah dipenuhi, maka balasannya ialah surga serta berbagai kemewahan yang melingkupinya. Dan api neraka akan menjilatinya jika amanat itu disia-siakan.

Special Gift In Her Birthday


Oleh: Hibatun Wafiroh
Sore itu tepat pada tanggal 30 Agustus aku menuju kampus yang jaraknya dari kosku hanya sekitar dua ratus meter. Aku ke kampus bukan untuk kuliah sebab sore hari tak ada lagi jadwal perkuliahan. Tujuan utamaku adalah online dan browsing. Dengan membawa laptop aku biasa memanfaatkan fasilitas hotspot area.

Tak sampai sepuluh menit kakiku telah menginjak rerumputan di depan gedung rektorat. Segera kunyalakan komputer jinjingku dan kubuka satu persatu situs yang menarik dan tak asing bagiku. Di antaranya adalah Yahoo dan Facebook. Dua situs itu seakan menjadi makanan wajibku tiap kali berselancar di dunia maya. Tentunya karena manfaatnya sangat besar. Banyak hal berharga yang kutemukan di situ.

Urgensi Efektivitas Komunikasi

Oleh: Hibatun Wafiroh
Sabtu (18/4) ada yang berbeda di gedung Self Acces Center (SAC). Berbondong-bondong para mahasiswa baik dari IAIN Sunan Ampel maupun kampus lain memasuki sebuah ruangan luas di samping tangga di lantai dasar gedung yang terletak di sebelah barat Pesantren Mahasiswa (Pesma) IAIN Sunan Ampel itu. Bukan tanpa tujuan dan alasan mereka datang ke sana. Mengikuti Workshop Public Relation adalah tujuan utama mereka.

Workshop Public Relation dengan tema Effective Communication and Diplomacy sengaja diselenggarakan oleh Dewan Mahasantri Pesma dalam serangkaian acara Pesantren Affair dengan mendatangkan narasumber ternama yaitu Drs. Kresnayana Yahya, M.Sc. Pesantren Affair adalah agenda tahunan di Pesma tapi dengan menggunakan istilah dan nama yang berbeda. Tahun lalu acara semacam itu disebut dengan Pesantren Cup.
Sesuai dengan temanya, workshop itu memang fokus membahas seputar komunikasi sehingga diharapkan para peserta workshop mampu merealisasikan apa yang mereka terima dari narasumber dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sebuah tatanan masyarakat yang baik dan ideal akan mampu diwujudkan tentunya dengan cara berkomunikasi yang tepat guna dan sasaran.

Spiritualitas Dalam Penulisan

Tidak terhitung berapa kali kedua kaki saya menginjak lantai perpustakaan. Meskipun saya tidak tergolong maniak perpustakaan, setidaknya tempat itu menjadi salah satu alternatif saat saya membutuhkan informasi-informasi penting, baik yang diabadikan dalam buku maupun yang dimuat di media cetak. Oke, tulisan ini bukan untuk mengisahkan bagaimana dan berapa kali dalam seminggu saya bertandang ke tempat bermuaranya bahan bacaan tersebut.

Polemik Nikah Sirri

By: Hibatun Wafiroh
Menilik Nikah Sirri dalam Hukum Positif

Nikah sirri adalah term klasik yang akhir-akhir ini menjadi isu hangat setelah mencuatnya draf Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA). Istilah nikah sirri telah dikenal belasan abad silam namun mengalami pergeseran makna seiring berlalunya waktu. Oleh Imam Maliki pernikahan macam ini didefinisikan sebagai pernikahan yang memenuhi rukun dan standar kualifikasi tertentu, tapi tidak sampai diekspos ke khalayak ramai, misalnya melalui media walimah. Ada juga ulama yang memahaminya sebagai pernikahan tanpa dihadiri wali.

Lepas dari silang pendapat di atas, nikah sirri dalam konteks kekinian yaitu perkawinan antara lelaki dan perempuan yang syarat dan rukunnya telah dipenuhi, akan tetapi tak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Dalam perspektif Fiqh klasik, pernikahan ini sah. Namun akan diklaim salah jika dikaitkan dengan aturan pemerintah, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan lainnya.

Kristal Harapan Dari Sosok Helvy Tiana Rosa

Oleh: Hibatun Wafiroh
Helvy Tiana Rosa (HTR) adalah wanita yang sangat populer di jagat penulisan Indonesia. Bahkan namanya melambung sampai ke kancah internasional. Terbukti ia tercatat sebagai anggota Majelis Sastra Asia Tenggara. Karya-karyanya tidak hanya diminati di negeri sendiri, tapi juga diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Inggris, Jepang, Arab, Swedia, Jerman dan Prancis. Benar-benar penulis yang berdedikasi tinggi terhadap masyarakat luas.

HTR, penulis yang berhasil membuktikan jargon “Dengan Pena, Dunia Bisa Diubah.” Tulisannya dapat mempengaruhi laku manusia. Cerpen-cerpen yang lahir dari tangannya kerap menyentuh dan mendorong seseorang untuk kian berbuat baik. Salah satu contoh riilnya adalah cerpennya yang berjudul Ketika Mas Gagah Pergi yang ditulisnya pada tahun 1997. Betapa banyak remaja yang tersadarkan usai membaca alur cerita yang dirangkai oleh HTR itu. Selain itu, ada banyak lagi cerpen, esai, puisi dan naskah dramanya lainnya yang juga tidak kalah bagusnya. Misi da’wah bil qalam (berdakwah dengan pena) telah menemukan relevansinya.

Tersingkapnya Tabir Seorang Gigolo

By: Hibatun Wafiroh
Hampir seluruh permukaan tanah kota Jakarta basah. Langit gelap. Awan hitam menggumpal di angkasa, menghalangi sinar matahari sampai ke bumi. Air hujan terkucur deras. Jalanan nampak sedikit lengang. Pejalan kaki yang biasanya mondar-mandir meramaikan suasana, kini sepi. Hanya beberapa saja yang nekat menerjang derasnya hujan dengan payung yang dibawanya untuk menghindari basah kuyup.

Di samping pintu gerbang sebuah SMA swasta di ibu kota, berdiri seorang pelajar yang sedari tadi tak berkutik dari tempatnya. Sementara siswa lain telah beranjak meninggalkan sekolah. Mungkin hanya dia yang masih bertahan di situ. Dipandanginya tiap mobil yang melintas. Hawa dingin yang ditiupkan angin tak membelokkan niatnya secuil pun. Ia tetap bertahan hingga yang dinantinya tiba.

Meneguk Kasih Allah

Oleh: Hibatun Wafiroh
Termangu. Bibirnya terkatup rapat tak bersuara. Sesekali bergerak pelan menggemingkan sesuatu. Tatapannya kosong. Menerawang jauh ke luar jendela. Kucoba mendekatinya hingga tubuhku berada tepat di sampingnya.

“Ibu,” ujarku. Pandangannya berpaling ke arahku. Ada garis kerut di wajah tuanya. “Ibu, memikirkan apa? Sejak tadi Muna perhatikan, ibu kok diam saja di situ?,” tanyaku mencari tahu penyebab senja di raut mukanya.

“Tidak apa-apa, Mun. Ibu ingat bapakmu. Kalau saja bapakmu di sini, mungkin kita tak hidup susah seperti sekarang,” kutangkap gurat kesedihan dari tiap kata yang diucapnya.

Bapak, seseorang yang selalu kurindui sejak dulu. Rindu yang tak pernah terobati selama hampir lima tahun. Rindu yang tak kutahu kapan bakal menerima asupan obat. Sosoknya masih misteri hingga detik ini. Benar-benar misteri yang tak tahu kapan akan tersingkap.

Manusia Gerobak

Oleh: Hibatun Wafiroh
Matahari tersenyum manis di langit ufuk timur. Cahayanya membias indah di angkasa. Namun warna keemasannya terhalang oleh gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi bak menara. Udara pagi yang biasa terasa sejuk, tak lagi ditemukan di ibu kota ini. Hari memang masih pagi, namun asap dari knalpot memburai di udara.

“Dik, berangkat dulu,” ujar Sam’un, pria berumur 35 tahun, kepada wanita yang dinikahinya tujuh tahun silam. Panggilan Dik yang terlontar darinya sebagai akan keromantisan hubungan di antara keduanya.

Kado Terburuk Di Hari Ulang Tahun Intan

Oleh: Hibatun Wafiroh
Dengan setengah berlari, Intan menuju taman Bungkul. Sesekali matanya menilik jam yang terlilit di pergelangan tangannya. Kakinya terus melangkah, sementara jemarinya tak henti memencet tombol ponsel hingga tersusunlah beberapa kata. Segera ia kirim ke nomor yang tak asing baginya.

“Sayang, kamu di mana? Aku sudah sampai sejak tadi.” Sebuah pesan singkat diterimanya. Dengan cepat ia balas, “Beberapa menit lagi aku sampai di situ.”

Minggu pagi ini taman Bungkul ramai pengunjung. Ada yang sekedar berolahraga. Dan ada pula yang asyik berbincang dengan pasangannya. Nampak aura kebahagiaan di mata mereka.

Gurat Derita Sang Pemungut Ikan

Oleh: Hibatun Wafiroh
Ingar bingar suara ribuan manusia menyeruak di tempat pelelangan ikan sambil memperhatikan timbunan ikan yang jumlahnya tak diketahui pasti karena saking banyaknya. Tak hanya pedagang dan pembeli yang berperan aktif di tempat bermuaranya hasil laut itu, para kuli angkut pun turut mewarnai. Mereka bak semut yang kompak bertandang ke sana karena daya magnet ikan yang begitu kuat. 

Ya, mereka rela membiarkan malamnya berlalu demi memperoleh keuntungan besar dari jutaan ikan yang dijajakan di sana. Andai tak ada ikan yang menghiasi tempat itu, mungkin mereka akan memburu tempat lain atau bahkan memilih untuk berdiam diri di kamar sambil memejamkan mata.

Dilema Berujung Penyesalan

By: Hibatun Wafiroh
Sejak siang Surabaya diguyur hujan. Halilintar dengan kilat yang berpijar-pijar memekakkan telinga. Menyemburatkan ketakutan dalam diri orang yang mendengarnya. Entah kapan langit akan terbebas dari awan hitam, tak ada yang tahu.

Di sebuah kamar ukuran 5x5 meter seorang pria menatap ke luar jendela yang sengaja tak ditutupnya dengan tirai. Sesekali percikan hujan mengenainya melalui cela-cela kecil jendela itu. Pandangannya kosong. Wajahnya menyiratkan kesedihan. Andai dia perempuan, mungkin saat ini air mata telah membasahi pipinya. Ia berusaha tegar. Ucapan adik perempuannya saat menelepon tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya.

Merengkuh Impian Jadi Penulis


Oleh: Hibatun Wafiroh
Namanya Muhammad Izzun Ni’am. Oleh keluarga dan temannya, ia dipanggil Ni’am, sebuah frase bahasa Arab yang berarti kenikmatan. Barangkali bapak dan ibunya serasa dilimpahi banyak nikmat ketika ia lahir. Dia anak ke-3 dari lima bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki dari pasangan Masykur dan Fatmawati.

Sekilas tak ada yang berbeda dari remaja kelahiran 4 Juli 1995 ini. Layaknya remaja lainnya, Ni’am masih memperlihatkan kekanak-kanakannya. Tapi bila ditelusuri laju sejarah hidupnya, akan ditemukan satu peristiwa amat mengagumkan yang jarang dijumpai pada anak seusianya. Yaitu tatkala ia menerima penghargaan dari Departemen Agama atas karya tulisnya yang berjudul Bukan Sulap Bukan Sihir.

Berguru Pada Anjing


Berawal dari keinginan menemukan biodata Pak M. Ishom El Saha, saya mencoba mengetik nama tersebut di google dan facebook. Keinginan saya tak terkabul. Sampai senja di ufuk barat, tak banyak informasi yang saya dapatkan. Hanya beberapa artikelnya saja yang berhasil saya kantongi. Dus, saya pulang dengan membawa rasa penasaran sebab entah kenapa saat ini saya ingin sekali bisa berkenalan dengannya.

Sekadar informasi, M. Ishom El-Saha adalah nama seorang penulis. Saya pernah sekali berjumpa dengannya saat ia menjadi fasilitator dalam acara pembinaan PBSB di PP al-Yasini Pasuruan Januari lalu. Beberapa kali penglihatan saya menangkap namanya, baik di buku maupun di majalah. Hmm.... seingat saya ia berasal dari Demak. Untuk itulah saya antusias mencari tahu tentangnya.

Ketika pencarian biografi M. Ishom El-Saha itulah, saya tidak sengaja mengklik link yang ternyata berisi tulisan yang sangat bagus. Kemudian saya mengecek langsung ke sumber primernya. Dan akhirnya muncul inisiatif untuk membagikannya kepada teman-temannya. Tentunya dengan menggunakan bahasa saya. I hope it will be useful writing.... Selamat membaca.

Bapak Sang Penebar Ilmu


Oleh: Hibatun Wafiroh
Wajahnya keriput pertanda usianya telah memasuki senja. Beberapa giginya telah rontok sehingga sangat kentara tatkala tersenyum. Sebagian kepalanya dipenuhi uban putih yang mengkilap meski terlihat dari kejauhan. Hanya saja itu sedikit samar karena songkok hitam selalu melekat di atas kepalanya. Seakan menjadi ciri khas dari sosok pria berumur 55 tahun bernama Masykur yang tak lain adalah bapakku sendiri.

Seorang bapak dari lima anak yang sejak tahun 80-an sudah berprofesi sebagai guru itu, selalu menenteng tas hitam sederhana berisi kitab-kitab dan pena yang akan diajarkannya kepada para murid di madrasah tempatnya mengajar, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah Ribhul Ulum, Madrasah Tsanawiyah Ribhul Ulum dan Madrasah Aliyah Ribhul Ulum. Kredibilitasnya di bidang agama tidak diragukan lagi. Berbagai literatur berbahasa Arab dari bermacam-macam disiplin ilmu pengetahuan mampu dikuasainya, seperti Nahwu, Balaghoh, Fiqh, Tauhid, Akhlak, Faraidh, Falak dan lain sebagainya. Benar-benar orang teramat istimewa yang jarang dijumpai saat ini.

Kamis, 01 Juli 2010

Buya HAMKA dan Tintanya yang Tak Kenal Kering


Oleh: Hibatun Wafiroh
HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) atau akrab dipanggul Buya HAMKA, lahir pada 17 Februari 1908/14 Muharram 1326 H, di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Abdul Karim, seorang pelopor gerakan pembaharuan (tajdid) di Minangkabau. Pada tanggal 5 April 1929 Buya Hamka menikahi Siti Raham. Kala itu usianya 21 tahun, sedangkan istrinya 15 tahun. Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan.

Pendidikan dasar Buya HAMKA dijalaninya di Sekolah Dasar Meninjau. Di usia sepuluh tahun ia melanjutkan pendidikan di Sumatera Thawalib Padang Panjang yang baru didirikan oleh ayahnya. Di sana dia mendalami pelajaran agama, termasuk bahasa Arab. Kemahiran Buya HAMKA dalam berbahasa Arab dan Inggris mendorongnya untuk menelaah karya tokoh dan pujangga asal Timur Tengah dan Barat. Dia kerap belajar secara autodidak. Kegemarannya membaca mengantarkannya menjadi intelek yang interdisipliner.