Seusai 38 menit menulis tiga halaman di ruang privat (baca: daily book),
saya tergerak untuk menuliskan sebuah momen penting nan langka. Saya jadikan
ini sebagai tulisan reflektif pembuka setelah lama sekali saya kurang berani
dan percaya diri “tampil” di ruang publik. Ketika hendak men-share pengalaman
pribadi di blog atau facebook, misalnya, saya sering dihantui
pertanyaan: adakah yang membaca dan terinspirasi oleh tulisan saya? Tapi itu
dulu. Sesudah memutuskan untuk kembali menghuni blog El-Dimay, saya bertekad
akan menulis di ruang privat dan publik secara konsisten. Dibaca atau tidak itu
urusan nanti.
---<<>>---
Hampir dua setengah bulan saya menghuni Pusat TIK Nasional Kampus II UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta bersama 39 kawan seantero negeri yang tergabung
dalam Program Pembibitan Alumni PTAI Kemenag RI. Bagi saya, nama program itu
lumayan berat dipikul. Saya lebih suka menyebut pelatihan bahasa karena memang sepanjang
durasi program (15 Oktober-31 Desember) yang disajikan adalah materi penguatan
skill bahasa Inggris.
Pelatihan difokuskan pada tiga hal: TOEFL, IELTS dan English for
Academic Purpose (EAP). Penyampai materi adalah dosen-dosen profesional dari
Pusat Bahasa UIN yang rata-rata pernah menempuh studi di luar negeri. Tetapi
janganlah dikira saya sudah expert. Lidah saya belum bisa cas-cis-cus
berbahasa Inggris. Belajar bahasa butuh pembiasaan dan waktu 2,5 bulan
sangat kurang. Meski begitu, saya bersyukur sekali mendapat kesempatan mahal
ini.
Selain materi bahasa yang terjadwal hari Senin-Kamis dari pukul delapan
pagi sampai lima sore—dengan jeda 2,5 jam untuk ishoma, ada sesi spesial di
hari Jumat. Sesi inilah yang paling saya tunggu-tunggu, yaitu sosialisasi
program beasiswa luar negeri dan akhir-akhir ini sesi diskusi dengan topik
tertentu. Menjelang tes TOEFL ITP dan penutupan program, sesi yang biasanya
hari Jumat dipindah di Kamis kemarin. Ini sekaligus menjadi sesi diskusi terakhir.
Seorang tokoh hebat berkaliber internasional berkenan meluangkan waktu untuk berdialog
interaktif. Beliau adalah Prof. Azyumardi Azra.
Kalau selama ini saya melihat Pak Azra di televisi, maka kemarin
benar-benar nyata di depan mata, berjarak tiga meter saja. Kebetulan saya duduk
di deretan pertama. Tanpa tedeng aling-aling saya bisa menyimak setiap
perkataan beliau. Berlembar-lembar buku saya penuh catatan. Malah usai acara,
ketika saya menyalami tangan beliau, beliau sempat berkomentar sembari menunjuk
saya, “Ini harus makan banyak supaya badannya besar.” Saya dan teman-teman yang
mendengar pun spontan tertawa.
Berbeda dengan diskusi-diskusi sebelumnya, kemarin tidak ada tema khusus. Belum
lima menit memberi prolog, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta itu menyilakan para
peserta untuk bertanya. Pertanyaan seputar karier beliau di ranah akademik. Beliau
mengawali dengan cerita tentang proses sebelum dan ketika menempuh S2 di Columbia
University. Pengalaman selama menjabat Rektor UIN pun tidak luput dibagi. Bahkan
sesuatu yang dulunya rahasia tidak ragu-ragu beliau “bocorkan” kepada kami. Tentulah
tidak seluruh cerita tersampaikan sebab mustahil perjalanan hidup sepanjang 57
tahun dapat dikisahkan hanya dalam tempo dua jam. Mengenai biografi beliau, “Cerita
Azra” menjadi recommended book untuk dibaca.
Dari sekian banyak pencapaian Pak Azra, , satu hal yang paling menginspirasi
saya, yakni konsistensi beliau di dunia literasi. Sejak masih berstatus
mahasiswa strata satu sampai sekarang, entah sudah berapa ratus tulisan lahir dari
tangan cendekiawan muslim yang memperoleh gelar Commander of the Order of British Empire
itu. Karena sudah terbiasa menulis, beliau tidak butuh ruang khusus untuk
menulis. Beliau dapat menulis di sembarang tempat. Di rumah, di kantor, bahkan
di jalan. Tidak hanya dengan bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris. Selain
itu, beliau dapat menulis tentang banyak topik. Aih, luar biasa!
Disiplin, komitmen dan konsistensi adalah kunci sukses Pak Azra bisa
produktif menulis. Beliau betul-betul disiplin mengatur waktu. Contohnya,
sewaktu menulis disertasi, beliau menargetkan sehari menulis minimal dua
halaman. Apabila pada satu hari beliau tidak menulis, maka beliau “membayarnya”
di hari berikutnya. Karena kedisiplinan dan kegigihan itu, dalam 10 bulan
beliau bisa merampungkan disertasi The Transmission of Islamic Reformism to
Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the
Seventeenth and Eighteenth Centuries.
Sebagai orang yang menanam mimpi menjadi penulis, tiga pesan tersebut harus
saya simpan baik-baik. Saya harus disiplin mengalokasikan waktu untuk menulis. Saya
harus konsisten menulis saban hari. Tiada hari tanpa menulis, sesedikit apapun
itu. Saya memiliki komitmen untuk berkontribusi melalui tulisan. Saat ini tulisan
saya memang biasa-biasa saja. Tetapi saya percaya tidak ada tulisan yang
sia-sia. Setiap tulisan mempunyai “kekuatan.” Saya telah merasakan dan
membuktikannya. Hari ini saya bukan siapa-siapa. Tetapi sangat mungkin di masa
mendatang saya bisa “berpengaruh” seperti Pak Azra. Meski genre berbeda, saya
dan beliau sama-sama menganggap menulis itu penting.
---<<>>---
2 komentar:
wes mantap....kemarin saya ikut mendaftar tapi gagal...bagi2 pengalamannya dong sis?
Maaf, baru lihat blog. Di rumah koneksi internet jelek. Hehe...
Mas Adam, saya sudah tahu kalau kamu ikut daftar pembibitan. Cut Anggi yang cerita.
Iya, insya Allah, akan saya share pengalaman saya di blog. Ah ya,saya save Note for MEP Australia-mu, terus saya baca. Kereen, Mas. :)
Posting Komentar