Jumat, 28 Desember 2012

Tiga Pesan Prof. Azyumardi Azra


Seusai 38 menit menulis tiga halaman di ruang privat (baca: daily book), saya tergerak untuk menuliskan sebuah momen penting nan langka. Saya jadikan ini sebagai tulisan reflektif pembuka setelah lama sekali saya kurang berani dan percaya diri “tampil” di ruang publik. Ketika hendak men-share pengalaman pribadi di blog atau facebook, misalnya, saya sering dihantui pertanyaan: adakah yang membaca dan terinspirasi oleh tulisan saya? Tapi itu dulu. Sesudah memutuskan untuk kembali menghuni blog El-Dimay, saya bertekad akan menulis di ruang privat dan publik secara konsisten. Dibaca atau tidak itu urusan nanti.
---<<>>---

Hampir dua setengah bulan saya menghuni Pusat TIK Nasional Kampus II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bersama 39 kawan seantero negeri yang tergabung dalam Program Pembibitan Alumni PTAI Kemenag RI. Bagi saya, nama program itu lumayan berat dipikul. Saya lebih suka menyebut pelatihan bahasa karena memang sepanjang durasi program (15 Oktober-31 Desember) yang disajikan adalah materi penguatan skill bahasa Inggris.


Pelatihan difokuskan pada tiga hal: TOEFL, IELTS dan English for Academic Purpose (EAP). Penyampai materi adalah dosen-dosen profesional dari Pusat Bahasa UIN yang rata-rata pernah menempuh studi di luar negeri. Tetapi janganlah dikira saya sudah expert. Lidah saya belum bisa cas-cis-cus berbahasa Inggris. Belajar bahasa butuh pembiasaan dan waktu 2,5 bulan sangat kurang. Meski begitu, saya bersyukur sekali mendapat kesempatan mahal ini.

Selain materi bahasa yang terjadwal hari Senin-Kamis dari pukul delapan pagi sampai lima sore—dengan jeda 2,5 jam untuk ishoma, ada sesi spesial di hari Jumat. Sesi inilah yang paling saya tunggu-tunggu, yaitu sosialisasi program beasiswa luar negeri dan akhir-akhir ini sesi diskusi dengan topik tertentu. Menjelang tes TOEFL ITP dan penutupan program, sesi yang biasanya hari Jumat dipindah di Kamis kemarin. Ini sekaligus menjadi sesi diskusi terakhir. Seorang tokoh hebat berkaliber internasional berkenan meluangkan waktu untuk berdialog interaktif. Beliau adalah Prof. Azyumardi Azra.

Kalau selama ini saya melihat Pak Azra di televisi, maka kemarin benar-benar nyata di depan mata, berjarak tiga meter saja. Kebetulan saya duduk di deretan pertama. Tanpa tedeng aling-aling saya bisa menyimak setiap perkataan beliau. Berlembar-lembar buku saya penuh catatan. Malah usai acara, ketika saya menyalami tangan beliau, beliau sempat berkomentar sembari menunjuk saya, “Ini harus makan banyak supaya badannya besar.” Saya dan teman-teman yang mendengar pun spontan tertawa.

Berbeda dengan diskusi-diskusi sebelumnya, kemarin tidak ada tema khusus. Belum lima menit memberi prolog, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta itu menyilakan para peserta untuk bertanya. Pertanyaan seputar karier beliau di ranah akademik. Beliau mengawali dengan cerita tentang proses sebelum dan ketika menempuh S2 di Columbia University. Pengalaman selama menjabat Rektor UIN pun tidak luput dibagi. Bahkan sesuatu yang dulunya rahasia tidak ragu-ragu beliau “bocorkan” kepada kami. Tentulah tidak seluruh cerita tersampaikan sebab mustahil perjalanan hidup sepanjang 57 tahun dapat dikisahkan hanya dalam tempo dua jam. Mengenai biografi beliau, “Cerita Azra” menjadi recommended book untuk dibaca.

Dari sekian banyak pencapaian Pak Azra, , satu hal yang paling menginspirasi saya, yakni konsistensi beliau di dunia literasi. Sejak masih berstatus mahasiswa strata satu sampai sekarang, entah sudah berapa ratus tulisan lahir dari tangan cendekiawan muslim yang memperoleh gelar Commander of the Order of British Empire itu. Karena sudah terbiasa menulis, beliau tidak butuh ruang khusus untuk menulis. Beliau dapat menulis di sembarang tempat. Di rumah, di kantor, bahkan di jalan. Tidak hanya dengan bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris. Selain itu, beliau dapat menulis tentang banyak topik. Aih, luar biasa!

Disiplin, komitmen dan konsistensi adalah kunci sukses Pak Azra bisa produktif menulis. Beliau betul-betul disiplin mengatur waktu. Contohnya, sewaktu menulis disertasi, beliau menargetkan sehari menulis minimal dua halaman. Apabila pada satu hari beliau tidak menulis, maka beliau “membayarnya” di hari berikutnya. Karena kedisiplinan dan kegigihan itu, dalam 10 bulan beliau bisa merampungkan disertasi The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries.

Sebagai orang yang menanam mimpi menjadi penulis, tiga pesan tersebut harus saya simpan baik-baik. Saya harus disiplin mengalokasikan waktu untuk menulis. Saya harus konsisten menulis saban hari. Tiada hari tanpa menulis, sesedikit apapun itu. Saya memiliki komitmen untuk berkontribusi melalui tulisan. Saat ini tulisan saya memang biasa-biasa saja. Tetapi saya percaya tidak ada tulisan yang sia-sia. Setiap tulisan mempunyai “kekuatan.” Saya telah merasakan dan membuktikannya. Hari ini saya bukan siapa-siapa. Tetapi sangat mungkin di masa mendatang saya bisa “berpengaruh” seperti Pak Azra. Meski genre berbeda, saya dan beliau sama-sama menganggap menulis itu penting.
---<<>>---

2 komentar:

Adam mengatakan...

wes mantap....kemarin saya ikut mendaftar tapi gagal...bagi2 pengalamannya dong sis?

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Maaf, baru lihat blog. Di rumah koneksi internet jelek. Hehe...
Mas Adam, saya sudah tahu kalau kamu ikut daftar pembibitan. Cut Anggi yang cerita.
Iya, insya Allah, akan saya share pengalaman saya di blog. Ah ya,saya save Note for MEP Australia-mu, terus saya baca. Kereen, Mas. :)