Rabu, 16 September 2009

Berpuasa di Tengah Lautan Sampah

Oleh: Hibatun Wafiroh
Langit masih tampak gelap karena cahaya surya belum merambat ke permukaan belahan bumi yang kusinggahi. Udara pagi terasa sejuk menusuk tubuh nan menyehatkan. Kicauan burung perlahan terdengar dengan merdu. Suara bising kendaraan bermotor belum begitu mengganggu ketenangan sebab pemiliknya masih menikmati indahnya mimpi dan sebagian yang lain tengah asyik bermunajat kepada Sang Pencipta melalui berbagai aktivitas yang bernilai ibadah. Sedangkan aku harus segera meninggalkan gubuk kumuhku menuju tempat kerja yang juga tak kalah kumuhnya dengan mengenakan pakaian sederhana yang sudah tak layak pakai.

Berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer di pagi buta adalah kebiasaanku sejak tiga tahun yang lalu. Berjalan bukan untuk jogging ataupun jalan santai sambil menghirup udara segar, akan tetapi pekerjaan yang sedang kugeluti mengharuskanku untuk bangun pagi agar apa yang kudapatkan nanti hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Di usiaku yang baru menginjak lima belas tahun aku harus membanting tulang demi mempertahankan hidup di Surabaya. Di saat anak-anak lainnya dengan suka ria pergi ke sekolah dengan menenteng buku-buku pelajaran dan memakai seragam bersih, aku harus mengerahkan seluruh tenagaku untuk berebut sampah-sampah yang masih bisa didaur ulang di TPA. Sebuah tempat yang sering dihindari orang, justru kudatangi dengan disertai harapan yang tak pernah pupus.