Sabtu, 12 Januari 2013

Novelet: Melukis Purnama (Part 2)

Oleh: Hibatun Wafiroh
Part /2/
Gadis manis berlesung pipit itu sedang asyik menekuri selembar kertas A4 yang dijepit running board. Pensil 2B berpose centil di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Hati-hati ia ajari pensil itu menari, menggores gurat nan apik, mengikuti lonjakan imajinasinya. Sesekali ia usapkan jilbab putihnya ke muka untuk menyapu biji-biji keringat.

Ia konsentrasi. Setip di meja tidak guna. Sekali menggurat, ia tidak kenal setip-menyetip. Gentar ia menengok ke belakang, tak ragu akan guratannya.

Alhamdulillah, selesai.” Ia girang. Senyum tersungging. Menawan.

“Yes! Selesai. Hore....” Bahagia. Ia seperti baru memenangkan sesuatu.

Kawan-kawan di sekitarnya langsung merubungnya, tak sabar ingin tahu hasil torehan tangannya. Sebuah sketsa wajah menyedot perhatian seisi kelas.

Novelet: Melukis Purnama (Part 1)


By: Hibatun Wafiroh
Part /1/
 Air bening luapan kepedihan merembes, membasahi bantal Sponge Bob yang menyangga kepala Mea. Wajahnya pucat pasi. Rambut panjangnya awut-awutan, tidak terurus, kusut. Seminggu lebih tetes sampo tidak menyegarkan kulit kepalanya. Bibirnya bergetar, berucap dengan intonasi rendah, “Tuhan, cabutlah nyawaku! Takdir-Mu terlalu sulit untuk kujalani. Aku tak sanggup. Kumohon akhiri hidupku sekarang, ya Allah. Kumohon....”

Badai air mata kembali menerjang benteng pertahanannya. Ah, derita tak tertanggungkan nyaris menyerabut iman dari kalbunya. Kalau tidak sedari kecil otaknya dituangi pelbagai pengetahuan agama, barangkali sekarang kondisinya jauh lebih parah. Sabar yang dulu kuat dipeluknya, kini perlahan ia hempaskan. Ia benci tiap kali ibunya menasihatinya untuk bersabar. Yang ia inginkan satu: mati. Dalam benaknya hanya kematian yang dapat memutus mata rantai penderitaan. Dan ia ingin sekali lepas dari rupa-rupa derita itu.