Sabtu, 12 Januari 2013

Novelet: Melukis Purnama (Part 1)


By: Hibatun Wafiroh
Part /1/
 Air bening luapan kepedihan merembes, membasahi bantal Sponge Bob yang menyangga kepala Mea. Wajahnya pucat pasi. Rambut panjangnya awut-awutan, tidak terurus, kusut. Seminggu lebih tetes sampo tidak menyegarkan kulit kepalanya. Bibirnya bergetar, berucap dengan intonasi rendah, “Tuhan, cabutlah nyawaku! Takdir-Mu terlalu sulit untuk kujalani. Aku tak sanggup. Kumohon akhiri hidupku sekarang, ya Allah. Kumohon....”

Badai air mata kembali menerjang benteng pertahanannya. Ah, derita tak tertanggungkan nyaris menyerabut iman dari kalbunya. Kalau tidak sedari kecil otaknya dituangi pelbagai pengetahuan agama, barangkali sekarang kondisinya jauh lebih parah. Sabar yang dulu kuat dipeluknya, kini perlahan ia hempaskan. Ia benci tiap kali ibunya menasihatinya untuk bersabar. Yang ia inginkan satu: mati. Dalam benaknya hanya kematian yang dapat memutus mata rantai penderitaan. Dan ia ingin sekali lepas dari rupa-rupa derita itu.

Tepat di bawah kaki kanannya teronggok buku diary beraksen bunga-bunga. Di salah satu lembarnya tertulis dengan font yang nyata terbaca hingga jarak lima meter, tiga kata: INI TIDAK ADIL, asli tulisan tangannya.

Tidak jauh dari diary itu tergeletak sebuah bingkisan besar, kado ulang tahunnya yang ke-15. Kalau saja Senin lalu, saat ia berada di puncak kebahagiaan lantaran bertambah usianya, ia tak dikabari tentang penyakit mematikan yang diidapnya, mungkin detik ini ia tengah gembira ria mencoba pernak-pernik isi kado pemberian ibunya itu. Namun sepicing pun ia tak tertarik melirik kado manis itu, apalagi membukanya. Di matanya, seluruh isi dunia gelap, tak berwarna, tak menarik. Satu-satunya yang menarik minatnya adalah kematian.

“Ya Allah, untuk apa Engkau biarkan aku hidup kalau masa depan saja aku tak punya? Untuk apa Engkau biarkan aku hidup kalau tiap tarikan napasku adalah panggilan kematian. Kumohon cabut nyawaku. Segera datangkan Izrail di hadapanku. Aku tak kuat menerima penyakit kutukan ini, ya Allah,” suaranya parau. Entah, berapa ratus kali kalimat bernada putus asa didengungkannya.

Sedetik, dua detik, ..., semenit, dua menit, ..., sepuluh menit, tangis gadis periang yang mendadak terpuruk itu mereda. Bukan karena ia sadar harus legowo menerima pintalan nasib dari Tuhan, melainkan karena ia capek bercericau menyalahkan Tuhan. Bulu mata lentiknya terkatup. Kesadarannya melayang. Kali ini bulir-bulir air mata berhenti menganak sungai. Ia rasakan kedamaian tatkala jiwanya asyik bertamasya di alam mimpi.
<<>> 

Sayup-sayup terdengar suara gesekan sandal mendekati pintu kamar Mea. Terketuklah pintu.

Assalamu’alaikum. Mea... Mea...,” salam Bu Aida.

Tak ada jawaban.

“Mea Sayang...”

Hening.

“Mea... Sayang...”

Bu Aida mulai khawatir dengan kondisi anaknya. Hampir seminggu Mea mengurung diri di kamar, tak mau keluar. Bahkan sekolah pun enggan. Ia belum siap menghadapi komentar pedas teman-temannya mengenai penyakit langkanya yang baru terkuak. Bukan baru terkuak, tapi sengaja dirahasiakan agar penyakit itu tidak menebas keriangan Mea.

Nyata saja, ketika Bu Aida berterus terang mengenai penyakit Mea, putri semata wayangnya itu langsung drop, tersungkur dalam liang kepiluan. Nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin Bu Aida menarik kembali kata-katanya. Kejujuran tidak perlu disesali sepahit apapun itu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah membesarkan hati Mea supaya tetap mensyukuri karunia Allah.

“Sayang, kamu baik-baik saja kan?”

Membisu.

Bu Aida mengetuk pintu lebih keras lagi. Tangan kanannya menggerak-gerakkan gagang pintu. Gagal. Pintu terkunci dari dalam.

“Sayang, buka pintu dong!”

Lagi, tiada jawaban.

“Mea, Ibu bawakan makanan kesukaanmu nih.” Di tangan kiri Bu Aida tersaji menu makan siang nan lezat.

Tetap diam.

“Sayang, kamu kenapa? Yuk, kita makan bareng. Ibu masak sup. Kamu pasti suka.”

Tidak ada respons. Dua puluh jam lebih Mea tidak mengunyah makanan apa-apa. Gadis itu sudah disuruh makan, tapi tidak mau. Bu Aida sangat khawatir.

“Mea, jalan-jalan ke taman, yuk.”

Nihil. Yang dipanggil tak kunjung menjawab.

“Sayang, lihat pameran lukisan di Taman Ismail Marzuki, yuk! Hari ini terakhir lho. Acara pameran itu digelar setahun hanya sekali. Katanya, Mea mau kenalan sama para pelukis terkenal dan mengoleksi lukisannya. Ayo, Sayang, tunggu apa lagi? Mumpung masih dibuka. Nanti menyesal lho.”

Tiada tanda-tanda positif. Kalimat persuasif Bu Aida tidak mempan membujuk Mea. Padahal biasanya Mea antusias sekali dengan lukisan. Sekarang saja tidak kurang sepuluh lukisan menghiasi dinding kamarnya. Dia tidak pernah bilang tidak untuk tawaran mengunjungi pameran lukisan. Tapi kali ini berbeda. Mea tidak tertarik selain pada kematian.

“Mea...”

Bagai kamar tak berpenghuni.

Wanita umur empat puluh tahun itu akhirnya tergopoh-gopoh lari mengambil kunci duplikat. Dia lantas membuka pintu kamar Mea. Dan betapa ia terkejut mendapati putri satu-satunya telentang tak berdaya di atas ranjang.

“Sayang....”

Bu Aida menghambur, memeluk Mea. Si anak menggeliat dalam pelukan ibunya.

“Kamu kenapa, Sayang?”

Pertanyaan yang salah. Jelas-jelas ia tahu bahwa anaknya terpuruk gara-gara menyadari dalam tubuhnya berkembang biak virus ganas nan mematikan.

“Bu, aku lelah hidup. Tolong aku, Bu! Tolong! Aku mau mati saja.”

“Hush!,” Bu Aida meletakkan jari telunjuknya di bibir mungil Mea. “Kamu tidak boleh bicara begitu, Sayang. Kamu harus kuat.”

“Aku tidak kuat. Aku mau mati. Tak ada gunanya aku hidup, Bu. Aku mau mati. Hiks-hiks-hiks.” Rintihan Mea menyayat hati.

“Tenang, Sayang, tenang! Sekarang Ibu suapi makan dulu ya?”

Mea menggelengkan kepala, tak berselera makan.

“Ayo, Sayang, makan ya.”

Bu Aida meletakkan tangannya di kening Mea. Panas. Demam tinggi.

“Aku tidak mau makan. Aku hanya mau mati. Itu saja, Bu.”

Bu Aida tersentak kaget, tapi berusaha tenang.

“Kalau kamu terus-menerus tidak makan, nanti kamu sakit, Mea.”

“Biarin! Bukankah aku memang berpenyakitan? Sakitku tidak akan bisa sembuh. Aku mau mati saja, Bu. Aku tidak kuat. Sakit, Bu. Sedih,” Mea terisak. Beban yang ditanggungnya terlalu berat untuk anak seusianya.

“Kamu pasti sembuh, Sayang.”

“Ibu bohong. Aku tahu, belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakitku. Ibu tidak usah berbohong untuk menghiburku.”

“Setiap penyakit pasti ada obatnya. Allah menciptakan penyakit, juga menyediakan obatnya. Optimis, Mea! Makan dulu ya. Setelah itu minum obat.”

“Bohong! Untuk apa minum obat segala? Obat ini hanya memperlambat perkembangan virus, bukan mematikan virus yang bersarang di tubuhku.”

“Sabar, Sayang. Allah bersama orang-orang yang bersabar. Sabar ya...”

“Aku capek, Bu. Hiks-hiks. Tak ada lagi yang mau berteman denganku. Semua orang memojokkanku dan menganggapku najis. Aku sedih, Bu.”

Benar, sehari setelah Mea diberi tahu penyakitnya, entah dari mana, teman-temannya tahu jenis penyakit yang menggerogoti kekebalan tubuhnya. Bahkan namanya ramai dipergunjingkan di seantero sekolah. Mereka memandang jijik pada Mea seolah ia bangkai yang patut dijauhi.

“Sayang, sabar ya.”

“Aku sedih, Bu. Aku seperti bangkai di tengah makhluk hidup. Mereka jaga jarak dari aku. Mereka menjauhiku. Mereka takut tertular penyakitku. Aku sedih. Aku tak punya teman, Bu.”

“Jangan begitu, Mea. Itu hanya anggapanmu saja. Besok kamu berangkat sekolah ya?”

“Aku tidak mau sekolah. Gara-gara penyakitku, teman-teman di sekolah sinis padaku. Tidak ada lagi yang mau berteman denganku. Mereka mendiamkan-ku. Mereka jahat, Bu. Aku sedih.”

“Itu prasangkamu saja. Mereka sayang Mea kok. Hanya mereka butuh waktu untuk menerima kondisi Mea ini. Besok sekolah, ya Sayang?”

“Tidak. Aku tidak mau sekolah lagi jika mereka tetap jahat. Ibu, boleh aku tanya sesuatu?”

“Tentu, Sayang.” Bu Aida membelai lembut rambut Mea. Sedangkan Mea tak beranjak dari pangkuan ibunya.

“Apa salahku sehingga Allah tega menjejalkan virus ganas di badanku?,” isaknya.

Yang ditanya mematung. Tatapannya kosong. Mulutnya tertutup rapat. Bukan ia tak mampu menjawab, tapi ia bingung mencari kata-kata ampuh yang bisa melepaskan anaknya dari cengkeraman pesimistis.

Selang beberapa jurus kemudian...

“Apa, Bu? Apa salahku? Apa dosaku, Bu? Apa?! Penyakit ini biasanya diderita para pendosa besar. Kenapa harus aku yang mengidapnya? Kenapa Allah kejam padaku? Padahal aku tak pernah meninggalkan salat, berbohong, mencuri, menyakiti teman, bolos sekolah, apalagi melakukan hal keji itu. Aku selalu menuruti perkataan Ibu. Sumpah, Bu, aku tak pernah berbuat itu. Kenapa harus aku yang divonis menderita penyakit ini, Bu? Kenapa?!,” tanya Mea setengah berteriak.

Mea menggoyang-goyangkan lengan ibunya, memohon-mohon jawaban. Seminggu ini terlalu sering ia bertanya itu. Tak satu pun jawaban melegakannya. Ia bak terperangkap dalam labirin keputusasaan. Hanya lilin kesabaran dan keikhlasan yang bisa menuntunnya keluar untuk melihat terangnya jagat raya.

Tangis Mea pecah. Ia sesenggukan. Dadanya sesak. Batuknya beruntun. Lubang hidungnya mengeluarkan darah kental. Nafasnya naik-turun tak teratur. Tiba-tiba matanya pejam, tidak melihat apa-apa. Gelap. Hanya satu warna: hitam. Pingsan. Bu Aida pun panik tak alang kepalang.
<<>> 
Bersambung

Tidak ada komentar: