By: Hibatun Wafiroh
Part /1/
Air bening luapan kepedihan merembes,
membasahi bantal Sponge Bob yang menyangga kepala Mea. Wajahnya pucat
pasi. Rambut panjangnya awut-awutan, tidak terurus, kusut. Seminggu lebih tetes
sampo tidak menyegarkan kulit kepalanya. Bibirnya bergetar, berucap dengan intonasi
rendah, “Tuhan, cabutlah nyawaku! Takdir-Mu terlalu sulit untuk kujalani. Aku
tak sanggup. Kumohon akhiri hidupku sekarang, ya Allah. Kumohon....”
Badai air mata kembali menerjang benteng
pertahanannya. Ah, derita tak tertanggungkan nyaris menyerabut iman dari
kalbunya. Kalau tidak sedari kecil otaknya dituangi pelbagai pengetahuan agama,
barangkali sekarang kondisinya jauh lebih parah. Sabar yang dulu kuat
dipeluknya, kini perlahan ia hempaskan. Ia benci tiap kali ibunya menasihatinya
untuk bersabar. Yang ia inginkan satu: mati. Dalam benaknya hanya kematian yang
dapat memutus mata rantai penderitaan. Dan ia ingin sekali lepas dari rupa-rupa
derita itu.
Tepat di bawah kaki kanannya teronggok
buku diary beraksen bunga-bunga. Di salah satu lembarnya tertulis dengan font
yang nyata terbaca hingga jarak lima meter, tiga kata: INI TIDAK ADIL, asli
tulisan tangannya.
Tidak jauh dari diary itu
tergeletak sebuah bingkisan besar, kado ulang tahunnya yang ke-15. Kalau saja
Senin lalu, saat ia berada di puncak kebahagiaan lantaran bertambah usianya, ia
tak dikabari tentang penyakit mematikan yang diidapnya, mungkin detik ini ia
tengah gembira ria mencoba pernak-pernik isi kado pemberian ibunya itu. Namun
sepicing pun ia tak tertarik melirik kado manis itu, apalagi membukanya. Di
matanya, seluruh isi dunia gelap, tak berwarna, tak menarik. Satu-satunya yang
menarik minatnya adalah kematian.
“Ya Allah, untuk apa Engkau biarkan aku
hidup kalau masa depan saja aku tak punya? Untuk apa Engkau biarkan aku hidup
kalau tiap tarikan napasku adalah panggilan kematian. Kumohon cabut nyawaku.
Segera datangkan Izrail di hadapanku. Aku tak kuat menerima penyakit kutukan
ini, ya Allah,” suaranya parau. Entah, berapa ratus kali kalimat bernada putus
asa didengungkannya.
Sedetik, dua detik, ..., semenit, dua
menit, ..., sepuluh menit, tangis gadis periang yang mendadak terpuruk itu
mereda. Bukan karena ia sadar harus legowo menerima pintalan nasib dari
Tuhan, melainkan karena ia capek bercericau menyalahkan Tuhan. Bulu mata
lentiknya terkatup. Kesadarannya melayang. Kali ini bulir-bulir air mata
berhenti menganak sungai. Ia rasakan kedamaian tatkala jiwanya asyik bertamasya
di alam mimpi.
<<>>
Sayup-sayup terdengar suara gesekan sandal
mendekati pintu kamar Mea. Terketuklah pintu.
“Assalamu’alaikum. Mea... Mea...,”
salam Bu Aida.
Tak ada jawaban.
“Mea Sayang...”
Hening.
“Mea... Sayang...”
Bu Aida mulai khawatir dengan kondisi
anaknya. Hampir seminggu Mea mengurung diri di kamar, tak mau keluar. Bahkan
sekolah pun enggan. Ia belum siap menghadapi komentar pedas teman-temannya
mengenai penyakit langkanya yang baru terkuak. Bukan baru terkuak, tapi sengaja
dirahasiakan agar penyakit itu tidak menebas keriangan Mea.
Nyata saja, ketika Bu Aida berterus terang
mengenai penyakit Mea, putri semata wayangnya itu langsung drop,
tersungkur dalam liang kepiluan. Nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin Bu Aida
menarik kembali kata-katanya. Kejujuran tidak perlu disesali sepahit apapun
itu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah membesarkan hati Mea supaya tetap
mensyukuri karunia Allah.
“Sayang, kamu baik-baik saja kan?”
Membisu.
Bu Aida mengetuk pintu lebih keras lagi.
Tangan kanannya menggerak-gerakkan gagang pintu. Gagal. Pintu terkunci dari
dalam.
“Sayang, buka pintu dong!”
Lagi, tiada jawaban.
“Mea, Ibu bawakan makanan kesukaanmu nih.”
Di tangan kiri Bu Aida tersaji menu makan siang nan lezat.
Tetap diam.
“Sayang, kamu kenapa? Yuk, kita makan
bareng. Ibu masak sup. Kamu pasti suka.”
Tidak ada respons. Dua puluh jam lebih Mea
tidak mengunyah makanan apa-apa. Gadis itu sudah disuruh makan, tapi tidak mau.
Bu Aida sangat khawatir.
“Mea, jalan-jalan ke taman, yuk.”
Nihil. Yang dipanggil tak kunjung
menjawab.
“Sayang, lihat pameran lukisan di Taman
Ismail Marzuki, yuk! Hari ini terakhir lho. Acara pameran itu digelar setahun
hanya sekali. Katanya, Mea mau kenalan sama para pelukis terkenal dan
mengoleksi lukisannya. Ayo, Sayang, tunggu apa lagi? Mumpung masih dibuka.
Nanti menyesal lho.”
Tiada tanda-tanda positif. Kalimat
persuasif Bu Aida tidak mempan membujuk Mea. Padahal biasanya Mea antusias
sekali dengan lukisan. Sekarang saja tidak kurang sepuluh lukisan menghiasi
dinding kamarnya. Dia tidak pernah bilang tidak untuk tawaran mengunjungi
pameran lukisan. Tapi kali ini berbeda. Mea tidak tertarik selain pada
kematian.
“Mea...”
Bagai kamar tak berpenghuni.
Wanita umur empat puluh tahun itu akhirnya
tergopoh-gopoh lari mengambil kunci duplikat. Dia lantas membuka pintu kamar
Mea. Dan betapa ia terkejut mendapati putri satu-satunya telentang tak berdaya
di atas ranjang.
“Sayang....”
Bu Aida menghambur, memeluk Mea. Si anak
menggeliat dalam pelukan ibunya.
“Kamu kenapa, Sayang?”
Pertanyaan yang salah. Jelas-jelas ia tahu
bahwa anaknya terpuruk gara-gara menyadari dalam tubuhnya berkembang biak virus
ganas nan mematikan.
“Bu, aku lelah hidup. Tolong aku, Bu!
Tolong! Aku mau mati saja.”
“Hush!,” Bu Aida meletakkan jari
telunjuknya di bibir mungil Mea. “Kamu tidak boleh bicara begitu, Sayang. Kamu
harus kuat.”
“Aku tidak kuat. Aku mau mati. Tak ada
gunanya aku hidup, Bu. Aku mau mati. Hiks-hiks-hiks.” Rintihan Mea menyayat
hati.
“Tenang, Sayang, tenang! Sekarang Ibu
suapi makan dulu ya?”
Mea menggelengkan kepala, tak berselera
makan.
“Ayo, Sayang, makan ya.”
Bu Aida meletakkan tangannya di kening
Mea. Panas. Demam tinggi.
“Aku tidak mau makan. Aku hanya mau mati.
Itu saja, Bu.”
Bu Aida tersentak kaget, tapi berusaha
tenang.
“Kalau kamu terus-menerus tidak makan,
nanti kamu sakit, Mea.”
“Biarin! Bukankah aku memang
berpenyakitan? Sakitku tidak akan bisa sembuh. Aku mau mati saja, Bu. Aku tidak
kuat. Sakit, Bu. Sedih,” Mea terisak. Beban yang ditanggungnya terlalu berat
untuk anak seusianya.
“Kamu pasti sembuh, Sayang.”
“Ibu bohong. Aku tahu, belum ada obat yang
bisa menyembuhkan penyakitku. Ibu tidak usah berbohong untuk menghiburku.”
“Setiap penyakit pasti ada obatnya. Allah
menciptakan penyakit, juga menyediakan obatnya. Optimis, Mea! Makan dulu ya.
Setelah itu minum obat.”
“Bohong! Untuk apa minum obat segala? Obat
ini hanya memperlambat perkembangan virus, bukan mematikan virus yang bersarang
di tubuhku.”
“Sabar, Sayang. Allah bersama orang-orang
yang bersabar. Sabar ya...”
“Aku capek, Bu. Hiks-hiks. Tak ada lagi
yang mau berteman denganku. Semua orang memojokkanku dan menganggapku najis.
Aku sedih, Bu.”
Benar, sehari setelah Mea diberi tahu
penyakitnya, entah dari mana, teman-temannya tahu jenis penyakit yang
menggerogoti kekebalan tubuhnya. Bahkan namanya ramai dipergunjingkan di
seantero sekolah. Mereka memandang jijik pada Mea seolah ia bangkai yang patut
dijauhi.
“Sayang, sabar ya.”
“Aku sedih, Bu. Aku seperti bangkai di
tengah makhluk hidup. Mereka jaga jarak dari aku. Mereka menjauhiku. Mereka
takut tertular penyakitku. Aku sedih. Aku tak punya teman, Bu.”
“Jangan begitu, Mea. Itu hanya anggapanmu
saja. Besok kamu berangkat sekolah ya?”
“Aku tidak mau sekolah. Gara-gara
penyakitku, teman-teman di sekolah sinis padaku. Tidak ada lagi yang mau
berteman denganku. Mereka mendiamkan-ku. Mereka jahat, Bu. Aku sedih.”
“Itu prasangkamu saja. Mereka sayang Mea
kok. Hanya mereka butuh waktu untuk menerima kondisi Mea ini. Besok sekolah, ya
Sayang?”
“Tidak. Aku tidak mau sekolah lagi jika
mereka tetap jahat. Ibu, boleh aku tanya sesuatu?”
“Tentu, Sayang.” Bu Aida membelai lembut
rambut Mea. Sedangkan Mea tak beranjak dari pangkuan ibunya.
“Apa salahku sehingga Allah tega
menjejalkan virus ganas di badanku?,” isaknya.
Yang ditanya mematung. Tatapannya kosong.
Mulutnya tertutup rapat. Bukan ia tak mampu menjawab, tapi ia bingung mencari
kata-kata ampuh yang bisa melepaskan anaknya dari cengkeraman pesimistis.
Selang beberapa jurus kemudian...
“Apa, Bu? Apa salahku? Apa dosaku, Bu?
Apa?! Penyakit ini biasanya diderita para pendosa besar. Kenapa harus aku yang
mengidapnya? Kenapa Allah kejam padaku? Padahal aku tak pernah meninggalkan
salat, berbohong, mencuri, menyakiti teman, bolos sekolah, apalagi melakukan hal
keji itu. Aku selalu menuruti perkataan Ibu. Sumpah, Bu, aku tak pernah
berbuat itu. Kenapa harus aku yang divonis menderita penyakit ini, Bu?
Kenapa?!,” tanya Mea setengah berteriak.
Mea menggoyang-goyangkan lengan ibunya,
memohon-mohon jawaban. Seminggu ini terlalu sering ia bertanya itu. Tak satu
pun jawaban melegakannya. Ia bak terperangkap dalam labirin keputusasaan. Hanya
lilin kesabaran dan keikhlasan yang bisa menuntunnya keluar untuk melihat
terangnya jagat raya.
Tangis Mea pecah. Ia sesenggukan. Dadanya
sesak. Batuknya beruntun. Lubang hidungnya mengeluarkan darah kental. Nafasnya
naik-turun tak teratur. Tiba-tiba matanya pejam, tidak melihat apa-apa. Gelap.
Hanya satu warna: hitam. Pingsan. Bu Aida pun panik tak alang kepalang.
<<>>
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar