Minggu, 08 November 2009

Kebahagian Terpancar dari Wajah Mereka

By: Hibatun Wafiroh

Canda tawa mereka memenuhi taman kota sehingga malam terasa lebih indah apalagi dengan ditemani bintang dan bulan yang memancar terang di langit. Bahkan mungkin ini adalah malam terindah yang pernah mereka rasakan.. Penampilan mereka tak kumuh seperi pagi dan sore hari. Kini tubuh mereka terbalut dengan pakaian bersih nan rapi. Aku turut senang menyaksikan kebahagiaan mereka.
Tak hanya aku yang ada di taman menemani anak-anak kecil itu. Mia dan Amel juga setia menghabiskan malamnya di taman yang dipenuhi dengan pohon cemara di setiap sudutnya. Tak ada satu pun keluhan yang keluar dari mulut mereka. Sangat tepat kuajak dua gadis berpostur tinggi itu untuk berbagi kebahagiaan dengan manusia-manusia mungil yang sepi dari dosa dan juga kenyamanan hidup.

“Vila, kejadian ini membuatku terharu. Baru kali ini aku menyaksikan langsung kegembiraan mereka. Sekarang aku tahu sesungguhnya mereka membutuhkan waktu luang untuk menikmati hidup, meski hanya sejenak. Mereka sebenarnya ingin melepas penat. Tapi sayang banyak yang tak peduli,” komentar Amel ketika adik-adik berjumlah lima belas itu dibiarkan merasakan kebebasan di taman sambil menikmati es krim cokelat.

Air Mata 25 Mei

By: Hibatun Wafiroh
Jam empat sore aku sampai di taman kampus yang berada di samping kantin. Aku sengaja ke sini di saat mahasiswa lainnya mulai meninggalkan kampus yang terletak di Surabaya ini. Aku duduk di antara tanaman dan pohon rindang bukan tanpa tujuan atau sekedar menghabiskan waktu. Tetapi aku sedang menanti seseorang yang telah berjanji akan menemuiku di taman ini. Janji yang selalu kuingat setiap saat.

“Indri, tunggulah aku di sini setiap tanggal 25 Mei jam empat sore. Dalam keadaan bagaimana pun juga aku pasti akan datang menemuimu di tempat ini.” Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku. Dia mengucapkannya delapan bulan yang lalu ketika acara wisuda S1 di kampus ini.

“Ya, aku akan selalu menunggumu di sini. Aku akan setia menanti kedatanganmu,” jawabku dengan suara terisak.

Rabu, 16 September 2009

Berpuasa di Tengah Lautan Sampah

Oleh: Hibatun Wafiroh
Langit masih tampak gelap karena cahaya surya belum merambat ke permukaan belahan bumi yang kusinggahi. Udara pagi terasa sejuk menusuk tubuh nan menyehatkan. Kicauan burung perlahan terdengar dengan merdu. Suara bising kendaraan bermotor belum begitu mengganggu ketenangan sebab pemiliknya masih menikmati indahnya mimpi dan sebagian yang lain tengah asyik bermunajat kepada Sang Pencipta melalui berbagai aktivitas yang bernilai ibadah. Sedangkan aku harus segera meninggalkan gubuk kumuhku menuju tempat kerja yang juga tak kalah kumuhnya dengan mengenakan pakaian sederhana yang sudah tak layak pakai.

Berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer di pagi buta adalah kebiasaanku sejak tiga tahun yang lalu. Berjalan bukan untuk jogging ataupun jalan santai sambil menghirup udara segar, akan tetapi pekerjaan yang sedang kugeluti mengharuskanku untuk bangun pagi agar apa yang kudapatkan nanti hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Di usiaku yang baru menginjak lima belas tahun aku harus membanting tulang demi mempertahankan hidup di Surabaya. Di saat anak-anak lainnya dengan suka ria pergi ke sekolah dengan menenteng buku-buku pelajaran dan memakai seragam bersih, aku harus mengerahkan seluruh tenagaku untuk berebut sampah-sampah yang masih bisa didaur ulang di TPA. Sebuah tempat yang sering dihindari orang, justru kudatangi dengan disertai harapan yang tak pernah pupus.

Minggu, 30 Agustus 2009

Kebahagiaan Terpancar dari Wajah Mereka


By: Hibatun Wafiroh
Canda tawa mereka memenuhi taman kota sehingga malam terasa lebih indah apalagi dengan ditemani bintang dan bulan yang memancar terang di langit. Bahkan mungkin ini adalah malam terindah yang pernah mereka rasakan.. Penampilan mereka tak kumuh seperi pagi dan sore hari. Kini tubuh mereka terbalut dengan pakaian bersih nan rapi. Aku turut senang menyaksikan kebahagiaan mereka.

Tak hanya aku yang ada di taman menemani anak-anak kecil itu. Mia dan Amel juga setia menghabiskan malamnya di taman yang dipenuhi dengan pohon cemara di setiap sudutnya. Tak ada satu pun keluhan yang keluar dari mulut mereka. Sangat tepat kuajak dua gadis berpostur tinggi itu untuk berbagi kebahagiaan dengan manusia-manusia mungil yang sepi dari dosa dan juga kenyamanan hidup.

“Vila, kejadian ini membuatku terharu. Baru kali ini aku menyaksikan langsung kegembiraan mereka. Sekarang aku tahu sesungguhnya mereka membutuhkan waktu luang untuk menikmati hidup, meski hanya sejenak. Mereka sebenarnya ingin melepas penat. Tapi sayang banyak yang tak peduli,” komentar Amel ketika adik-adik berjumlah lima belas itu dibiarkan merasakan kebebasan di taman sambil menikmati es krim cokelat.

“Iya Mel, beban hidup di jalanan telah merenggut senyum dan tawa mereka. Aku bisa bayangkan betapa stagnannya hari-hari mereka. Tiap hari harus mengais rezeki dengan ditemani rangkaian tutup botol yang mendadak disulap menjadi gitar. Aku akan sengsara seandainya hidup seperti itu,” jawabku sambil mengamati keadaan mereka.

Sedangkan Mia hanya menganggukkan kepala sebagai pertanda setuju dengan statementku dan Amel. Matanya sudah berkaca-kaca. Dia memang tipe perempuan yang mudah terharu dan menitikkan air mata.
***

Siang itu untuk pertama kalinya aku pergi ke luar kota naik bus. Bukan ke luar kotanya yang pertama kali, namun menikmati kendaraan bus itulah merupakan pengalaman pertama bagiku. Sejak lahir sekalipun aku tak pernah pergi menaiki angkutan umum. Biasanya aku diantar sopir atau pergi sendiri dengan mobil pribadi yang dihadiahkan oleh Papa kepadaku sewaktu ulang tahunku yang ke tujuh belas. Tapi hari ini lain. Entah kenapa tiba-tiba muncul inisiatif untuk merasakan fasilitas kendaraan beroda enam itu. Padahal mobilku dalam keadaan baik-baik saja. Ah, entahlah keinginan itu sangat kuat sehingga mendorongku keluar rumah tanpa menenteng kunci mobil.

Perlahan kakiku melangkah ke arah bus yang sedang menanti penumpang. Kota tujuanku adalah Malang. Setelah berjalan sekitar seperempat jam, akhirnya aku sampai juga di dalam bus dan mendapatkan tempat duduk di bagian depan. Handphoneku sengaja kumatikan supaya tak ada seorang pun yang menanyakan keberadaanku. Papa dan Mama pasti marah kalau tahu anak perempuan satu-satunya menghirup udara tak segar di terminal. Mereka tak akan rela anaknya terkena polusi udara. Tapi aku tak menghiraukan kekhawatiran mereka.

Sesaat kemudian dua anak kecil dengan membawa gitar mungil masuk ke dalam bus. Wajah dan rambut mereka sangat kusut. Pakaian mereka pun tak mencerminkan kerapian. Prediksiku mereka baru berumur antara sepuluh hingga dua belas tahun. Selanjutnya tanpa mendapatkan komando dari siapa pun, mereka langsung menyanyikan lagu yang sedang favorit saat ini walaupun dengan suara yang pas-pasan.

Hatiku merasa iba melihat kejadian itu, ingin sekali kuhentikan mereka agar suara mereka yang serak tak terdengar kembali. Aku merasa kasihan dengan keterjepitan ekonomi yang menimpa mereka sehingga usia kanak-kanak yang seharusnya dinikmati untuk bermain, justru malah menjadi ajang untuk mencari nafkah. Mereka yang seharusnya dinafkahi, justru realitanya sebaliknya. Aku bisa melihat mata mereka yang sangat lelah. Dahi mereka penuh dengan keringat. Sungguh aku tak tega melihat mereka dengan napas yang mengindikasikan kecapaian dan kelelahan.

Lima menit kemudian stok lagu habis. Ucapan salam sebagai pertanda akhir perjumpaan juga keluar dari bibir mungil mereka. Perlahan kaki seorang dari mereka berjalan menuju penumpang. Hanya ada satu tujuan, yaitu mengharap belas kasihan, mengharap beberapa rupiah masuk ke dalam kantong plastik yang telah dipersiapkan. Akan tetapi, kulihat banyak penumpang yang tak memberinya uang. Mungkin mereka merasakan kekecewaan, bisikku dalam hati.

Ketika ia telah berada di depan mataku, segera kurogohkan saku. Kuambil uang Rp 10.000 untuk membahagiakan mereka. Dan dugaanku benar. Mata anak lelaki itu berbinar. Mungkin baru pertama kali ada seseorang yang memberinya uang dengan nominal yang cukup banyak.

“Terima kasih, Mbak,” ucapnya dengan tersenyum manis.

“Ya, sama-sama,” jawabku singkat.

Entah kenapa perasaanku tak enak sewaktu mereka keluar dari bus. Ide untuk mengajak mereka makan di taman kota dekat terminal tiba-tiba muncul tanpa kusadari. Keinginan itu sangat kuat sehingga mendorongku meninggalkan bus dan mengejar mereka. Aku tak mempedulikan kota tujuanku, Malang. Yang terpenting adalah mengejar dan ngobrol dengan mereka. Beruntung mereka belum jauh dari bus yang kutumpangi. Segera kuutarakan rencanaku dan mereka menyambutnya dengan suka cita. Setelah itu aku mengadakan janji untuk bertemu besok malam jam tujuh di taman mereka.

“Ajak, teman-temanmu yang lain juga,” pintaku.
***

Tepat jam enam lebih empat puluh menit aku, Mia dan Amel sampai di taman yang terletak hanya sekitar tiga ratus meter dari terminal. Suasananya sangat asri. Kami membawa beberapa kardus berisi pakaian, makanan dan minuman. Dalam tasku juga terdapat beberapa amplop berisi uang. Sengaja kugesek ATM untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka. Mia dan Amel sangat mendukung niatku, terbukti mereka mau meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak-anak yang terpaksa diberi predikat sebagai pengamen.

Pukul tujuh kurang beberapa menit, pengamen yang mengenalkan diri sebagai Andi dan Bejo datang bersama ketiga belas teman mereka. Tanpa menunggu waktu, aku langsung meminta mereka untuk mengenakan pakaian yang telah kupersiapkan di kamar mandi. Sejurus kemudian penampilan mereka berubah. Sekarang terlihat lebih manis dan oke. Kupersilakan mereka menikmati makanan dan minuman yang tertata rapi di kardus. Terlihat raut kegembiraan dan kebahagiaan di wajah mereka.

Hibatun Wafiroh
Pelajar tinggal di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Jumat, 24 Juli 2009

Ibnu Hazm al-Andalusi: Ulama Produktif di Berbagai Bidang Keilmuan

Oleh: Hibatun Wafiroh*
Nama lengkap ulama yang populer sebagai pengusung madzhab Dzahiri (aliran tekstual) ini adalah Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm Al-Andalusi. Ia dilahirkan di Cordoba pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November 994 M. Ia memiliki kakek berkebangsaan Persia (Iran) bernama Yazid. Yazid sendiri adalah salah seorang hamba sahaya milik Yazid bin Abi Sofyan (w: 19 H), saudara Muawiyah bin Abi Sofyan (w: 60 H). Setelah dimerdekakan dari status budak, keturunan Yazid tetap menjalin hubungan baik dengan keturunan Muawiyah, Kedekatan dua keluarga besar ini menjadikan pribadi Ibn Hazm loyal dan fanatik terhadap dinasti Bani Umayah di Andalusia (Spanyol).

Ibn Hazm beserta keluarganya tinggal di Montlisam (kini disebut Montijar) di kawasan Huelva, Andalusia bagian barat daya yang terletak dalam wilayah Niebla. Ia tumbuh dewasa sebagai putra seorang menteri pada masa pemerintahan Al Manshur bin Abu ‘Amir. Pasca berpulangnya sang ayah ke rahmatullah pada akhir Dzulqa‘dah 402 H/Juni 1013 M, Ibn Hazm yang masih berusia sembilan belas tahun pun meninggalkan Cordoba yang saat itu sedang diguncang prahara perang saudara dan menetap di Almeria dan Jativa. Di kedua kota itu, ia tidak tinggal untuk selamanya karena pada akhirnya ia juga berpindah lagi ke tempat lain.

Secercah Harapan di CSS MoRA


CSS MoRA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religius Affair) atau PBSB (Penerima Beasiswa Santri Berprestasi) adalah dua istilah yang sangat asing bagiku ketika seragam putih abu-abu masih kukenakan tiap hari Senin dan Selasa. Apalagi tahu keadaan di dalamnya, dengar istilahnya saja belum pernah. Nampaknya itu hal yang wajar karena di madrasahku (MA Al Hikmah) belum ada seorang pun yang terjun di dalamnya dan di pesantrenku (Pondok Pesantren Raudhatul Ulum) belum ada seorang santri pun yang terlibat langsung serta menjadi bagian dari CSS MoRA atau PBSB. Bahkan di Kajen, desa tempatku belajar yang terletak di kecamatan Margoyoso kabupaten Pati, Jawa Tengah juga belum ada yang kenal dengan komunitas itu. Padahal di Kajen sendiri ada puluhan pesantren dan tiga yayasan pendidikan formal yang cukup terkenal dan besar.

Jeritan Hati Seorang Mahasiswa Penerima Beasiswa


Gelap gulita malam terobati oleh indahnya cahaya bulan yang bersinar dari langit sebelah timur. Nampak utuh dengan keindahannya yang luar biasa. Sinarnya yang tak redup oleh suatu apapun sehingga tampak nyaris sempurna. Aku tahu bahwa besok adalah tanggal 15 Sya’ban. Itu berarti purnamalah yang tengah kusaksikan dengan hati yang diliputi iri. Sorot cahayanya seakan mengisyaratkan kegembiraan. Kegembiraan yang tak terkontaminasi oleh sesetes pun kesedihan. Sangat jauh berbeda denganku.

Kepalaku pusing. Mataku lembab akibat air mata yang keluar tanpa kusadari. Hatiku sedih dan gundah. Tubuhku lunglai tak berdaya. Setahun menjalani kehidupan di Surabaya membuatku semakin tak karuan. Akhlaq karimah tak lagi bersemayam di dalam jiwa. Semboyan padi semakin berisi semakin merunduk tak ditemukan lagi di dalam otakku. Hanya emosi dan amarah yang selalu menghampiriku. Dendam dan dengki yang selalu bersarang di hatiku. Aku sangat pusing. Kepalaku sampai tak bisa digunakan untuk berpikir dengan jernih.

Sabtu, 23 Mei 2009

Keringat dan Air Mata Tinta


Tak terasa malam makin larut. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang sedikit demi sedikit berkurang. Manusia-manusia yang hidup di dunia pun tak lagi terdengar suara dan jeritannya. Hanya beberapa persen saja dari mereka yang masih bertahan dengan aktivitasnya walau jarum jam telah merangkak ke angka satu. Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk bekerja di malam hari. Sungguh pekerjaan yang bagi kebanyakan orang sangat berat, sebab pada umumnya malam dimanfaatkan untuk tidur bukan untuk bekerja. Tapi apa boleh buat, keberuntungan belum berpihak pada mereka. Dan ada pula yang telah kembali dari pengembaraannya di dunia maya untuk mengisi daftar hadir di hadapan Allah. Mereka sengaja bangun melawan setan-setan yang terus menggodanya dengan bisikan halus nan membius hanya untuk melaksanakan sholat Tahajjud di pertigaan malam yang terakhir. Lantas aku termasuk ke dalam segmen mana?

Rabu, 13 Mei 2009

Ibnu Hazm al-Andalusi (Summary)

Nama lengkap ulama yang populer sebagai pengusung madzhab Dzahiri (aliran tekstual) ini adalah Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm Al-Andalusi. Ia dilahirkan di Cordoba pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November 994 M. Ia memiliki kakek berkebangsaan Persia (Iran) bernama Yazid. Yazid sendiri adalah salah seorang hamba sahaya milik Yazid bin Abi Sofyan (w: 19 H), saudara Muawiyah bin Abi Sofyan (w: 60 H). Setelah dimerdekakan dari status budak, keturunan Yazid tetap menjalin hubungan baik dengan keturunan Muawiyah, Kedekatan dua keluarga besar ini menjadikan pribadi Ibn Hazm loyal dan fanatik terhadap dinasti Bani Umayah di Andalusia (Spanyol).

Minggu, 03 Mei 2009

Akulah Penulis Bertangan Satu


Di hari Kamis yang cerah ini aku akan melakukan sesuatu. Kesuksesan yang akan terjadi nanti akan sangat mempengaruhi diriku kemudian. Tepat di ulang tahunku yang ke-16, sebuah lomba karya tulis ilmiah diadakan di salah satu kampus paling bergengsi di Semarang. Kampus yang mayoritas mahasiswanya termasuk golongan borjuis. SPP tiap bulannya pun amat mahal. Kampus yang lulusannya sangat berpeluang untuk memperoleh pekerjaan. Kampus yang masih memegang prinsip Islam. Antara lain tercermin dalam kegiatan shalat Dzuhur berjama’ah di masjid kampus. Seluruh gerbang akan ditutup ketika adzan telah dikumandangkan. Tak ada satu pun aktivitas perkuliahan yang dilangsungkan saat itu. Setiap orang berbondong-bondong ke masjid. Kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan. Yaitu Universitas Islam Sultan Agung atau yang dikenal dengan nama UNISSULA. Kampus yang terletak di pinggiran kota Semarang itulah yang akan menjadi tempat tujuanku.

Sabtu, 02 Mei 2009

Imam Syathibi: Mujaddid fi al-Islam wa al-Mushlih

Problematika Fiqh yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks. Ini disebabkan oleh kebudayaan dan peradaban mereka yang senantiasa berkembang dari masa ke masa. Sedangkan tidak semua produk hukum yang dihasilkan oleh ulama terdahulu mampu mengcover permasalahan tersebut. Di sini diperlukan sebuah proses istinbath al ahkam yang nantinya produk yang dihasilkan bisa menjadi problem solving. Salah satu metode istinbath al ahkam yang masih menarik diperbincangkan di kalangan ulama dan akademisi sejak dulu hingga sekarang adalah metode maqashid al syari’ah.

Hasan al-Bana: Mujahid dan Muassis Ikhwan al-Muslimin

Islam adalah agama yang sempurna. Untuk sampai pada titik kesempurnaan dibutuhkan perjuangan yang luar biasa dari umat Islam sendiri. Perjuangan yang harus didasari dengan rasa ikhlas dan harus dilaksanakan secara kontinyu tanpa mengenal lelah dan letih. Sehingga cita-cita mulia yaitu tersebarnya agama Islam ke seluruh penjuru dunia bisa tercapai seperti saat ini.

Layaknya perputaran roda, Islam pun terkadang berada di atas dan terkadang pula berada di bawah. Akan tetapi perjuangan-perjuangan yang dimotori oleh gerakan Islam terus berkobar, hilang satu tumbuh seribu, esa hilang terbilang dua. Misalnya ketika Dinasti Abbasiyyah jatuh ke tangan Mongolia, pada waktu yang bersamaan kebangkitan Islam muncul di belahan barat, Andalusia. Dan salah satu mujahid yang tetap gigih sekaligus sebagai perintis gerakan Ikhwan al Muslimin adalah Hasan al Banna.

Rabu, 29 April 2009

Good-God=0


Manusia diciptakan oleh Allah dengan karakter yang berbeda. Banyak orang yang memiliki kecenderungan ke hal-hal yang positif dan tak sedikit yang suka berbuat maksiat dan dosa. Setiap manusia baik yang berkepribadian mulia maupun buruk pasti memiliki keinginan untuk menjadi orang sukses. Tak ada seorang pun yang akan menolak apabila kesuksesan itu ditawarkan kepadanya. Demikian pula sebaliknya. Tak ada seorang pun yang mau menawar kegagalan meski kegagalan itu dijual dengan harga yang amat murah. Karena memang karakter dasar manusia adalah menghendaki hal-hal yang istimewa dan menguntungkan.

Rabu, 22 April 2009

Jangan Panggil Aku Pelacur

Langit masih terlihat gelap meski bumi telah diterangi oleh miliaran watt lampu listrik. Tak ada satu pun sumber cahaya di dunia yang mampu mengalahkan bulan, bintang dan matahari. Suara bising kendaraan belum terdengar sebab sebagian besar manusia tengah asyik mengembara di alam mimpi mereka. Inilah saat yang tepat bagiku untuk meninggalkan Surabaya, sebuah kota yang menjadi saksi bisu akan kebusukanku di masa lalu. Aku tak ingin orang lain mengetahui kepergianku. Oleh karena itu, kuputuskan untuk meninggalkan rumah sebelum adzan Shubuh dikumandangkan.

Tanpa terasa aku sudah sampai di terminal Bungur Asih. Sebelum masuk ke dalam bus, terlebih dahulu kulaksanakan shalat Shubuh. Meski diriku berlumuran dosa, namun kewajiban yang satu itu tak pernah kutinggalkan. Aku juga tak mau perjalananku nanti tak direstui oleh-Nya karena aku melalaikan perintah-Nya.
Tempat yang kutuju ialah Kajen, sebuah desa di kabupaten Pati, Jawa Tengah yang terkenal akan santri dan kiainya sebab di sana ada puluhan pesantren yang ditempati oleh ribuan santri. Itulah kenapa Kajen disebut dengan Kota Santri. Sebelumnya aku tak pernah mengenal nama Kajen, sebab wawasanku tentang itu tak begitu luas. Aku mengetahuinya dari seorang pria baik hati bernama Pak Muhim dua hari setelah ayahku meninggal dunia.

Minggu, 15 Maret 2009

Kontribusi Mahasiswa terhadap Masyarakat

Ketika berbicara tentang mahasiswa, berbagai respon akan muncul baik yang bersifat positif maupun negatif. Menurut etimologi mahasiswa terdiri dari dua kata yaitu maha dan siswa. Secara umum mahasiswa dapat didefinisikan sebagai predikat yang diberikan kepada orang-orang yang menekuni suatu disiplin ilmu di perguruan tinggi. Dikatakan disiplin ilmu tertentu karena mereka sudah tersegmentasi ke dalam berbagai fakultas dan jurusan yang ada di kampus. Meskipun juga ada sebagian mahasiswa yang menguasai berbagai disiplin ilmu.

Mahasiswa bukanlah sekedar gelar yang patut dibanggakan karena telah berhasil menempuh study di perguruan tinggi. Mahasiswa juga bukan seperti pelajar-pelajar lain yang hanya mempelajari ilmu dalam tataran teori. Akan tetapi dengan menyandang gelar tersebut, maka dia dituntut untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkannya supaya masyarakat bisa merasakan hasil kuliahnya. Rasullah Muhammad pernah bersabda:

خير الناس انفعم للناس واحسنم خلقا

Artinya: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain dan yang paling mulia akhlaknya.

Minggu, 18 Januari 2009

I Wanna Love You Coz of Him




Pagi ini terasa begitu indah. Tentunya dengan segala keajaibannya yang amat dahsyat. Tetesan embun di permukaan daun yang lambat laun membasahi tanah. Kicauan burung di ranting pepohonan terdengar merdu seakan mempersembahkan sebuah lagu kebahagiaan dan kegembiraan kepadaku yang sedang dirundung sejuta rasa bahagia. Sinar keemasan matahari merambat dengan pasti ke seluruh bagian muka bumi, bahkan sampai ke celah terkecil pun.

Memang sejak beberapa minggu yang lalu aku senantiasa memuji kebesaran ayat-ayat Allah yang ditunjukkan oleh-Nya di alam semesta ini. Untaian kalimat Hamdalah tak henti-hentinya mengalir dari kedua bibirku. Terutama hari ini. Hari di mana aku akan mengukir kenangan terindah dalam hidupku. Kedua mataku tak mampu lagi menahan butiran-butiran lembut yang membuat pipi terasa dingin. Aku sungguh terharu. Ingin rasanya aku bersujud di hadapan-Nya sepanjang hari ini.