Selasa, 15 Juli 2014

Kalimat Penenang

"Lega rasanya aku bisa mantap memutuskan untuk melupakan segala kenangan di kota ini yang berkaitan dengan lelaki berkacamata minus itu. Merasa terkejut dan terpukul adalah manusiawi. Tapi kalimat ini selalu menjadi penenang: Allah tahu apa dan siapa yang terbaik untukku. ^_^"

Kemarin lusa sekitar jam setengah sepuluh malam aku menjadikan rangkaian kalimat di atas sebagai status facebook-ku. Status bernada curhatan itu disukai oleh  lima puluh orang lebih. Puluhan teman juga mengomentarinya. Tetapi aku tindak hendak membahas tanggapan orang-orang mengenai statusku. Toh, sebenarnya aku pun tidak begitu berharap catatan sederhanaku di facebook ramai direspons. Melainkan aku ingin bercerita sedikit tentang alasanku menulis tiga kalimat tersebut.

Senin, 07 Juli 2014

Tiket Masuk ke Komisi Yudisial


Lima bulan aku menempati kantor ini. Kantor mentereng berlantai enam di Jalan Kramat Raya Nomor 57. Jalan strategis yang menghubungkan Senen dan Salemba. Berbilang-bilang minggu aku menjadi bagian dari keluarga besar instansi ini. Instansi yang kelahirannya dibidani oleh para reformis yang kecewa dengan sistem hukum masa lampau. Instansi yang eksistensinya termaktub dalam Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945. Instansi yang setara dengan tujuh lembaga negara: Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK dan MPR. Ya, terhitung mulai Februari 2014 aku resmi eker-eker di Komisi Yudisial, mencari rezeki sebagai staf anotasi.

Kamis, 03 Juli 2014

Harapanku: Abadikan Perjalanan Pak Suparman

Suparman Marzuki (Ketua Komisi Yudisial RI)

Lebih dari setahun lalu aku pernah ngetwit, "Apapun profesi yang sedang dan akan kugeluti, aku ingin tetap menulis, minimal resensi dan cerpen." Kicauan tertanggal 10 Mei 2013 itu keluar dari hati, bukan asal menyampah di beranda twitterku. Kalau tidak salah ingat, aku sedang mengalami gejolak batin ketika mengetik lima belas kata tersebut. Ya, aku sedang galau waktu itu. Pasca obrolan panjang dengan orang tuaku mengenai keberatan mereka terhadap mimpi yang sedang kuperjuangkan, aku menjadi ragu untuk fokus menulis. Jujur, aku ingin terus mengasah skill menulisku. Tetapi di sisi lain, kupikir, untuk apa aku menekuni sesuatu yang orang tuaku terang-terangan tidak setuju. Mereka mengizinkanku menulis sekedar sebagai kegiatan sampingan. Ridhallahi fi ridhal walidain. Akhirnya, dengan pertimbangan matang, aku menyengaja mati (suri?), berhenti menulis. Namun aku tetap menyimpan satu keinginan: jika aku telah memiliki pekerjaan mapan, aku akan kembali memasuki dunia tulis-menulis.