Sabtu, 12 Januari 2013

Novelet: Melukis Purnama (Part 2)

Oleh: Hibatun Wafiroh
Part /2/
Gadis manis berlesung pipit itu sedang asyik menekuri selembar kertas A4 yang dijepit running board. Pensil 2B berpose centil di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Hati-hati ia ajari pensil itu menari, menggores gurat nan apik, mengikuti lonjakan imajinasinya. Sesekali ia usapkan jilbab putihnya ke muka untuk menyapu biji-biji keringat.

Ia konsentrasi. Setip di meja tidak guna. Sekali menggurat, ia tidak kenal setip-menyetip. Gentar ia menengok ke belakang, tak ragu akan guratannya.

Alhamdulillah, selesai.” Ia girang. Senyum tersungging. Menawan.

“Yes! Selesai. Hore....” Bahagia. Ia seperti baru memenangkan sesuatu.

Kawan-kawan di sekitarnya langsung merubungnya, tak sabar ingin tahu hasil torehan tangannya. Sebuah sketsa wajah menyedot perhatian seisi kelas.


“Bagus banget, Mea,” tanggap Bella.

Aha, gadis pelukis sketsa itu adalah Mea.

“Wow, keren! Kok cepat, Me,” imbuh Majid terkagum-kagum.

“Hebat!”

Sketsa itu diselesaikan dalam tempo kurang dari dua menit. Kilat.

“Tanpa foto kamu bisa membuat sketsa sebagus ini.” Majid menggeleng-gelengkan kepala. “Benar-benar orisinal, bukan jiplakan foto.”

Subhanallah, mirip sekali dengan Pak Sya’roni. Hebat kamu, Me. Dua jempol buatmu,” ucap Zuda, ketua kelas.

Itu sketsa wajah Pak Sya’roni, guru Bahasa Inggris sekaligus wali kelas sepuluh A yang dua minggu lagi akan melepas masa lajangnya. Sketsa itu diberi-kan sebagai kado pernikahan, di samping juga barang-barang yang lain.

“Ambil figura! Kita pasang sekarang,” komando Zuda, diamini yang lain.

Zuda meraih gunting, memotong sisi kanan dan atas kertas. Dipaskan dengan ukuran frame, 10 R.

Dalam hitungan menit sketsa semringah Pak Sya’roni telah terpajang di figura kayu berukiran dedaunan. Siapa pun yang melihat akan mengira sketsa itu karya pelukis ulung berbakat. O la la, sepertinya Allah telah menganugerahi Mea kemampuan menggurat yang luar biasa. Semenjak usia lima tahun kemampuan itu sudah terlihat. Mea kerap menyendiri sembari menenteng kertas dan pensil hingga lahirlah gambar-gambar yang begitu indah dan seakan bernyawa. Diam-diam Mea memiliki impian menjadi pelukis profesional dengan sejuta lukisan inspiratif.

Well, kado pertama sudah siap. Hmm... menurutku, ada yang kurang. Apa coba?,” pancing Zuda.

“Sketsa mempelai wanitanya,” tebak Bella.

“Yups, benar. Makin spesial kalau kita bisa memberikan dua sketsa sekaligus. Gimana, Me, kau bisa bikin sketsa satu lagi kan?,” pandangan Zuda beralih ke Mea.

Insya Allah, bisa. Cuma masalahnya aku belum pernah ketemu calon istri Pak Sya’roni. Kalau tak salah, Pak Sya’roni mau menikah dengan wanita asal Bandung, kan? Aku tidak bisa menggambar wajah orang yang belum pernah kujumpai kecuali....,” Mea sengaja mengulur perkataannya, membiarkan teman-temannya hanyut dalam penasaran.

“Kecuali apa, Me?,” tanya Zuda spontan.

“Apa?”

“Iya, apa, Me?,” yang lain ikut tak sabar ingin tahu.

“Kecuali ada yang bisa menunjukkan foto calon istri beliau padaku. Bagaimana?”

“Oh, soal itu gampang, Me,” timpal Zuda. Nanti coba kucari di blog dan akun facebook Pak Sya’roni dulu. Kalau ternyata tidak ada, kuserahkan tugas ini pada Hamzah.”

Si empunya nama Hamzah gelagapan. “A-a-ku?”

“Iya, kamu, Hamzah. Kamu kan kerabat Pak Sya’roni. Jadi tidak sulitlah kamu pinjam foto calon istri beliau. Mau kan?”

“Emm... Emm.... Baiklah, insya Allah,” Hamzah tergegap-gegap.

“Nah, siip. Bagus.”

“Oke, kutunggu. Lebih cepat lebih baik. Aku siap menggambar kalau sudah ada fotonya. Ah ya, aku punya sesuatu buat kalian.” Mea membuka ransel motif daunnya. Sejurus kemudian tangannya menggenggam setumpuk kertas undangan.

“Besok ulang tahunku. Kalian datang ya. Ini undangannya. Jam empat sore di rumahku.” Mea membagikan undangan kepada teman-temannya. Raut mukanya jelas menyiratkan keceriaan. “Jangan lupa! Kedatangan kalian sangat kuharapkan,” tambahnya.

Jarum jam dinding bertemu di angka dua belas. Pukul 12.00 WIB. Bel menderit tiga kali, pertanda waktu istirahat kedua telah usai. Selama jam istirahat siswa kelas X A kompak tak keluar kelas. Mereka sibuk membahas apa-apa yang akan mereka berikan kepada guru inspiratif mereka, Pak Sya’roni, di momen pernikahan awal bulan depan. Akhirnya mereka sepakat menghadiahi dua sketsa wajah, sebuah video dokumenter dan satu set bed cover sulaman yang merupakan hasil kreativitas mereka sendiri. Unik, bukan?

Dan siapa sangka ini menjadi keceriaan terakhir antara Mea dan kawan-kawannya. Esok sikap mereka terhadap Mea sudah berubah seratus delapan puluh derajat setelah mengendus virus yang diidap Mea.
<<>> 

“Mea, ayo sarapan!,” panggil Bu Aida dari ruang makan.

Sajian nasi goreng plus telur mata sapi menggoda untuk disantap. Sendok dan garpu menyilang di atas dua piring. Susu hangat tertuang ke dalam dua gelas. Dua kursi kayu mengelilingi meja persegi yang dilapisi kaca bening. Serba dua. Ya, rumah minimalis bergaya Eropa itu memang dihuni mereka saja. Tiada pria di sana. Pak Rauf, ayah Mea wafat jauh sebelum Mea mengenal rupa-rupa aksara, masih balita. Sepeninggal suami tercinta, Bu Aida tak lantas menikah lagi. Demi bisa bersama Pak Rauf di hari akhir kelak, ia rela menjanda seumur hidup dan menjadi single parent bagi anak semata wayangnya, Mea.

“Mea, ayo, Sayang! Nanti telat lho.”

“Sebentar, Bu. Masih menata jilbab nih,” sahut Mea dari dalam kamar.

Sela tak lama Mea muncul dalam balutan seragam putih abu-abu. Cantik, tinggi semampai, putih pula. Sayangnya, pagi ini wajah ayu itu ternodai pucat lesi.

“Bu, kepalaku agak pusing,” curah Mea.

“Kamu kecapekan, Sayang. Semalam tidur jam berapa?”

“Jam sebelas, Bu.”

“Lain kali jangan tidur larut malam!,” nasihat Bu Aida, “Sekarang cepat makan gih. Terus minum obat.”

“Iya, Bu. Hmm... kenapa saban hari aku harus minum obat? Perasaan dari TK aku sudah mengonsumsi obat ini,” Mea menuding gelintir-gelintir obat yang selalu say hallo di sebelah piringnya, “Bukannya sembuh, tapi obatku makin banyak dan aku sering jatuh sakit. Memang aku sakit apa sih, Bu?”

“Makan dulu, Sayang. Kapan-kapan Ibu ceritakan. Sudah jam setengah tujuh. Lain waktu saja kita bahas itu ya?,” elak Bu Aida, getir. Sejuta kali Mea menanyakan itu, sejuta kali pula Bu Aida tidak menjawab. Ia belum siap mengatakan penyakit yang diderita putrinya.

“Benar, ya Bu? Masa minum obat terus tapi aku tidak tahu penyakitku.”

“Iya, Sayang. Suatu saat nanti Ibu pasti akan cerita. Ibu janji deh.”

Anak-beranak itu menyudahi obrolan. Mea lahap mengunyah bulir-bulir nasi goreng yang gurih bukan main. Menu racikan ibunya selalu pas di lidahnya. Baginya, ibunya adalah chef terbaik. Masakan restoran kalah dengan masakan ibunya. Pucat wajahnya pun menguap seiring uap yang mengepul dari nasinya.

Sementara Bu Aida merasakan sedih tidak terkatakan mengingat kian hari virus ganas kian mengurangi kekebalan tubuh Mea. Dalam sedih tersisip penyesalan lantaran......

Ah, ia tidak mau mengingat-ingat lagi karena itu terlalu menyakitkan. Tapi mana mungkin ia bisa melupakan kejadian yang menjadi pangkal pende-ritaan anaknya itu. Satu hal yang ia sadari, Mea akan menagih janjinya, entah kapan. Janji untuk menerangkan sakit apa dia.

Tanpa permisi setitik air mengumpul di sudut matanya. Segera ia hapus dengan jemarinya. Ia harus nampak baik-baik saja di depan Mea meski sebetulnya ia selalu dihinggapi rasa bersalah setiap kali kejadian itu muncul di benaknya.

“Wah, lezat sekali. Kalau waktunya tidak mepet, aku siap menambah sepiring lagi.” Piring di hadapan Mea sepi dari nasi. Habis tak tersisa.

Bu Aida tertawa kecil, senang melihat Mea lahap makan.

“Sayang, hadiah yang Ibu berikan sudah dibuka belum?”

Tadi sewaktu kesadaran Mea belum sempurna kembali dari berkelana di negeri mimpi, sembari melantunkan lagu Happy Birthday, Bu Aida mengejutkan-nya dengan sebuah bingkisan besar. Isinya sangat istimewa. Dijamin seratus persen Mea suka.

“Belum, Bu. Aku membukanya nanti malam saja. Ini kan tanggal 15 bulan Kamariah. Ibu mau kan menemaniku melihat purnama?”

“Tentu, tentu Ibu mau.”

Mereka tak pernah melewatkan momentum yang begitu menawan itu. Purnama selalu tampak menakjubkan di mata mereka. Kalau tidak ada hujan atau mendung, mereka biasa bercengkerama di kursi taman yang langsung beratapkan langit. Bisa sampai larut malam. Bebas menebak rasi bintang apa yang tampak. Terutama men-tadabburi keindahan purnama. Kadang pula menitipkan salam untuk mendiang sang ayah lewat bulan.

“Aku ingin membuka kado spesial dari Ibu di bawah terang purnama nanti malam.”

“Iya, Sayang, iya tak apa-apa.”

Setelah mengatakan itu, mereka ber-cipika-cipiki. Lantas Mea bergegas berangkat sekolah menggunakan sepeda lipatnya. “Assalamu’alaikum,” ucapnya sembari mengayuh pedal sepedanya.
<<>> 

Tidak ada komentar: