Rabu, 14 Mei 2014

Koma

Pengap. Gerah. Sumpek. Tidak ada AC. Yang ada, dua kipas angin listrik yang memicu perdebatan sengit jika difungsikan. Keringat membanjiri badan orang-orang di ruang itu. Tangan mereka tak henti-hentinya menggerak-gerakkan kipas bambu untuk menghadirkan sedikit angin segar. Di sisi lain sebagian pasien berselubung lapis-lapis selimut karena kedinginan. Wajah mereka pucat sepucat suasana ruangan itu.

Delapan brankar berhimpitan satu sama lain. Jarak antar brankar hanya dua puluh sentimeter. Infus yang bertengger di tiang besi menandakan di brankar-brankar itu berbaring manusia penyandang penyakit. Tidak ada brankar yang kosong. Di brankar pertama, paling dekat dengan pintu masuk, tertidur pulas remaja perempuan. Dia selesai operasi usus buntu kemarin. Keadaannya kian membaik. Di sampingnya ibu bapaknya menungguinya tiada lelah. Di brankar kedua dan ketiga dua pasien bernasib sama terus menahan rasa sakit di bagian kaki. Mereka harap-harap cemas menanti pelaksanaan operasi tulang. Oh... kasihan sekali dua kakak beradik itu. Seandainya orang tua mereka berduit, pastinya mereka sudah dioperasi tak lama setelah ditimpa musibah kecelakaan.


Di brankar-brankar berikutnya tak kalah menyedihkan. Seorang pria uzur terus mengerang kesakitan selesai dioperasi alat vitalnya. Penyakit prostat, begitu kata dokter. Di sebelahnya wanita muda tengah duduk santai. Sakitnya tak terlalu parah: amandel. Dia tinggal menunggu izin pulang dari dokter. Tidak jauh dari wanita itu seorang pria terkantuk-kantuk mengipasi anak lelakinya yang tangan kirinya cidera usai bersalto di lapangan sepak bola. Brankar ketujuh ditempati ibu paruh baya penderita diabetes. Dan di brankar terakhir adalah pasien terparah dan terlama di kamar kelas terendah di RSUD itu. Kawan, nanti akan kuceritakan padamu tabiat pasien kedelapan ini.

Lengkap sudah ketidaknyamanan di kamar itu. Siapa yang memasukinya akan memasang raut muka sedih dan prihatin seketika. Tak heran, jika gara-gara kesumpekan kamar ada pasien yang bukannya membaik, tapi malah makin parah.

Seperti kemarin dan sebelumnya, hari ini kamar itu tidak sepi dari pasien dan pengunjung. Satu datang, satu lainnya meninggalkan. Begitu seterusnya sepanjang hari, sepanjang bulan, bertahun-tahun dengan orang-orang yang kadang beda kadang sama.  Tapi tetap dalam rumpun yang sama, yaitu pasien minim biaya atau pasien tidak mampu yang berobat dengan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah.

Tergopoh-gopoh pemuda tampan berkacamata memasuki kamar. Langkahnya berhenti tepat di depan brankar nomor delapan. Firman, nick name-nya.

“Bagaimana perkembangan Bapak, Rin?”

“Bapak masih koma, Mas. Beliau belum sadar.”

Koma. Selalu saja kata itu yang ditekankan.

Pria usia 50-an tahun terbujur kaku di brankar kedelapan. Tiga selang melilit tubuh ringkihnya: selang infus, selang pernapasan dan selang kencing. Matanya rapat merem. Pipinya kempot tak berdaging. Bibirnya terkatup, kering pecah-pecah. Kedua tangannya diam tak bergerak sama sekali. Sekujur tubuhnya tertutup selimut warna-warni, bukan fasilitas rumah sakit. Dan... yang paling tidak tega melihatnya adalah kepalanya. Seluruh kulit kepalanya dibalut perban putih. Nyaris tak ada sehelai rambut yang tumbuh. Oh, sebentar saja perban itu dibuka, akan nyata terlihat kepala itu usai dioperasi. Tidak tanggung-tanggung: operasi otak. Ih, ngeri membayangkan.

Kalau bukan nadi dan jantung yang masih berdenyut, pasien yang koma tiga bulan itu sudah terlempar jauh ke liang gelap, tempat persemayaman terakhir. Menyatu padu dengan belatung-belatung pemangsa daging. Di alam baka yang tak terdeteksi manusia bernyawa, ia dicerca malaikat Munkar dan Nakir bermacam-macam pertanyaan. Hanya amal kebajikan yang menjadi teman sejatinya. Bersyukur, Tuhan Yang Maha Pemurah masih berkenan memberinya nikmat hidup, entah sampai berapa lama lagi. Benarkah ia merasakan nikmat hidup atau sedang merenggang nyawa? Entah...

Rina berdiri. Diberikannya kursi plastik yang tadi didudukinya kepada Firman, kakaknya. Lagi-lagi kursi plastik itu bukan fasilitas RS, tetapi dibeli di toko. Mana ada di kamar kelas terendah di RSUD itu ada kursi untuk pengunjung? Tahukah Kawan, berapa perbandingan biaya kamar itu dengan kamar VIP, very important person? Satu banding sepuluh. Wajar, kalau serba tak ada.

“Mas, sudah ada uang untuk biaya Bapak?”

“Belum, Rin. Tak tahulah. Aku pusing. Mobil dan motor sudah kita jual untuk biaya operasi Bapak. Tanpa sepengetahuan kita ternyata Bapak juga menggadaikan sertifikat rumah. Sekarang tidak ada benda berharga yang bisa kita jual. Aku bingung mau mencari uang ke mana lagi,” desah Firman putus asa. “Bingung, Rin.”

Mereka diam. Namun tidak membuat ruang pucat itu hening. Kamar itu tak lengang dari hiruk-pikuk keluarga pasien. Ketika cleaning service boy bertugas saja mereka harus keluar ke ruang tunggu,

Kawan, sekarang saatnya kubeberkan siapa pasien di brankar kedelapan itu.

Dia anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tak keliru, dia anggota DPRD. Heran tentu kenapa orang “terhormat” itu bisa terdampar di kamar tidak berfasilitas lengkap. Bukankah anggota dewan selalu dikesankan dengan hal-hal berbau kemewah-an? Lantas ke mana gaji pokok, tunjangan dan “pendapatan sampingan” yang ia dapat selama ini? Apakah ia miskin sedari sebelum menjabat DPRD? Simaklah, Kawan!

Pak Sugih, demikian ia akrab dipanggil. Dia penjahat bermuka pejabat yang berkeliaran di negeri yang belum pantas dilabeli clean governance ini. Kinerjanya tidak patut diacungi jempol. Namun bualan politiknya mampu membuat lawan bicaranya menganggut-anggut. Dia berada di blok NATO: nothing action talk only.

Dia suka menilap uang rakyat, menyunat dana proyek, meminta komisi dan lain-lain yang identik dengan tindakan korupsi. Tak samar Kawan, dia koruptor tingkat menengah. Kuembeli tingkat menengah sebab masih banyak pejabat yang meraup uang dalam jumlah yang berlipat-lipat kali dari uang yang dia tilap. Dan tidak sedikit pejabat kelas teri yang turut melestarikan budaya korupsi. Tentu nominal rupiahnya tak begitu banyak jika dibanding kelas menengah dan kakap. Nah, dia berada di antara dua kutub itu. Sayang seribu sayang, kejahatannya tak terendus KPK.

Harta, tahta dan wanita. Pak Sugih termasuk penggila ketiga-tiganya. Gila harta, gila kedudukan dan gila perempuan. Apapun dilakukannya untuk meningkatkan angka saldo rekeningnya. Dia tak mengenal dikotomi halal dan haram. Lebih tepatnya, melupakannya. Dia seorang oportunis, selalu mengambil keuntungan untuk dirinya dari kesempatan yang ada. Amboi, harta duniawi telah membutakan mata hatinya.

Setiap Pak Sugih berhasil menyelewengkan uang negara, perempuan geladak menjadi incarannya. Bahkan usai menghadiri rapat dewan ia tidak pernah tidak singgah barang semalam di hotel bintang lima. Wanita cantik, pelacur eksklusif, menemaninya tidur semalam suntuk. Ah, duda gagah itu memang sering terlibat dalam transaksi lendir yang tak kepalang hinanya. Zina bukan lagi pantangan baginya. Entah, berapa nominal uang yang dia kucurkan untuk kenikmatan sesaat itu.

Seperti kebanyakan orang berkedudukan tinggi, Pak Sugih haus jabatan. Dia belum puas menjabat anggota DPRD hanya dalam satu periode. Menjelang berakhirnya masa jabatannya, dia nimbrung lagi dalam pencalonan legislatif. Kali ini merambah ke level yang lebih tinggi: calon DPR Pusat. Dibutuhkan banyak rupiah untuk mewujudkan ambisi itu. Sudah menjadi rahasia umum, uang itu tak lain untuk membeli suara rakyat.

Hari itu Negara Kesatuan Republik Indonesia tengah berpesta. Pesta rakyat. Berduyun-duyun masyarakat mendatangi TPS, tempat pemungutan suara. Kertas suara dibentangkan lebar-lebar. Di sana berderet nama calon anggota legislatif. Aha, nama Sugih Harto terletak di baris keempat di bawah naungan sebuah partai politik

Pak Sugih cemas dan gelisah menunggu hasil Pemilu yang tak bisa diketahui pasti pada hari itu juga. Telah dia pertaruhkan harta bendanya untuk jabatan bergengsi itu. Uang hasil korupsinya saat menjabat DPRD telah ludes di meja pencalonan. Bahkan rumah gedongnya telah dia gadaikan demi memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Dia tak mau merugi serupiah pun. Pengeluaran itu harus terbayar lunas dengan menduduki jabatan anggota DPR Pusat. Bukan jabatan, tapi “penghasilan sampingan” dari jabatan itu yang bisa melunasi! Mengerti ‘kan maksudku, Kawan?

Kedamaian belum jua mau memeluk kalbu Pak Sugih. Keringatnya mengucur deras. Dia takut sekali kalau kalah dalam Pemilu. Rupanya dia punya cara sendiri untuk mengusir kegelisahannya itu. Cara yang tidak selayaknya dilakukan oleh seorang wakil rakyat. Cara yang bakal dihujat banyak orang jika ketahuan.Yakni, menikmati fantasi seks dengan wanita tak beradab. O o, pantaskah laki-laki paruh abad bertabiat buruk ini mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat??

Naas, sore itu di tengah perjalanan menuju hotel mobil yang disetirnya dengan kecepatan tinggi oleng. Kecelakaan dahsyat tidak terhindarkan. Sebuah motor terlindas ban mobilnya. Dua pengendaranya tewas seketika. Sementara Pak Sugih bersimbah darah dan gegar otak. Belum sampai dia mengusir kecemasan dan kegelisahan dengan permainan fantasi perempuan, Tuhan Yang Maha Melihat telah mendepaknya dari list penerima anugerah kesehatan.

Sebenarnya dua bulan lamanya dia dirawat di kamar VIP. Diperlakukan istimewa oleh dokter dan perawat. Namun hari-hari berikutnya kedua anaknya, Firman dan Ririn, memutuskan untuk memindahkannya dari kamar VIP. Mereka menyerah. Uang sedang tidak berpihak.

Lihatlah, Kawan! Pak Sugih Harto–koruptor tingkat menengah, calon anggota DPR RI yang kalah telak dalam Pemilu–sedang merasakan sengsara tak tertanggungkan di kamar kelas terendah itu.

“Mas....!,” Rina setengah berteriak seperti teringat sesuatu. “Kita hubungi Pak Bagus. Dia teman karib Bapak. Sebelum Bapak kecelakaan, dia sering main ke rumah. Mungkin membicarakan soal politik.”

“Aku tidak yakin. Hampir semua nomor di kontak handphone Bapak sudah aku telepon. Nyatanya apa? Tidak ada yang sudi membantu. Tidak ada yang peduli pada Bapak,” suara Firman lemah.

“Kita coba dulu, Mas. Aku akan cari tahu alamatnya. Biar aku yang mendatangi rumahnya.”

“Sudahlah, Rin. Tak usah banyak berharap. Bersiap-siap saja menerima kenyataan pahit.”  

Sepak terjang koruptor selalu berakhir sengsara. Kalau di dunia dia lepas dari jerat hukum –seperti belut licin yang tak mudah ditangkap, tunggu saja sanksi di hari akhir nanti sebagai kompensasi perbuatannya. Yakinlah itu!


Cerpen "Koma" dimuat di Majalah Joe Fiksi

Tidak ada komentar: