Pengap. Gerah.
Sumpek. Tidak ada AC. Yang ada, dua kipas angin listrik yang memicu perdebatan
sengit jika difungsikan. Keringat membanjiri badan orang-orang di ruang itu.
Tangan mereka tak henti-hentinya menggerak-gerakkan kipas bambu untuk
menghadirkan sedikit angin segar. Di sisi lain sebagian pasien berselubung
lapis-lapis selimut karena kedinginan. Wajah mereka pucat sepucat suasana
ruangan itu.
Delapan brankar
berhimpitan satu sama lain. Jarak antar brankar hanya dua puluh sentimeter.
Infus yang bertengger di tiang besi menandakan di brankar-brankar itu berbaring
manusia penyandang penyakit. Tidak ada brankar yang kosong. Di brankar pertama,
paling dekat dengan pintu masuk, tertidur pulas remaja perempuan. Dia selesai
operasi usus buntu kemarin. Keadaannya kian membaik. Di sampingnya ibu bapaknya
menungguinya tiada lelah. Di brankar kedua dan ketiga dua pasien bernasib sama
terus menahan rasa sakit di bagian kaki. Mereka harap-harap cemas menanti
pelaksanaan operasi tulang. Oh... kasihan sekali dua kakak beradik itu.
Seandainya orang tua mereka berduit, pastinya mereka sudah dioperasi tak lama
setelah ditimpa musibah kecelakaan.
Di brankar-brankar
berikutnya tak kalah menyedihkan. Seorang pria uzur terus mengerang kesakitan
selesai dioperasi alat vitalnya. Penyakit prostat, begitu kata dokter. Di sebelahnya
wanita muda tengah duduk santai. Sakitnya tak terlalu parah: amandel. Dia
tinggal menunggu izin pulang dari dokter. Tidak jauh dari wanita itu seorang
pria terkantuk-kantuk mengipasi anak lelakinya yang tangan kirinya cidera usai
bersalto di lapangan sepak bola. Brankar ketujuh ditempati ibu paruh baya
penderita diabetes. Dan di brankar terakhir adalah pasien terparah dan terlama
di kamar kelas terendah di RSUD itu. Kawan, nanti akan kuceritakan padamu
tabiat pasien kedelapan ini.
Lengkap sudah ketidaknyamanan
di kamar itu. Siapa yang memasukinya akan memasang raut muka sedih dan prihatin
seketika. Tak heran, jika gara-gara kesumpekan kamar ada pasien yang bukannya
membaik, tapi malah makin parah.
Seperti kemarin dan
sebelumnya, hari ini kamar itu tidak sepi dari pasien dan pengunjung. Satu
datang, satu lainnya meninggalkan. Begitu seterusnya sepanjang hari, sepanjang
bulan, bertahun-tahun dengan orang-orang yang kadang beda kadang sama. Tapi tetap dalam rumpun yang sama, yaitu
pasien minim biaya atau pasien tidak mampu yang berobat dengan kartu jaminan
kesehatan dari pemerintah.
Tergopoh-gopoh
pemuda tampan berkacamata memasuki kamar. Langkahnya berhenti tepat di depan
brankar nomor delapan. Firman, nick name-nya.
“Bagaimana
perkembangan Bapak, Rin?”
“Bapak masih koma,
Mas. Beliau belum sadar.”
Koma. Selalu saja
kata itu yang ditekankan.
Pria usia 50-an
tahun terbujur kaku di brankar kedelapan. Tiga selang melilit tubuh ringkihnya:
selang infus, selang pernapasan dan selang kencing. Matanya rapat merem.
Pipinya kempot tak berdaging. Bibirnya terkatup, kering pecah-pecah. Kedua
tangannya diam tak bergerak sama sekali. Sekujur tubuhnya tertutup selimut
warna-warni, bukan fasilitas rumah sakit. Dan... yang paling tidak tega
melihatnya adalah kepalanya. Seluruh kulit kepalanya dibalut perban putih.
Nyaris tak ada sehelai rambut yang tumbuh. Oh, sebentar saja perban itu dibuka,
akan nyata terlihat kepala itu usai dioperasi. Tidak tanggung-tanggung: operasi
otak. Ih, ngeri membayangkan.
Kalau bukan nadi dan
jantung yang masih berdenyut, pasien yang koma tiga bulan itu sudah terlempar
jauh ke liang gelap, tempat persemayaman terakhir. Menyatu padu dengan
belatung-belatung pemangsa daging. Di alam baka yang tak terdeteksi manusia
bernyawa, ia dicerca malaikat Munkar dan Nakir bermacam-macam pertanyaan. Hanya
amal kebajikan yang menjadi teman sejatinya. Bersyukur, Tuhan Yang Maha Pemurah
masih berkenan memberinya nikmat hidup, entah sampai berapa lama lagi. Benarkah
ia merasakan nikmat hidup atau sedang merenggang nyawa? Entah...
Rina berdiri.
Diberikannya kursi plastik yang tadi didudukinya kepada Firman, kakaknya.
Lagi-lagi kursi plastik itu bukan fasilitas RS, tetapi dibeli di toko. Mana ada
di kamar kelas terendah di RSUD itu ada kursi untuk pengunjung? Tahukah Kawan,
berapa perbandingan biaya kamar itu dengan kamar VIP, very important person?
Satu banding sepuluh. Wajar, kalau serba tak ada.
“Mas, sudah ada uang
untuk biaya Bapak?”
“Belum, Rin. Tak
tahulah. Aku pusing. Mobil dan motor sudah kita jual untuk biaya operasi Bapak.
Tanpa sepengetahuan kita ternyata Bapak juga menggadaikan sertifikat rumah.
Sekarang tidak ada benda berharga yang bisa kita jual. Aku bingung mau mencari
uang ke mana lagi,” desah Firman putus asa. “Bingung, Rin.”
Mereka diam. Namun
tidak membuat ruang pucat itu hening. Kamar itu tak lengang dari hiruk-pikuk
keluarga pasien. Ketika cleaning service boy bertugas saja mereka harus
keluar ke ruang tunggu,
Kawan, sekarang
saatnya kubeberkan siapa pasien di brankar kedelapan itu.
Dia anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Tak keliru, dia anggota DPRD. Heran tentu kenapa
orang “terhormat” itu bisa terdampar di kamar tidak berfasilitas lengkap.
Bukankah anggota dewan selalu dikesankan dengan hal-hal berbau kemewah-an?
Lantas ke mana gaji pokok, tunjangan dan “pendapatan sampingan” yang ia dapat
selama ini? Apakah ia miskin sedari sebelum menjabat DPRD? Simaklah, Kawan!
Pak Sugih, demikian
ia akrab dipanggil. Dia penjahat bermuka pejabat yang berkeliaran di negeri
yang belum pantas dilabeli clean governance ini. Kinerjanya tidak patut
diacungi jempol. Namun bualan politiknya mampu membuat lawan bicaranya
menganggut-anggut. Dia berada di blok NATO: nothing action talk only.
Dia suka menilap
uang rakyat, menyunat dana proyek, meminta komisi dan lain-lain yang identik
dengan tindakan korupsi. Tak samar Kawan, dia koruptor tingkat menengah.
Kuembeli tingkat menengah sebab masih banyak pejabat yang meraup uang dalam
jumlah yang berlipat-lipat kali dari uang yang dia tilap. Dan tidak sedikit
pejabat kelas teri yang turut melestarikan budaya korupsi. Tentu nominal rupiahnya
tak begitu banyak jika dibanding kelas menengah dan kakap. Nah, dia berada di antara
dua kutub itu. Sayang seribu sayang, kejahatannya tak terendus KPK.
Harta, tahta dan
wanita. Pak Sugih termasuk penggila ketiga-tiganya. Gila harta, gila kedudukan
dan gila perempuan. Apapun dilakukannya untuk meningkatkan angka saldo
rekeningnya. Dia tak mengenal dikotomi halal dan haram. Lebih tepatnya,
melupakannya. Dia seorang oportunis, selalu mengambil keuntungan untuk dirinya
dari kesempatan yang ada. Amboi, harta duniawi telah membutakan mata hatinya.
Setiap Pak Sugih
berhasil menyelewengkan uang negara, perempuan geladak menjadi incarannya.
Bahkan usai menghadiri rapat dewan ia tidak pernah tidak singgah barang semalam
di hotel bintang lima. Wanita cantik, pelacur eksklusif, menemaninya tidur
semalam suntuk. Ah, duda gagah itu memang sering terlibat dalam transaksi
lendir yang tak kepalang hinanya. Zina bukan lagi pantangan baginya. Entah,
berapa nominal uang yang dia kucurkan untuk kenikmatan sesaat itu.
Seperti kebanyakan
orang berkedudukan tinggi, Pak Sugih haus jabatan. Dia belum puas menjabat
anggota DPRD hanya dalam satu periode. Menjelang berakhirnya masa jabatannya,
dia nimbrung lagi dalam pencalonan legislatif. Kali ini merambah ke level yang
lebih tinggi: calon DPR Pusat. Dibutuhkan banyak rupiah untuk mewujudkan ambisi
itu. Sudah menjadi rahasia umum, uang itu tak lain untuk membeli suara rakyat.
Hari itu Negara
Kesatuan Republik Indonesia tengah berpesta. Pesta rakyat. Berduyun-duyun
masyarakat mendatangi TPS, tempat pemungutan suara. Kertas suara dibentangkan
lebar-lebar. Di sana berderet nama calon anggota legislatif. Aha, nama Sugih
Harto terletak di baris keempat di bawah naungan sebuah partai politik
Pak Sugih cemas dan
gelisah menunggu hasil Pemilu yang tak bisa diketahui pasti pada hari itu juga.
Telah dia pertaruhkan harta bendanya untuk jabatan bergengsi itu. Uang hasil
korupsinya saat menjabat DPRD telah ludes di meja pencalonan. Bahkan rumah
gedongnya telah dia gadaikan demi memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Dia tak
mau merugi serupiah pun. Pengeluaran itu harus terbayar lunas dengan menduduki
jabatan anggota DPR Pusat. Bukan jabatan, tapi “penghasilan sampingan” dari
jabatan itu yang bisa melunasi! Mengerti ‘kan maksudku, Kawan?
Kedamaian belum jua
mau memeluk kalbu Pak Sugih. Keringatnya mengucur deras. Dia takut sekali kalau
kalah dalam Pemilu. Rupanya dia punya cara sendiri untuk mengusir
kegelisahannya itu. Cara yang tidak selayaknya dilakukan oleh seorang wakil
rakyat. Cara yang bakal dihujat banyak orang jika ketahuan.Yakni, menikmati
fantasi seks dengan wanita tak beradab. O o, pantaskah laki-laki paruh abad
bertabiat buruk ini mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat??
Naas, sore itu di
tengah perjalanan menuju hotel mobil yang disetirnya dengan kecepatan tinggi
oleng. Kecelakaan dahsyat tidak terhindarkan. Sebuah motor terlindas ban
mobilnya. Dua pengendaranya tewas seketika. Sementara Pak Sugih bersimbah darah
dan gegar otak. Belum sampai dia mengusir kecemasan dan kegelisahan dengan
permainan fantasi perempuan, Tuhan Yang Maha Melihat telah mendepaknya dari list
penerima anugerah kesehatan.
Sebenarnya dua bulan
lamanya dia dirawat di kamar VIP. Diperlakukan istimewa oleh dokter dan
perawat. Namun hari-hari berikutnya kedua anaknya, Firman dan Ririn, memutuskan
untuk memindahkannya dari kamar VIP. Mereka menyerah. Uang sedang tidak
berpihak.
Lihatlah, Kawan! Pak
Sugih Harto–koruptor tingkat menengah, calon anggota DPR RI yang kalah telak
dalam Pemilu–sedang merasakan sengsara tak tertanggungkan di kamar kelas
terendah itu.
“Mas....!,” Rina
setengah berteriak seperti teringat sesuatu. “Kita hubungi Pak Bagus. Dia teman
karib Bapak. Sebelum Bapak kecelakaan, dia sering main ke rumah. Mungkin membicarakan
soal politik.”
“Aku tidak yakin.
Hampir semua nomor di kontak handphone Bapak sudah aku telepon. Nyatanya
apa? Tidak ada yang sudi membantu. Tidak ada yang peduli pada Bapak,” suara Firman
lemah.
“Kita coba dulu,
Mas. Aku akan cari tahu alamatnya. Biar aku yang mendatangi rumahnya.”
“Sudahlah, Rin. Tak
usah banyak berharap. Bersiap-siap saja menerima kenyataan pahit.”
Sepak terjang
koruptor selalu berakhir sengsara. Kalau di dunia dia lepas dari jerat hukum
–seperti belut licin yang tak mudah ditangkap, tunggu saja sanksi di hari akhir
nanti sebagai kompensasi perbuatannya. Yakinlah itu!
Cerpen "Koma" dimuat di Majalah Joe Fiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar