Penulis : A. Fuadi, dkk
Penyunting : M. Iqbal Dawami dan Ikhdah Henny
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2012
Tebal : v + 186 halaman
ISBN : 978-602-8811-80-4
Harga : Rp 39.000,00
Peresensi : Hibatun Wafiroh
A great teacher inspires. Guru yang hebat selalu menginspirasi. Nampaknya itu poin general yang ingin
disampaikan dalam buku antologi yang ditulis oleh 14 penulis ini. Meski dalam
balutan kisah yang berbeda, para penulis sepakat bahwa guru bukan sekedar
mengajar, melainkan juga mendidik dan menggugah untuk selalu berbuat baik.
Bagi A. Fuadi, guru yang baik ibarat petani. Mereka menyiapkan bahan dan
lahan belajar di kelas, memelihara baik-baik bibit penerus bangsa, menyirami
mereka dengan ilmu dan memupuk jiwa mereka dengan karakter yang luhur (hal. 1).
Mereka petani peradaban yang menentukan kualitas bangsa di masa depan.
Bunga rampai bertajuk Menjadi Guru Inspiratif ini menjadi istimewa
setidaknya karena tiga hal. Pertama, kisah yang disajikan merupakan
kisah nyata. Kedua, buku ini bertutur dari sudut pandang pendidik dan
terdidik. Ketiga, tak ada sekat yang membatasi term guru.
Artinya, predikat guru untuk siapa saja yang mendulang ilmu kepada orang lain,
baik di lembaga formal maupun nonformal.
Di antara kontributor yang bercerita dengan kapasitasnya sebagai pendidik
adalah Rahman Adi Pradana. Alumnus pengajar dari Yayasan Gerakan Indonesia
Mengajar ini membagi pengalamannya ketika ditugaskan di SDN Indong, sekolah
minim fasilitas di sebuah kampung di Maluku. Pada satu pagi saat para guru berhalangan
masuk sebab mengikuti tes CPNS di Labuha, dia berinisiatif mengadakan upacara
bendera. Karena sudah dua tahun ditiadakan, siswa-siswi tidak mengenal
rangkaian upacara. Rahman menunjuk beberapa siswa dan melatih mereka dengan
sabar hingga upacara benar-benar terlaksana hari itu. Semenjak itu Bendera
Merah Putih terus berkibar setiap Senin.
Cerita yang berbeda dengan point of view yang sama diuraikan oleh
Rakhmawati Agustina. Aktivis Rumah Pintar Bangjo Semarang ini mengajar
anak-anak jalanan di tengah pasar sewaktu kios-kios sudah tutup. Mengajar
mereka begitu menantang. Ia harus menjemput satu per satu anak didiknya;
menjaga mereka agar tetap mood belajar; menyiapkan bahan ajar yang tak
sama disesuaikan kemampuan mereka; menahan emosi akibat ulah mereka yang
menjengkelkan; dan melerai mereka ketika terlibat adu mulut. Usai belajar
Rakhma menyisipkan sesi bercerita untuk menambah keakraban.
Sedangkan dari sisi peserta didik, Muhammad Al Aliy Bachrun menyuguhkan
cerita mengenai gurunya di Pondok Modern Darussalam Gontor yang selalu
mengulang hal yang sama dalam beragam kesempatan. Ping sewu (seribu
kali), istilahnya. Sesuatu yang berulang kali disampaikan akan terasa
membosankan. Efek positif dari ping sewu baru dirasakannya tatkala
secara mendadak dia ditunjuk untuk memberi prakata di hadapan sekelompok siswa
yang hendak berlomba. Kata-kata gurunya langsung muncul di ingatannya dan mampu
meletupkan semangat para peserta lomba.
Bachrun menyadari bahwa pengulangan itu ternyata membentuk rekaman dalam
pikiran bawah sadar yang kelak akan refleks teringat kembali ketika si empunya
membutuhkannya (hal. 57). Ping sewu pun dia praktikkan dalam proses
mendidik.
Masih dalam lingkungan pondok pesantren, Nabila Anwar meriwayatkan tentang
Kiai Anwar Manshur yang selalu memberi teladan yang baik kepada
santri-santrinya. Sederet kalimat lisanul hal afshahu min lisani maqal (pelajaran
lewat keteladanan lebih mudah diterima daripada pelajaran lewat lisan belaka)
pantas disematkan kepada beliau.
Pengalaman lain yang tidak kalah menarik dituturkan oleh Dewi Yuliasari. Ia
memperkenalkan kurikulum cinta. Baginya, kurikulum cinta berada di urutan
teratas. Sebuah cinta yang akan mendorong para siswa untuk lebih bersemangat
mengikuti pelajaran di dalam kelas. Dan, semangat itu yang nantinya
menghasilkan energi terbaik untuk pencapaian hasil terbaik, bukan hanya sebatas
nilai (hal. 135). Dewi mencintai seluruh muridnya tanpa kenal kasta. Terhadap
anak yang bandel sekalipun cintanya tidak berkurang. Ia percaya ungkapan love
can change the world.
Selain kisah-kisah di atas, masih ada delapan kisah inspiratif yang patut
dibaca. Sayangnya, Ahmad Fuadi—yang dinasihati almarhum kiainya untuk
meluangkan waktu guna mengajar—tidak membagi pengalamannya sebagai guru.
Meskipun demikian, buku ini layak menjadi recommended book bagi mereka
yang ingin menjadi guru hebat.
Resensi "Petani Peradaban" dimuat di Wawasanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar