Minggu, 30 Agustus 2009

Kebahagiaan Terpancar dari Wajah Mereka


By: Hibatun Wafiroh
Canda tawa mereka memenuhi taman kota sehingga malam terasa lebih indah apalagi dengan ditemani bintang dan bulan yang memancar terang di langit. Bahkan mungkin ini adalah malam terindah yang pernah mereka rasakan.. Penampilan mereka tak kumuh seperi pagi dan sore hari. Kini tubuh mereka terbalut dengan pakaian bersih nan rapi. Aku turut senang menyaksikan kebahagiaan mereka.

Tak hanya aku yang ada di taman menemani anak-anak kecil itu. Mia dan Amel juga setia menghabiskan malamnya di taman yang dipenuhi dengan pohon cemara di setiap sudutnya. Tak ada satu pun keluhan yang keluar dari mulut mereka. Sangat tepat kuajak dua gadis berpostur tinggi itu untuk berbagi kebahagiaan dengan manusia-manusia mungil yang sepi dari dosa dan juga kenyamanan hidup.

“Vila, kejadian ini membuatku terharu. Baru kali ini aku menyaksikan langsung kegembiraan mereka. Sekarang aku tahu sesungguhnya mereka membutuhkan waktu luang untuk menikmati hidup, meski hanya sejenak. Mereka sebenarnya ingin melepas penat. Tapi sayang banyak yang tak peduli,” komentar Amel ketika adik-adik berjumlah lima belas itu dibiarkan merasakan kebebasan di taman sambil menikmati es krim cokelat.

“Iya Mel, beban hidup di jalanan telah merenggut senyum dan tawa mereka. Aku bisa bayangkan betapa stagnannya hari-hari mereka. Tiap hari harus mengais rezeki dengan ditemani rangkaian tutup botol yang mendadak disulap menjadi gitar. Aku akan sengsara seandainya hidup seperti itu,” jawabku sambil mengamati keadaan mereka.

Sedangkan Mia hanya menganggukkan kepala sebagai pertanda setuju dengan statementku dan Amel. Matanya sudah berkaca-kaca. Dia memang tipe perempuan yang mudah terharu dan menitikkan air mata.
***

Siang itu untuk pertama kalinya aku pergi ke luar kota naik bus. Bukan ke luar kotanya yang pertama kali, namun menikmati kendaraan bus itulah merupakan pengalaman pertama bagiku. Sejak lahir sekalipun aku tak pernah pergi menaiki angkutan umum. Biasanya aku diantar sopir atau pergi sendiri dengan mobil pribadi yang dihadiahkan oleh Papa kepadaku sewaktu ulang tahunku yang ke tujuh belas. Tapi hari ini lain. Entah kenapa tiba-tiba muncul inisiatif untuk merasakan fasilitas kendaraan beroda enam itu. Padahal mobilku dalam keadaan baik-baik saja. Ah, entahlah keinginan itu sangat kuat sehingga mendorongku keluar rumah tanpa menenteng kunci mobil.

Perlahan kakiku melangkah ke arah bus yang sedang menanti penumpang. Kota tujuanku adalah Malang. Setelah berjalan sekitar seperempat jam, akhirnya aku sampai juga di dalam bus dan mendapatkan tempat duduk di bagian depan. Handphoneku sengaja kumatikan supaya tak ada seorang pun yang menanyakan keberadaanku. Papa dan Mama pasti marah kalau tahu anak perempuan satu-satunya menghirup udara tak segar di terminal. Mereka tak akan rela anaknya terkena polusi udara. Tapi aku tak menghiraukan kekhawatiran mereka.

Sesaat kemudian dua anak kecil dengan membawa gitar mungil masuk ke dalam bus. Wajah dan rambut mereka sangat kusut. Pakaian mereka pun tak mencerminkan kerapian. Prediksiku mereka baru berumur antara sepuluh hingga dua belas tahun. Selanjutnya tanpa mendapatkan komando dari siapa pun, mereka langsung menyanyikan lagu yang sedang favorit saat ini walaupun dengan suara yang pas-pasan.

Hatiku merasa iba melihat kejadian itu, ingin sekali kuhentikan mereka agar suara mereka yang serak tak terdengar kembali. Aku merasa kasihan dengan keterjepitan ekonomi yang menimpa mereka sehingga usia kanak-kanak yang seharusnya dinikmati untuk bermain, justru malah menjadi ajang untuk mencari nafkah. Mereka yang seharusnya dinafkahi, justru realitanya sebaliknya. Aku bisa melihat mata mereka yang sangat lelah. Dahi mereka penuh dengan keringat. Sungguh aku tak tega melihat mereka dengan napas yang mengindikasikan kecapaian dan kelelahan.

Lima menit kemudian stok lagu habis. Ucapan salam sebagai pertanda akhir perjumpaan juga keluar dari bibir mungil mereka. Perlahan kaki seorang dari mereka berjalan menuju penumpang. Hanya ada satu tujuan, yaitu mengharap belas kasihan, mengharap beberapa rupiah masuk ke dalam kantong plastik yang telah dipersiapkan. Akan tetapi, kulihat banyak penumpang yang tak memberinya uang. Mungkin mereka merasakan kekecewaan, bisikku dalam hati.

Ketika ia telah berada di depan mataku, segera kurogohkan saku. Kuambil uang Rp 10.000 untuk membahagiakan mereka. Dan dugaanku benar. Mata anak lelaki itu berbinar. Mungkin baru pertama kali ada seseorang yang memberinya uang dengan nominal yang cukup banyak.

“Terima kasih, Mbak,” ucapnya dengan tersenyum manis.

“Ya, sama-sama,” jawabku singkat.

Entah kenapa perasaanku tak enak sewaktu mereka keluar dari bus. Ide untuk mengajak mereka makan di taman kota dekat terminal tiba-tiba muncul tanpa kusadari. Keinginan itu sangat kuat sehingga mendorongku meninggalkan bus dan mengejar mereka. Aku tak mempedulikan kota tujuanku, Malang. Yang terpenting adalah mengejar dan ngobrol dengan mereka. Beruntung mereka belum jauh dari bus yang kutumpangi. Segera kuutarakan rencanaku dan mereka menyambutnya dengan suka cita. Setelah itu aku mengadakan janji untuk bertemu besok malam jam tujuh di taman mereka.

“Ajak, teman-temanmu yang lain juga,” pintaku.
***

Tepat jam enam lebih empat puluh menit aku, Mia dan Amel sampai di taman yang terletak hanya sekitar tiga ratus meter dari terminal. Suasananya sangat asri. Kami membawa beberapa kardus berisi pakaian, makanan dan minuman. Dalam tasku juga terdapat beberapa amplop berisi uang. Sengaja kugesek ATM untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka. Mia dan Amel sangat mendukung niatku, terbukti mereka mau meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak-anak yang terpaksa diberi predikat sebagai pengamen.

Pukul tujuh kurang beberapa menit, pengamen yang mengenalkan diri sebagai Andi dan Bejo datang bersama ketiga belas teman mereka. Tanpa menunggu waktu, aku langsung meminta mereka untuk mengenakan pakaian yang telah kupersiapkan di kamar mandi. Sejurus kemudian penampilan mereka berubah. Sekarang terlihat lebih manis dan oke. Kupersilakan mereka menikmati makanan dan minuman yang tertata rapi di kardus. Terlihat raut kegembiraan dan kebahagiaan di wajah mereka.

Hibatun Wafiroh
Pelajar tinggal di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya