Judul : Tidur Berbantal Koran
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal : xiv + 246 halaman
ISBN : 978-602-02-0594-6
Harga : Rp 44.800,00
Peresensi : Hibatun Wafiroh
Bagi penggiat tulis-menulis di media, nama N. Mursidi tidak asing lagi.
Tidak kurang 300 tulisannya—cerpen, resensi, esai sastra, esai film, opini dan
puisi—tersebar di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Bahkan berkat
ketekunannya menulis resensi, dia dinobatkan sebagai juara pertama dalam lomba
blog Pesta Buku Jakarta 2008 yang diselenggarakan oleh IKAPI. Dan buku memoar
bertajuk Tidur Berbantal Koran ini menyuguhkan lika-liku perjalanan
Mursidi hingga menjadi seorang penulis.
Kegagalan seolah berkelindan dengan riwayat pendidikan Mursidi. Dia gagal
memasuki SMPN 1, gagal menembus persaingan di SMAN 2, gagal menyabet tiket
masuk Perguruan Tinggi Negeri dan gagal menggenggam beasiswa strata satu.
Alhasil, setamat SMU dia menganggur dua tahun. Dia tak langsung mengenyam
bangku kuliah karena tidak dapat memenuhi satu dari dua perjanjian yang dia
sepakati dengan orang tuanya: lulus UMPTN atau mendapatkan beasiswa.
Adapun kuliah di kampus swasta dengan biaya yang mahal, bagi orang tua
Mursidi, adalah kesia-siaan. Pasalnya, dia terlanjur disemati gelar tak cerdas
dan nakal. Tapi akhirnya dia bertekad meninggalkan kampung dan melesat ke
Yogyakarta meski dengan bekal yang minim. Ia berontak, tak mau meneruskan usaha
dagang keluarganya. Jika ada seorang anak yang melanjutkan usaha orang tuanya,
maka dia termasuk seorang anak yang tidak kreatif (hal. 28).
Di Kota Gudeg Mursidi diterima di Jurusan Ekonomi Universitas Sarjana
Wiyata Taman Siswa. Malangnya, belum lama menyemat predikat mahasiswa, sang
ayah sakit sehingga dia disarankan berhenti kuliah. Keluarga tak sanggup lagi
menanggung biaya kuliahnya. Namun harga diri mencegahnya untuk pulang.
Laki-laki kelahiran Lasem, Rembang, itu lalu menjadi loper koran demi menopang
hidupnya.
Mursidi berleleran keringat di jalanan. Setumpuk koran dibawanya naik-turun
bus. Dia bagikan koran-koran itu kepada para penumpang sembari berorasi tentang
headline koran. Jurus orasi ini tak lain untuk menggaet minat calon
pembeli. Kala itu para tahun 1995 harga koran Kedaulatan Rakyat Rp.
200,00 dan dia mengantongi keuntungan Rp. 100,00 per eksemplar.
Hidup di jalanan sebagai konsekuensi dari pekerjaan membuat Mursidi tidak
bisa menjalani perkuliahan dengan baik. Ironis, dia bekerja demi dapat kuliah,
tapi malah pekerjaan menyebabkan kuliahnya terbengkalai. Dia kerap absen
tatkala ada jadwal kuliah pagi. Puncaknya, selesai ujian semester dia mendapati
nilainya anjlok di bawah rata-rata. Dengan pertimbangan matang, lantas dia
keluar dari kampus. Meski tiada lagi kewajiban kuliah, minat baca Mursidi tidak
surut. Dia suka mengencani buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan dan
teman.
Setahun kemudian Mursidi kuliah di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN).
Suatu ketika dia menerima kiriman surat dari ayahnya. Surat sederhana yang
berisi tentang pesan agar dia tidak lupa menunaikan salat dan mendoakan sang
ayah yang masih sakit. Surat itulah yang mendorong Mursidi untuk terjun di
bidang literasi. Awalnya sekedar menulis surat balasan. Lama-lama dia tergerak
untuk menulis cerpen.
Pria berambut ikal itu sama sekali belum berpengalaman dalam menulis. Tapi
dia punya kemauan kuat untuk menulis. Dia ingin karyanya muncul di koran yang
dia jual. Dengan modal mesin ketik gadaian temannya, jemarinya terus bergerak
menorehkan karya. Cerpen-cerpennya tanpa ragu dia layangkan ke media. Sayang,
hampir setahun berjuang menaklukkan media, tidak satu pun cerpennya dimuat.
Gagal membidik koran dengan amunisi tulisan, dia menyiapkan amunisi baru,
yaitu foto. Kebetulan ada seorang teman yang menjual kamera SLR padanya.
Seketika itu ia gemar menjelajahi kota untuk mencari gambar yang menarik. Sedangkan
aktivitas menulis dia tinggalkan sementara waktu.
Tidak dinyana, justru dunia fotografilah yang pertama membawa nama Mursidi
ke halaman koran. Fotonya yang berjudul Menerobos Mara Bahaya dimuat di Kedaulatan
Rakyat, koran yang sehari-hari dia jajakan. Kegembiraan pasca pemuatan foto
itu menyulut semangatnya untuk kembali menulis. Kali ini dia mencoba menulis
resensi. Keberuntungan mendekapnya lagi. Resensinya atas novel Sehari di
Yogya dimuat di Kedaulatan Rakyat. Dengan demikian, resensi itu
adalah tulisan perdananya yang menembus media.
Setelah pemuatan foto dan resensi tersebut, kesulitan kembali dia alami.
Berulang kali tulisannya berakhir tragis di kotak sampah redaksi. Mursidi tidak
patah arang. Dia menulis dan mengirim ke koran sampai tidak terhitung
banyaknya.
Cobaan belum usai. Peraturan pemerintah yang mengharuskan bus-bus hanya
melintasi jalur ring road melumpuhkan para loper koran dan pedagang
asongan. Hal itu mengilhami Mursidi untuk berpindah kost ke dekat kampus. Dia
tinggalkan rutinitas berjualan koran dan fokus pada kuliah serta menulis.
Tinggal di dekat kampus memberikan banyak keuntungan. Mursidi makin
disiplin berkuliah. Dia dengan mudah mengetahui informasi terbaru, antara lain
beasiswa kerja. Atas dasar keinginan mempunyai komputer, dia meng-apply
beasiswa itu dan berhasil. Keberadaan komputer membuatnya kian produktif
menulis. Selain keuntungan itu, jaringan Mursidi dengan para penulis menjadi
terbangun.
Lama berkecimpung di dunia resensi hingga koran lokal dan nasional sudah
memuat banyak resensinya, Mursidi merasa penting memasuki berbagai pintu. Menjadi
peresensi berarti masih berada di balik bayang-bayang pemikiran penulis buku
(yang diresensi) (hal. 206). Dia pun memutuskan untuk merambah ke genre tulisan
fiksi (cerpen) tanpa berhenti menulis resensi.
N. Mursidi melalui buku yang layak dibaca oleh siapa saja—terutama mereka
yang memelihara mimpi menjadi penulis—ini seakan berteriak bahwa impian harus
diperjuangkan dan tiada perjuangan yang sia-sia. Sesudah bertahun-tahun
berjuang menembus media, tanpa diduga, tulisan-tulisannya menjadi sebab dia diterima
bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah Islam di Jakarta hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar