Senin, 25 Oktober 2010

Merengkuh Impian Jadi Penulis


Oleh: Hibatun Wafiroh
Namanya Muhammad Izzun Ni’am. Oleh keluarga dan temannya, ia dipanggil Ni’am, sebuah frase bahasa Arab yang berarti kenikmatan. Barangkali bapak dan ibunya serasa dilimpahi banyak nikmat ketika ia lahir. Dia anak ke-3 dari lima bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki dari pasangan Masykur dan Fatmawati.

Sekilas tak ada yang berbeda dari remaja kelahiran 4 Juli 1995 ini. Layaknya remaja lainnya, Ni’am masih memperlihatkan kekanak-kanakannya. Tapi bila ditelusuri laju sejarah hidupnya, akan ditemukan satu peristiwa amat mengagumkan yang jarang dijumpai pada anak seusianya. Yaitu tatkala ia menerima penghargaan dari Departemen Agama atas karya tulisnya yang berjudul Bukan Sulap Bukan Sihir.


Karya tulis sejumlah 30 halaman ini merupakan hasil imajinasinya yang dituangkan dalam bentuk cerita fiksi. Rasa takjub menyelimutinya lantaran ini merupakan cerpen pertama yang berhasil ia torehkan dalam jumlah halaman yang cukup banyak dan dalam ajang perlombaan berskala nasional. Sebelumnya ia sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang penulisan.

Semua berawal dari info perlombaan yang disampaikan oleh kakak keduanya, Vera via sms pada penghujung Juni 2009. Vera yang kini kuliah di salah satu kampus Islam negeri di Surabaya memberitahukan bahwa Depag sedang mengadakan Lomba Nasional Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan. Lalu Vera menawarinya untuk turut serta dalam lomba itu. Menurutnya, sang adik punya potensi berimajinasi yang bagus.

Dalam hitungan menit Ni’am membalas sms tersebut seraya menyatakan tertarik dan ingin mengikutinya. Minimal sebagai pengalaman. Menang atau kalah tak dipikirkan. Lantas Vera menjelaskan secara detail kriteria penulisan cerita fiksi itu lengkap dengan deadline pengumpulannya. Info lomba yang didapatkan oleh Vera dari website Puslitbang Depag itu disampaikan kepada Ni’am secara utuh.

Lomba Nasional Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan 2009 itu merupakan ajang kompetisi tulis menulis yang diperuntukkan bagi pelajar SD, SLTP dan SLTA. Masing-masing disertai kriteria penulisan yang berbeda namun masih kental dengan nuansa religiusnya. Ini erat kaitannya dengan tujuan utama diselenggarakannya lomba tersebut, yaitu dalam rangka menghadirkan buku-buku cerita keagamaan yang bermutu. Adapun panjang cerita untuk pelajar SD minimal 20 halaman, SLTP minimal 30 halaman dan SLTA minimal 40 halaman. Seluruhnya harus sudah ada di meja panitia paling lambat tanggal 31 Juli. Dari naskah yang masuk akan dipilih enam naskah terbaik pada setiap jenjang pendidikan dan mereka berhak memperoleh hadiah jutaan rupiah.

Sejak saat itu Ni’am yang termasuk kategori pelajar SLTP, mulai hunting ide. Akhirnya dipilihnya tema persahabatan dan perjuangan yang nanti akan mewarnai tulisannya. Pada awal Juli yang kebetulan sekolah libur, ia berusaha menulis meski dengan tertatih-tatih. Dibukanya buku Bahasa Indonesia dan beberapa novel untuk memancing naluri kebahasaannya. Maklum ia jarang menulis cerita.

Dorongan selain datang dari Vera, orang tuanya jua mendukung penuh. Malah bapaknya, Masykur berpesan supaya ia berwudhu dahulu sebelum menulis. Barangkali dengan demikian pikirannya menjadi jernih. Usai wudhu Ni’am tak langsung berkelana di dunia imajinasi, dipanjatkannya doa kepada Allah disertai salawat pada Rasulullah sebanyak 100 kali selepas berdoa. Jadi ada jeda waktu yang cukup lama sebelum Ni’am memegang penanya dan menorehkannya di atas media berupa buku tulis bergaris.

Ya, buku tulis inilah yang menjadi teman akrabnya sekaligus menjadi saksi bisu akan kesungguhannya menulis. Tulisan dalam buku ini kemudian diketik oleh Vera yang semenjak 10 Juli sedang menikmati liburan semester genap di kampung halaman, Demak. Dengan laptop yang setia menemainya kuliah, Vera menyalin seluruh karya tulis adiknya dengan ketikan yang rapi. Kadang Ni’am sendiri yang mengetiknya.

Berhari-hari Ni’am sibuk dengan aktivitas barunya. Biasanya ia menulis di kala senggang. Siang dan malam adalah waktu yang tepat. Karena pada pagi harinya ia membantu ibunya berjualan di pasar. Kebaktian kepada wanita yang melahirkannya, tak pernah dia abaikan. Begitu pun kepada bapak yang sangat berjasa dalam hidupnya.

Di tengah proses penulisan itu rintangan datang silih berganti. Cobaan paling berat datang bertepatan dengan hari pelaksanaan masa orientasi siswa baru (MOSIBA) di MTs Ribhul ‘Ulum Kedungmutih, Demak, tempatnya menimba ilmu. Ni’am tercatat aktif di OSIS dan juga termasuk dalam kepanitiaan MOSIBA. Realita ini membuatnya harus turut pendamping dalam kegiatan MOSIBA sebagai bentuk tanggung jawabnya. Di sisi lain, cerita fiksinya belum rampung. Sementara dua hari lagi Vera sudah harus di Surabaya untuk menyelesaikan beberapa urusan dan akan pulang lagi ke Demak pada awal Agustus. Sehingga dia harus cepat menyelesaikannya supaya tidak telat.

Keberadaan Vera di rumah sangat penting. Andai dia tidak pulang kampung, mungkin Ni’am tidak jadi mengikuti lomba disebabkan di rumah tidak ada komputer. Padahal segala hal yang berbau tulisan selalu melibatkan perangkat komputer. Untuk itu, Ni’am harus menyesuaikan dengan jadwal liburan kakaknya. Ceritanya harus sudah selesai maksimal sebelum Vera berangkat ke Kota Pahlawan Surabaya.

Ahad pagi tanggal 19 Juli akhirnya sebuah karya fiksi berhasil diselesaikan oleh Ni’am. Dia tersenyum bahagia. Dalam waktu kurang dari satu bulan dia telah menyelesaikan satu naskah cerita fiksi dengan judul Bukan Sulap Bukan Sihir berjumlah 32 halaman. Ini cerita perdana yang dikarangnya. Ada kepuasan tersendiri dalam relung hatinya. Ia puas karena naskahnya tinggal diedit dan siap dikirim.
***

Hari terus bergulir sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Perlahan tapi pasti bilangan hari habis ditelan masa dan tak akan pernah kembali untuk kedua kalinya. Juli tergantikan Agustus. Pertengahan Agustus adalah waktu yang ditunggu. Tepatnya tanggal 15 akan ada pengumuman hasil lomba. Para nominator pemenang akan segera diketahui. Oleh karena itu, Ni’am, Vera dan bapak mereka bergegas melancong ke warnet di Pecangaan. Tak ada tujuan apapun selain menilik nama orang-orang yang beruntung dalam perlombaan tersebut di situs Puslitbang Depag.

Kecewa menjalari jiwa. Meski lewat dari hari yang dijanjikan, pengumuman itu belum ada juga. Padahal untuk sampai di Pecangaan memerlukan waktu setengah jam. Maklum di desa tempat tinggal Ni’am tak ada jaringan internet. Bisa dikatakan desa itu tertinggal jika ditilik dari sisi teknologi.

Seiring berlalunya waktu, Ni’am mulai melupakan. Dia menganggap bahwa dirinya bukan termasuk orang beruntung itu. Kalau dia memang menang, mestinya ada panitia yang menghubunginya, sekedar menyampaikan kabar gembira kemenangannya. Dan nyatanya tak ada hingga memasuki bulan Agustus tergantikan September.

Tak ada sedih dan kecewa yang menggumpal di hati Ni’am. Sebab sejak awal dia tidak punya obsesi menjadi pemenang. Dia ikut lomba untuk mencari pengalaman sekaligus mengisi liburan sekolah. Syukur kalau karyanya diperhitungkan oleh juri.
***

Di suatu siang yang panas pada tanggal 17 September seseorang menelepon Vera dengan nomor yang sudah dikenalnya. Nomor itu diberinya nama Puslitbang. Saat mengirimkan tulisan ke Depag, memang ada dua nomor ponsel yang dicantumkan dalam identitas penulis, yaitu nomor Vera dan orang tuanya. Pas kebetulan dirinyalah yang dihubungi. Hatinya berdebar-debar. Segera ia angkat. Dan sebuah kabar gembira disampaikan oleh sang penelepon.

Dari percakapan kurang dari lima menit itu diketahui bahwa Ni’am tercatat sebagai salah satu nominator pemenang untuk kategori SLTP. Seketika Vera girang dan terkejut. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Rangkaian hamdalah mengalir deras dari bibirnya. Selain itu, panitia juga mengundang Ni’am untuk menghadiri acara presentasi dan penyerahan hadiah akhir September. Presentasi itu menjadi tahap akhir penyeleksian sekaligus penentuan juara pertama sampai ke enam.

Tanpa menunggu lama Vera langsung memberitahukan kabar gembira itu ke rumah tanpa ada info yang tertinggal. Esok harinya ia pulang ke Demak dalam rangka menghabiskan sisa Ramadhan di tengah kehangatan keluarga. Selama di rumah ia selalu memantau Ni’am berlatih presentasi. Ni’am harus terus belajar mempresentasikan karya fiksinya berjudul Bukan Sulap Bukan Sihir agar bisa menarik perhatian juri sehingga mendapat posisi atas dalam penentuan pemenang.

Seminggu pasca lebaran, tepatnya tanggal 28 September Ni’am dan bapaknya berangkat ke Jakarta. Tempat tujuannya yaitu Gedung Bayt al-Qur’an yang berada dalam satu kawasan dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Di perjalanan ia begitu bahagia dan menikmatinya. Pasalnya selama ini dia hanya melihat ibu kota Indonesia dari balik layar televisi. Berbagai kejadian selama perjalanan ia ceritakan kepada keluarga di rumah melalui sms. Doa mengucur deras dari keluarga. Berharap moga ia menjadi yang terbaik dan mendapat keberuntungan.

Pada tanggal 30 September momen yang ditunggu menghampiri. Dengan hati deg-degan Ni’am masuk ke dalam sebuah ruangan. Di dalamnya ada dewan juri yang menguji penampilan presentasinya. Di antara dewan juri itu adalah Helvy Tiana Rosa, penulis kaliber yang telah menghasilkan banyak karya bermanfaat.

Sore harinya ada acara penyerahan hadiah. Hati Ni’am bergemuruh. Akhirnya dibacakan nama-nama pemenang. Dan Ni’am dinyatakan sebagai Juara Harapan II untuk kategori SLTP. Dia sangat bersyukur meski tak menjadi Juara I. Demikian pula dengan bapaknya yang setia mendampingi sejak awal hingga akhir. Nominal uang 5 juta berhasil dibawanya pulang. Sungguh pengalaman selama di Jakarta menjadi momen terindah yang tak akan ia lupa. Karya perdananya yang berbau fiksi mendapatkan penghargaan sedemikian besarnya. Ya, ia menjadi Juara Harapan II dalam ajang Lomba Nasional Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan 2009. Padahal ini untuk kali pertama ia menulis cerita fiksi.

Cerita yang dikiranya tak berharga ternyata mendapat sambutan luar biasa dari Departemen Agama walaupun bukan sebagai Juara I. Barangkali keberuntungan ini berkat ikhtiarnya berdoa dan membaca salawat sebelum menulis. Tentu juga berkat kerja kerasnya dalam mengarang. Tanpa disadari, Ni’am memiliki bakat menulis. Dia merengkuh predikat penulis di usianya yang masih belia.

Sejak mendapat penghargaan itu, Ni’am bercita-cita menjadi penulis hebat. Sebagai langkah awalnya, ia menyediakan buku diary dan buku tulis yang akan menjadi media menulisnya. Dia sangat menikmati hari-harinya dengan aktivitas menulis. Kelak ia ingin seperti penulis yang mampu mengubah dunia dengan penanya. Dia ingin punya karya yang bisa dibaca banyak orang sampai kapan pun. Moga harapannya tercapai.

Tidak ada komentar: