Senin, 25 Oktober 2010

Gurat Derita Sang Pemungut Ikan

Oleh: Hibatun Wafiroh
Ingar bingar suara ribuan manusia menyeruak di tempat pelelangan ikan sambil memperhatikan timbunan ikan yang jumlahnya tak diketahui pasti karena saking banyaknya. Tak hanya pedagang dan pembeli yang berperan aktif di tempat bermuaranya hasil laut itu, para kuli angkut pun turut mewarnai. Mereka bak semut yang kompak bertandang ke sana karena daya magnet ikan yang begitu kuat. 

Ya, mereka rela membiarkan malamnya berlalu demi memperoleh keuntungan besar dari jutaan ikan yang dijajakan di sana. Andai tak ada ikan yang menghiasi tempat itu, mungkin mereka akan memburu tempat lain atau bahkan memilih untuk berdiam diri di kamar sambil memejamkan mata.


Adalah Ila yang tak pernah absen mengunjungi lokasi yang khas dengan bau amisnya sejak tiga tahun lalu. Dia bukan pebisnis yang memborong ikan lantas menjualnya kembali. Pun bukan istri nelayan yang setia menjaga hasil tangkapan suaminya agar untung besar diraihnya. Juga bukan tukang kuli angkut yang menjelma menjadi budak di tengah kerumunan manusia merdeka. Ila tidak termasuk dari ketiga profesi itu. Usianya masih terlalu belia sehingga rasanya mustahil menjalani pekerjaan jual beli ataupun kuli angkut ikan.

Ila, gadis berumur lima belas tahun itu hanyalah seorang pemungut. Bukan pemungut sampah, pun bukan pemungut uang. Ia adalah pemungut ikan. Ia tak sendiri. Ada puluhan anak lainnya yang rela berdesak-desakan dengan tubuh orang dewasa demi mendapatkan sisa-sisa ikan yang tercecer. Ikan yang meloberi ember penampung kerap jatuh ke lantai. Dan tugas pemungutan diserahkan kepada anak-anak malang tak berdosa itu. Kerasnya kehidupan ibu kota telah merenggut kemerdekaan dan keceriaan masa kecil mereka. Kemiskinan menuntut mereka untuk melakoni pekerjaan yang dianggap hina oleh kebanyakan orang. Namun juga tak jarang yang menaruh iba kepada mereka.

“Pak, ini untuk saya ya?,” kata Ila kepada seorang pria yang menunggui hasil melautnya. Hampir saja ucapan Ila tak terdengar lantaran terkalahkan oleh kebisingan lokasi itu. Ribuan orang dengan berbagai kepentingan telah membuat gaduh dan ramai tempat yang tiap malamnya tak lekang dari ikan itu.

“Ya, ambil saja,” jawab pria berkaos pendek kumal. Sama kumalnya dengan pakaian yang dikenakan Ila.

“Terima kasih, Pak,” ucap Ila dengan senyum manisnya.

Seketika Ila memunguti satu per satu ikan yang berserakan di lantai dengan hati berbunga-bunga. Meski hidup berbalut kemiskinan dan kefakiran, ia sangat berhati-hati dalam memilah ikan. Tak pernah ia memasukkan ikan ke dalam plastiknya kecuali atas izin yang empunya. Yang diambil sekedar ikan yang ada di luar penampungan.

Untuk mengantongi kehalalan ia selalu meminta izin kepada orang yang ikannya hendak dipungutnya. Setelah mendengar jawaban iya atau anggukan kepala, barulah tangannya bekerja mengambil ikan dan menyimpannya dalam kantong plastik hitam berukuran sedang yang menggelantung di tangannya.

“Baiklah Ila, Bapak tak keberatan asal kamu minta izin dulu sebelum memungutnya,” pesan bapaknya sesaat setelah ia mengutarakan keinginannya untuk menjadi pemungut ikan di pelelangan ikan dekat sungai Ciliwung. Kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan mendorongnya untuk turut membantu mencari beberapa lembar uang rupiah. Dan pekerjaan pemungutan ikan menjadi pilihannya.

Sebetulnya orang tua Ila tak tega melihat putri sulungnya menerjuni pekerjaan sebagai pemungut ikan di tengah angin malam yang tak menyehatkan. Namun karena keinginan kuat itu atas inisiatif Ila, akhirnya izin pun diberikan. Dan kini setiap malam Ila selalu stand by di tempat pelelangan ikan. Jarak sejauh sekitar satu kilometer tak mematikan niatnya barang sedikit pun.

Gemercik kegembiraan merasuki hati Ila tiap kali ikan-ikan memenuhi kantong plastik hitam yang setia menemaninya. Peluh yang berleleran di dahinya tak ia hiraukan. Kakinya terus melangkah menyusuri para pedagang yang jumlahnya tak mampu dihitungnya. Sementara matanya tak pernah berhenti menilik ke arah bawah. Berharap ada ikan yang menangis lantaran disiakan oleh pemiliknya dan Ila siap menampungnya. Berharap akan memperoleh berkilo-kilo ikan yang nantinya akan ditukarkan dengan rupiah. Tentu tanpa melupakan amanah. Amanah agar ia tetap memegang prinsip halal dalam kondisi bagaimana pun juga.

“Nak, kemiskinan jangan sampai membutakan hati kita. Apakah kita mau di hari akhir nanti merasakan penderitaan seperti di dunia ini. Sekali lagi Bapak ingatkan, kamu boleh memungut ikan tapi tetap jaga kehalalannya.”

Perkataan bapaknya itu tak pernah tercabik dari sanubarinya. Pesan mulia itu seakan menyatu dengan aliran darahnya. Ia berusaha tak melalaikannya meski dalam situasi darurat sekalipun. Pendidikan yang ditanamkan oleh orang tua, berpengaruh besar dalam pembentukan karakternya. Apa yang dirasakan oleh Ila tak jauh berbeda dengan kedua adiknya, Asep dan Intan. Mereka dibesarkan di lingkungan keluarga miskin, namun dalam bingkai pendidikan yang kaya dan sarat makna. Kemelaratan benar-benar bukan menjadi alasan pembenar untuk tidak berlaku baik.

Jarum pendek jam yang terpajang di salah satu sisi dinding lokasi lelang, telah menunjuk angka 9. Sementara jarum panjangnya berada di angka 12. Tiga jam lebih Ila bergelut dengan bau amis yang menyengat. Ia harus segera pulang agar keluarganya di rumah tidak mengkhawatirkannya dan bisa segera menikmati waktu rehat. Sebelum kakinya beranjak dari tempat lelang, terlebih dahulu dijualnya hasil pungutan malam itu. Matanya berbinar ketika menyadari bahwa ikan di tangannya sudah dua plastik.

“Ila, kamu dapat berapa?,” tanya Evi, kawan yang sudah terjun di dunia pelelangan ikan semenjak setahun silam. Jauh lebih dulu ketimbang Ila.

“Aku dapat segini, Mbak. Kamu?,” jawab Ila dengan hawa kecapaian sembari menunjukkan dua kantong plastik penuh ikan. Tak hanya ikan segar yang berhasil dikantongi, ikan-ikan yang cacat dan tak laik jual pun bergumul jadi satu di dalamnya.

“Aku dapat tiga plastik. Yang dua plastik sudah kujual tadi. Ini tinggal satu mau kujual lagi. Ayo ke tempat Mbok Darmi,” ajak Evi.

Ila dan Evi sama-sama berasal dari keluarga miskin. Akan tetapi ada perbedaan mencolok antara keduanya, yakni dalam proses memperoleh ikan. Ila sangat berhati-hati, sedang Evi tidak. Bagi Evi yang terpenting dapat banyak tanpa mempertimbangkan kehalalannya. Dan kebanyakan anak yang bekerja sebagai pemungut ikan berpikiran sama seperti Evi. Barangkali keterjepitan ekonomilah yang memaksa mereka berbuat demikian. Tiap anak Adam punya karakter dan kecenderungan beragam.

Tak lama kemudian berlembar-lembar rupiah berhasil mereka genggam. Ya, sekarang ikan-ikan itu sudah berubah wujud menjadi mata uang rupiah setelah melalui proses tawar menawar dengan Mbok Darmi, wanita paruh baya yang siap membeli hasil pungutan anak kecil. Tentunya dengan harga lebih rendah jika dibanding dengan harga sesungguhnya. Itu pun yang dibeli hanya ikan berkualitas baik dengan ciri kesegaran yang nampak dari dagingnya. Adapun ikan-ikan yang tak laku jual langsung dibawa pulang untuk dikonsumsi sendiri sebagai lauk peneman nasi.

“Alhamdulillah dapat Rp 15.000,00,” syukur Ila berulang kali dalam hatinya. Ia memang sosok yang pandai bersyukur. Lagi-lagi berkat didikan orang tuanya.

Tepat jam 09.17 Ila dan Evi hengkang dari tempat lelang. Ditinggalkannya jutaan ikan dan orang-orang yang berkepentingan dengannya, baik pedagang, pembeli maupun kuli angkutnya. Kaki mereka terus melangkah walau rasa lelah mendera hampir sekujur tubuh mereka. Mata yang sudah dihinggapi kantuk harus terus dipaksa terbuka untuk menyusuri sejengkal demi sejengkal satu sisi jalan ibu kota. Dinginnya malam perlahan menusuk kulit mereka yang hanya dibalut kaos berlengan pendek dan celana panjang. Rumah mereka berdekatan sehingga sering berangkat dan pulang bersama. Akan tetapi dekatnya rumah tak menjamin kesamaan kepribadian mereka.
***

Pagi yang cerah. Tak ada segumpal awan hitam yang menyiratkan keseraman. Mentari tersenyum manis di ufuk timur, memberikan energi kesegaran kepada seluruh makhluk penghuni bumi. Cahayanya begitu menyilaukan, menyemburatkan kedamaian. Benar-benar fenomena alam yang patut dikagumi. Namun banyak manusia yang tak menyadarinya. Mereka menganggap bahwa pergantian malam dan siang hanyalah hal biasa. Padahal di balik semua itu tersimpan tanda keagungan Sang Pencipta.

Dalam bilik rumah berukuran kecil, Ila serius memelototi angka-angka yang tertera di bukunya. Sesekali dahinya berkerut tatkala soal Matematika yang diberikan gurunya, belum mampu dipecahkannya. Beruntung ia ditakdirkan dengan dibekali otak encer. Sehingga tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan soal yang dianggap sulit oleh sebagian anak seusianya. Waktu terus bergulir sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Pemegang Waktu.

Di waktu yang bersamaan, Bu Aida dan Pak Umar yang tak lain adalah orang tua Ila, tengah sibuk di dapur sejak jam tiga. Mereka tidak sedang bercanda gurau atau sekedar menikmati sejuknya udara pagi dari sela-sela jendela di pojok dapur. Tapi mereka sedang memasak berbagai panganan, seperti batagor, tahu goreng, tempe goreng, lumpia dan lainnya. Nantinya oleh Bu Aida panganan itu akan dijual di pasar yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah kecil berbahan kayu itu.

“Pak, tolong ambilkan garam di situ,” pinta Bu Aida kepada suaminya sambil tangannya menunjuk ke arah meja kayu ukuran kecil yang sudah mulai lapuk.

“Ya, Bu,” jawab Pak Asep dengan senyum mengembang di bibirnya. Pria itu tak pernah enggan membantu istrinya. Apalagi demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Sementara di sudut rumah yang lain Intan, anak kedua Pak Umar, mengakrabi tumpukan piring yang lantas disautnya untuk dicuci. Meski punya kakak perempuan, ia tak pernah mengeluh lantaran tugas pencucian itu diserahkan kepadanya. Toh, kerap kali piring-piring kotor itu dicuci oleh Ila pada sore harinya.

Sedang si bungsu Asep yang masih berumur enam tahun tak ada di rumah. Sepagi ini ia biasa menyisiri jalan untuk sampai di rumah Ustaz Rozi. Seorang pemuda yang turut menegakkan panji-panji Allah dengan cara mengajarkan Qur’an di kawasan kumuh di dekat sungai Ciliwung.
***

“Pak, Bu, kami berangkat. Assalamu’alaikum,” Ila, Intan dan Asep bergantian mencium tangan kedua orang tuanya.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Pak Umar dan Bu Aida hampir bersamaan sambil menyalami tangan lembut putra putrinya.

Ketiga remaja itu meninggalkan rumah dengan hati bahagia sebab masih diberi kesempatan untuk belajar. Ila berstatus pelajar di MTs al-Falah, Intan dan Asep di SDN Ciliwung 5. Mereka selalu berangkat bersama dengan berbekal semangat meraih kesuksesan. Sesampainya di pertigaan jalan, sebelum memasuki jalan raya, mereka akan berpisah lantaran sekolah mereka berbeda arah.

Setelah tubuh ketiga anak berusia belia itu hilang dari pandangan mereka, Pak Umar dan Bu Aida kembali melanjutkan aktivitasnya. Secepat kilat dimasukkannya panganan gorengan ke dalam baskom. Kemudian baskom-baskom itu ditaruh di atas becak yang akan mengantarkan Bu Aida ke pasar.

Becak tua itu telah menjadi teman akrab Pak Umar sejak sepuluh tahun lalu. Hampir tiap hari ia tak pernah letih mengayuhnya sebab di situlah ia akan mengais rezeki. Dan becak itu pula yang senantiasa setia menemani Bu Aida ke pasar.

“Ayo, Bu. Ini Bapak sudah siap,” ajak Pak Umar kepada istrinya.

“Ya Pak, bentar lagi,” jawab Bu Aida yang masih memeriksa pintu rumahnya agar aman dari mara bahaya apapun.

“Hati-hati, Pak. Bismillah,” Bu Aida menaiki becak. Di sampingnya nampak beberapa tumpukan baskom berisi jajanan gorengan. Wanita setengah baya itu telah menekuni profesi penjual gorengan semenjak tiga tahun silam. Dari hasil penjualan yang tak seberapa itu dia bisa membantu suaminya.

Cahaya matahari merambat di setiap celah permukaan bumi. Mentari bersinar terik. Di sepanjang jalan mereka menyapa tetangga yang juga tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah golongan berekonomi pas-pasan itu kerukunan antar warga memang sangat terjaga. Mereka bak keluarga besar yang tiap kali ada masalah, jiwa sosial mereka langsung muncul.
***

Terdengar dentuman keras di perkampungan dekat sungai Ciliwung. Kericuhan mewarnainya. Ratusan orang memadati tempat itu dengan kepentingan yang bervariasi. Isak tangis perempuan dan anak-anak kecil tak terbendung lagi. Tetes air mata yang menganak sungai di pipi mereka cukup menjadi tanda akan sedih dan tersayatnya hati mereka. Betapa tidak? Tiap orang akan merasakannya jika berada di posisi mereka.

Dengan jelas tanpa ada tabir apapun, mereka menyaksikan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung dari terik matahari dan dinginnya malam, dihancurkan oleh petugas satpol PP. Perasaan manusia mana yang tak tersakiti dengan perlakuan sedemikian kejamnya? Merusak tanpa kenal toleransi. Benar-benar tak manusiawi. Atas dasar perintah atasan, petugas berseragam polisi dengan leluasa meluluh lantahkan satu persatu rumah kumuh yang berdiri di perkampungan itu.

Di pojok jalan Ila yang baru saja pulang dari sekolah kaget bukan kepalang. Tubuhnya seketika lemas tak berdaya ketika melihat tragedi itu. Ia berhamburan ke arah tetangga yang juga tak kalah paniknya. Ditanyanya tentang penyebab pembongkaran paksa ini. Tapi jawaban konkret tak didapat. Karena memang petugas yang jumlahnya dua kali lipat dari penduduk di sana, tak menjelaskan perihal penyebab penggusuran paksa itu. Mereka hanya menunjukkan surat berisi eksekusi bangunan di tanah itu.

Dorr. Dorr.

Bunyi bak bom itu mengguncang tanah yang diinjak Ila. Ia makin kalang kabut. Dicarinya Intan dan Asep yang tentunya sudah pulang terlebih dahulu. Matanya menyisiri tiap orang yang ada di hadapannya. Ia belum menemukan juga.
“Intan... Asep... Intan... Asep...,” teriaknya berkali-kali. Suaranya terkalahkan oleh dentuman keras itu. Ditelusurinya setiap sudut di perkampungan kecil itu. Dan akhirnya ia mendapati kedua adiknya yang sedang ketakutan di pinggir jalan.
“Intan... Asep...” Teriakan keras Ila berhasil didengar. Reflek ketiganya berpelukan erat seakan telah terpisahkan selama sekian tahun.
“Kalian tak apa-apa?,” tanya Ila mengkhawatirkan kondisi adik-adiknya.
“Nggak apa-apa. Mbak, bapak dan ibu di mana?,” si bungsu Asep dengan polos menanyakan keberadaan orang tua mereka.
“Bapak dan ibu sebentar lagi pulang,” hibur Ila.
Dengan menenteng tas masing-masing dan langkah tertatih, Ila, Intan dan Asep menuju pelataran rumah mereka. Mereka berusaha menyelamatkan barang-barang berharga, tapi petugas satpol PP menghalangi. Dan dalam hitungan jam perkampungan itu telah rata dengan tanah. Hanya timbunan reruntuhan bangunan yang tampak berserakan di mana-mana. Hati mereka senja meski langit tampak cerah.
Ila menerawang jauh ke depan. Matanya basah akan air mata. Demikian pula dengan Intan dan Asep. Mereka menangis sesenggukan. Satu per satu memori indah masa lalu tentang rumah kecil itu hadir di benak mereka. Indahnya berkumpul dengan keluarga meski dalam situasi ekonomi yang lemah. Didikan dan kasih sayang orang tua yang tak pernah henti dicurahkan kepada mereka. Semuanya terbayang jelas.
Kabut tebal nan hitam menyelimuti diri mereka. Kabut tebal yang dimunculkan oleh petugas satpol PP tak berperasaan itu. Ila yang dulu pernah menancapkan niat untuk belajar hingga jenjang tertinggi, kini seakan cita-cita tersebut musnah ditelan realita. Uang hasil pemungutan ikannya yang disimpan di bawah tikar tempat tidurnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SLTA yang tinggal beberapa bulan lagi, mungkin kini tak berarti apa-apa.
Dan detik ini angannya itu terbang jauh entah ke mana. Dalam kondisi seperti ini dia hanya bisa membayangkan tercabutnya status pelajar dari dirinya lantaran orang tuanya yang besar kemungkinan tak mampu membiayainya lagi. Dan Intan akan terus menerjuni dunia pemungutan ikan demi cita-cita mulianya yang moga suatu saat nanti akan jadi kenyataan.

Tidak ada komentar: