Senin, 25 Oktober 2010

Menyelami Pemikiran Kiai Sahal mahfudh

By: Hibatun Wafiroh
A. Biografi Singkat KH. Sahal Mahfudh

Nama lengkap beliau yaitu Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Beliau lahir pada tanggal 17 Desember 1937 di sebuah desa kecil bernama Kajen, Margoyoso, Pati. Pendidikan yang pernah ditempunya adalah MI Kajen (1943-1949), MTs Mathali’ul Falah Kajen (1950-1953), kursus ilmu umum (1951-1953), Pesantren Bendo Pare, Pesantren Sarang dan pendidikan Islam di Makkah di bawah bimbingan Syekh Yasin al-Fadani (1960). Jadi sejak kecil beliau hidup di pesantren dan menekuni berbagai genre ilmu agama. Hal ini mempertajam pisau analisisnya terhadap permasalahan umat.

Kiai yang semenjak tahun 1963 mengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kejen ini, sekarang menjabat sebagai rektor INISNU Jepara, Ketua Dewan Pengawas Syariah AJP Putra, Rais ‘Am Syuriyah PBNU dua periode (1999-2004 dan 2004-2009) dan Ketua Umum MUI dua periode (2000-2005 dan 2005-2010). Di samping itu, beliau juga aktif mentransfer ilmu kepada murid-murid beliau di madrasah dan pesantren.
Sosok kiai yang pernah mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta ini terkenal sangat kharismatik, cerdas, santun, bersahaja, disiplin waktu dan sifat-sifat mulia lainnya. Beliau amat disegani oleh banyak kalangan. Meski begitu beliau tak pernah sekalipun menyombongkan kepandaiannya. Tutur kata beliau yang halus dan santun membuat beliau sangat dicintai banyak orang.

Selain aktif berdakwah bil-kalam Kiai Sahal termasuk ulama yang produktif. Kitab-kitab karya beliau, baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia, telah menyebar ke mana-mana dan tak sedikit civitas akademika yang mengkajinya. Misalnya Nuansa Fiqih Sosial –yang akan kita jadikan bahan diskusi kali ini–, Ensiklopedi Ijma’, al-Bayan al-Mulamma an Alfaz al-Luma, al-Tsamarah al-Hajainiyah dan lainnya.

B. Mengenal Pemikiran Kiai Sahal tentang Fiqih Sosial
Berbicara tentang Kiai Sahal tak lepas dari latar belakang pendidikan beliau yang kental dengan nuansa Nahdhatul ‘Ulama, sehingga hasil buah pikir beliau kerap dijadikan problem solving oleh warga NU. Di kalangan NU, bahkan secara nasional, Kiai Sahal masyhur dengan konsep Fiqh Sosial yang cenderung kontekstual (muqtadha al-hal) dan mengedepankan aspek mashlahah sebagaimana ditawarkan oleh al-Syathibi (w 790/1388), di mana perlindungan hukum mengacu pada lima ranah, yakni agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta benda (al-mal) dan akal (al-aql).

Bagi beliau, Fiqh menjadi suatu disiplin yang unik, yang mampu memadukan unsur samawi dan kondisi aktual “bumi”, unsur lokalitas dan universalitas serta wahyu dan akal pikiran. (hal. xxiv). Fiqh memiliki wawasan tentang watak bidimensional, yakni dimensi kesakralan dan keduniaan. Oleh karena itu, setiap pengembang fan Fiqh hendaknya bersikap terbuka dan peka terhadap problem yang dihadapi umat dengan tanpa meninggalkan dalil-dalil naqli berupa al-Qur’an dan hadits.

Untuk memosisikan Fiqh sebagai solutiv cerdas terhadap problem masyarakat, baik di bidang agama, ekonomi, sosial maupun politik, ulama mazhab telah membekali dengan kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Metodologi (manhaj) yang mereka tawarkan ini masih relevan hingga kini jika diaplikasikan secara kontekstual. Ini bila realitas yang ada belum tercover dalam kitab-kitab Fiqh mereka. Namun bila nyatanya sebuah kasus telah direpresentasikan dalam karya mereka, maka pengembang Fiqh cukup melakukan kajian kembali (mencocokkan/mentathbiq) terhadap nash-nash serta meng-up grade pemikiran mereka jika dirasa kurang pas dengan kondisi masyarakat sekarang.

Sebelum menelaah lebih lanjut tentang pemikiran Kiai Sahal, ada satu main stream yang cukup klise, yaitu anggapan bahwa Fiqh adalah sesuatu yang tekstual, statis dan karena itu tidak mungkin mengikuti perkembangan zaman. Asumsi ini harus segera dipatahkan mengingat definisi Fiqh itu sendiri, yakni al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyyah al-‘amaliyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyah (ilmu yang berkenaan dengan hukum syariat amaliyah yang digali dari argumen yang terperinci). Amaliyah selalu berkembang dan kerap menyisakan permasalahan yang kompleks. Sementara teks Qur’an dan hadits terbatas. Di sini diperlukan proses ijtihad dari individu/kelompok yang berkompeten (memenuhi standard kualifikasi tertentu) dan punya nyali berijtihad.

Konsep Fiqh yang demikian dinamakan Fiqh sosial. Artinya Fiqh bukan hanya manuskrip yurisprudensi yang mengenal halal dan haram, tapi juga sebagai pemaknaan sosial. Fiqh bukan hanya menjadi dasar hukum dalam menjalankan peribadatan ritual, akan tetapi juga menjadi ilmu yang dapat diterapkan (applicable) untuk menyelesaikan masalah sosial kontemporer. Adapun karakteristik Fiqh sosial sebagaimana dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) dan P3M (Perhimpunan Masyarakat) adalah (hal. xxxv):

1.Interpretasi teks-teks Fiqh secara kontekstual.
2.Perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual (qauli) ke bermazhab secara metodologis (manhaji).
3.Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’).
4.Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.
5.Pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.

Perlu diingat di sini bahwa pemahaman Fiqh secara kontekstual bukan berarti menanggalkan Fiqh secara keseluruhan. Konsep-konsep Fiqh yang terekam dalam kitab kuning tetap dijadikan rujukan dalam penggalian hukum, namun tidak dengan menutup mata dari problem aktual dan hanya menjadikannya sebagai dogma yang tak bisa diganggu gugat. Fiqh adalah cabang keilmuan yang selalu dinamis. Kedinamisan ini telah terlihat sejak dahulu, misalnya Imam Syafi’i yang familiar dengan qaul qadim dan qaul jadi. Oleh karena itu, sudah sepatutnya segala permasalahan kontemporer aktual diselesaikan dengan terobosan ilmu Fiqh.

C. Ekspektasi
Sebagai mahasiswa yang sejak awal memasuki kampus IAIN Sunan Ampel diharapkan menyandang predikat fuqaha’ usai menyelesaikan perkuliahan, marilah kita berpikir progresif dalam pengembangan ilmu Fiqh. Mari kita membuka penglihatan kita bahwa masyarakat menanti kontribusi nyata kita. Bahwa permasalahan yang melingkupi mereka saat ini jumlahnya begitu banyak dan semuanya membutuhkan problem solving. Bahwa Fiqh bukan dogma teoritis warisan ulama. Kedinamisan melekat erat pada Fiqh.
Allahumma infa’na ma ‘allamtana wa ‘allimna ma yanfa’una. Amin....

Penulis adalah alumnus Pesantren Roudhatul Ulum Kajen, Pati.
(Artikel ini didiskusikan dalam kajian ASD angkatan 2007 pada 11 Maret 2010. Mudah-mudahan sekelumit tulisan ini bermanfaat)

4 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus ni posting2annya. keep writing!
jd iri..

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Terima kasih, Moga tulisanku bermanfaat. Mari kita sama2 menulis. Keep spirit!

Saiful Umam Al-Fathowy mengatakan...

Lanjutkan..! Salam Kenal Yach.....
http://saifalumamy.blogspot.com

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Salam kenal juga... Terima kasih sudah mengunjungi blogku. Hmm... aku udah berkunjung ke blogmu. Wah, bagus banget. O iya, kamu dari Pati mana? Dulu aku pernah sekolah di Kajen.