Senin, 25 Oktober 2010

Manusia Gerobak

Oleh: Hibatun Wafiroh
Matahari tersenyum manis di langit ufuk timur. Cahayanya membias indah di angkasa. Namun warna keemasannya terhalang oleh gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi bak menara. Udara pagi yang biasa terasa sejuk, tak lagi ditemukan di ibu kota ini. Hari memang masih pagi, namun asap dari knalpot memburai di udara.

“Dik, berangkat dulu,” ujar Sam’un, pria berumur 35 tahun, kepada wanita yang dinikahinya tujuh tahun silam. Panggilan Dik yang terlontar darinya sebagai akan keromantisan hubungan di antara keduanya.


“Ya, Mas. Hati-hati,” timpal Esti, melepas kepergian suaminya dengan guratan cerah di wajahnya. Seulas senyum mengembang di bibirnya.

Adegan perpisahan antara suami istri itu berlangsung tidak di dalam sebuah bangunan rumah. Toh, memang mereka belum memiliki rumah sejak awal menikah hingga pernikahan mereka memasuki tahun ke-7. Kala hujan mereka akan merasa dingin. Pun saat panas matahari menjilati tubuh mereka di musim kemarau.

“Bapak,” teriak Riska, buah hati mereka. Gadis belia dengan kisaran usia enam tahun itu berparas cantik seperti ibunya. Dia baru saja bangun dari mimpinya. Di bawah tubuhnya berjajar kardus cokelat yang sehari-hari menjadi alas tidurnya. Dikuceknya kedua matanya supaya bisa terbelalak lebar. Ia berlari kecil mendekati orang tuanya.

“Bapak, Ibu, tadi Riska bermimpi indah,” kisahnya dengan semburat bahagia. “Riska bermain bersama Ucok, Salman, Siti dan Iis di taman sekolah yang dipenuhi bunga-bunga,” lanjutnya masih dengan binar keceriaan.

Empat nama yang disebutnya itu adalah teman-teman sebayanya yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Ya, mereka sama-sama tinggal di luar ruangan yang hanya beratapkan langit tiap kali mau memejamkan mata untuk menikmati waktu rehat.

“Tapi mimpi Riska itu tiba-tiba terpotong. Riska jadi sedih karena tidak bisa bermain lagi. Padahal Riska tadi senang banget,” kini wajahnya berubah muram.

“Riska tidak boleh sedih begitu. Nanti insya Allah Bapak akan menyekolahkan Riska. Doakan ya semoga Bapak dapat rezeki banyak,” hibur Sam’un. Sebetulnya ada luka yang menganga di hatinya. Kesedihan menggelayuti kalbunya. Sedih karena tak mampu memberikan penghidupan yang layak untuk keluarga tercintanya. Sedih karena memperturutkan istri dan anaknya dalam mengarungi bahtera kesusahan di Jakarta.

“Yang penting sekarang Riska berdoa dan harus yakin kalau suatu saat nanti Riska bisa sekolah,” Esti meyakinkan anaknya. “Jangan bersedih lagi ya, Sayang. Meski belum sekolah, tapi ibu kan mengajari Riska baca dan tulis. Ayo, senyum dong.”

“Ya, Bu,” gadis mungil itu mulai tersenyum.

“Riska, Bapak berangkat kerja dulu ya,” Sam’un meninggalkan keluarganya dalam kondisi lapar. Dia sendiri juga belum diasupi secuil makanan pun. Biasanya nasi baru bisa mereka kunyah ketika langit telah menghempaskan panas.

Dengan mendorong gerobak berukuran 1x1,5 meter, Sam’un mulai menyusuri trotoar jalan. Bau menyengat yang bersumber dari gerobak itu tak pernah dia hiraukan. Didorongnya alat angkut sampah itu dengan sekuat tenaga. Sesekali ia berpapasan dengan orang-orang yang tengah mendorong gerobak dengan spesifikasi yang berbeda. Ada yang memulung sampah seperti dirinya, pengumpul plastik dan botol air mineral, pengumpul kardus dan lainnya. Semuanya beradu dengan sengatan panas ibu kota.

Sementara Esti dan putri kecilnya memberesi alas tidur yang terbuat dari kardus supaya tak diomeli oleh pemilik toko yang mereka singgahi. Sedikit saja mereka telat membereskannya, serta-merta orang kaya itu marah dan mengomel, tak rela jika emperan tokonya ditempati oleh manusia kotor seperti mereka.

Selanjutnya mereka akan berjalan pelan menghampiri mobil-mobil yang tengah parkir seraya mendendangkan sebuah lagu lalu menengadahkan tangan. Berharap jasa yang mereka berikan mendapatkan imbalan uang. Dari uang itulah mereka akan mengisi perut dengan menu sederhana yang dibeli dari warung di pinggir jalan.
***
Sesak. Sampah-sampah berbau anyir berdesakan berebut tempat yang tak kalah kumuhnya. Andai mereka punya perasaan, mungkin mereka akan menjerit, meneriakkan keinginan untuk berpindah ke tempat yang lebih baik. Ah, beruntung mereka hanya seonggok sampah yang tak bernyawa, sehingga dengan leluasa para pemulung bisa menjamah dan memasukkannya ke dalam karung atau gerobak yang mereka bawa tanpa ada perlawanan dari benda yang dianggap jijik oleh kebanyakan orang itu.
 
Di antara pemburu sampah itu adalah Sam’un. Sejak tiga tahun silam dia menekuni pekerjaan sebagai pemulung. Dengan cepat dia menyambar sampah-sampah yang sekiranya masih bisa didaur ulang. Seperti kertas, botol, kaleng, plastik dan lain-lain. Bersama puluhan orang lainnya ia beradu nasib di atas gunung sampah. Menggali dan mengorek apa yang ada di depan mata mereka.

“Pak Sam’un, coba lihat. Kayaknya sebentar lagi mau hujan,” kata Eko, remaja yang juga menggeluti dunia sampah. Di tempat pembuangan akhir (TPA) itu tak hanya dipenuhi orang dewasa saja, tapi banyak pula remaja dan anak kecil yang nimbrung mencari rezeki di antara sampah-sampah menjijikkan itu.

Sam’un menengok ke atas. Langit tak cerah. Sinar matahari terhalang awan gelap yang bergumul jadi satu. Bulan ini memang mendekati musim penghujan.

“Ya, Eko. Moga kalau hujan nggak sampai deras biar kita bisa tetap mencari sampah. Ini hasil pulungan Bapak baru sedikit.”

“Amin... Saya juga belum dapat banyak.” Mereka kembali pada aktivitasnya masing-masing.

Bagi pemulung semacam mereka, hujan agak ditakuti. Panas yang menyengat lebih disukai ketimbang hujan lebat yang tentu saja menjadikan ladang pencaharian mereka tidak karuan. Mereka tak bisa memulung di tengah guyuran hujan. Aktivitas mereka akan terhenti hingga hujan-hujan benar-benar telah reda.

Berbeda dengan musim panas yang sengatannya akan mereka terjang meski dengan luluran keringat. Panas yang mendidih di ubun-ubun tak meredakan semangat mereka. Demi meraup rupiah mereka rela berpanas-panas ria.

“Ayo Eko, kita memulung di sana. Itu ada truk pengangkut sampah yang baru datang,” ajak Sam’un seraya menunjuk ke arah barat. Mereka bergegas mendekati truk itu. Biasanya dari truk yang baru tiba di TPA, mereka akan mudah memperoleh sampah.
 ***

Awan belum bergeming dari mendungnya. Justru semakin terlihat gelap. Tapi rintik hujan belum juga turun. Barangkali sebentar lagi Jakarta akan dilanda hujan. Ah, moga saja tidak, harap Sam’un.

Sayup-sayup pria berkaos pendek dan bertopi itu mendengar suara azan. Meski matahari tak tampak jelas, sang muadzdzin masih bisa melaksanakan tugasnya tepat waktu. Dengan melihat jadwal waktu salat di masjid, dia dapat mengumandangkan azan tanpa harus observasi lapangan terlebih dahulu.

Sam’un berusaha menyimak seruan nan menyentuh itu. Bibirnya pelan-pelan menirukan lafal azan. Sejenak dia menepi untuk istirahat sambil melepas lelah.

Sepuluh menit kemudian Sam’un kembali mendorong gerobak kayunya. Sesampainya di tempat Pak Darmo, dia langsung menjual hasil bekerjanya semenjak pagi hingga siang. Pak Darmo adalah seorang yang sehari-hari menerima sampah hasil pungutan para pemulung lalu menukarnya dengan beberapa lembar rupiah.

“Terima kasih, Pak,” ucap Sam’un usai mengantongi uang dua puluh ribu rupiah. Yang didapatkannya memang tak seberapa. Tapi nominal yang kecil itu cukup membuat hatinya berbunga-bunga.

Dua puluh persen dari hasil pungutannya selalu dia simpan. Sedang sisanya untuk membeli kebutuhan pokok. Kalau sudah terkumpul banyak, rencananya uang itu akan digunakan untuk membiayai pendidikan putrinya, Riska. Dia sangat menginginkan putri semata wayangnya bisa menikmati pendidikan Sekolah Dasar.

Sam’un melanjutkan perjalanannya namun tanpa menggaet gerobak. Kali ini dia berjalan bukan untuk mencari sampah di TPA ataupun tepi jalan. Sementara dia titipkan gerobaknya kepada Pak Darmo.

“Pak, nitip gerobak ini ya. Saya mau ke sana dulu,” ujar Sam’un seraya jari telunjuknya menunjuk arah masjid di seberang jalan. Tak jauh dari TPA.

“Taruh saja di situ,” jawab Pak Darmo yang langsung paham akan ke mana pemulung yang satu itu pergi.

Sebelum beranjak pergi, Sam’un terlebih dahulu mengambil kantong plastik hitam ukuran sedang yang menggelantung di paku di gerobak sisi depan. Di dalamnya ada kemeja dan sarung yang warnanya mulai luntur dan terlihat amat kusut. Meskipun begitu kesuciannya terjamin. Di samping kantong plastik itu ada tiga plastik hitam dengan ukuran yang besar. Masing-masing berisi pakaian dirinya, istri dan anaknya.

Seperempat jam kemudian Sam’un sampai di halaman masjid. Tempat pertama yang ditujunya adalah toilet. Segera ia melepas pakaian kotornya dan menggantinya dengan pakaian yang terbungkus rapat dalam plastik. Kini Sam’un sang pemulung telah menjelma menjadi hamba yang taat.

Ya, sejak merantau di Jakarta tiga tahun silam dia tak pernah mengabaikan kewajibannya kepada Allah. Profesinya sebagai pemulung sampah tak menyurutkan niatnya untuk beribadah. Lokasi dinasnya di TPA tak menghentikan langkanya untuk menyusuri jalan menuju masjid.

Dalam hatinya terpatri keyakinan bahwa rezeki manusia sudah ditentukan kadarnya oleh Sang Pencipta. Tugas utamanya di dunia sejatinya untuk menghambakan diri kepada-Nya. Salah satunya ditunjukkan dengan mendirikan salat lima waktu.

Sesaat sebelum Sam’un berucap takbiratul ihram, tiba-tiba halilintar terdengar keras, diiringi hujan lebat. Kilat menyambar sedemikian hebatnya. Menyisakan rasa takut dalam diri orang yang mendengarnya. Dan Sam’un tetap melanjutkan salatnya.

“Allahu Akbar.” Seruan takbir bergeming dari bibirnya.
***
Satu jam lebih Jakarta diterpa angin dan hujan. Mungkin tak ada celah ibu kota yang terbebas dari terpaan air hujan. Jalan raya sedikit lengang. Pedagang asongan tak menjajakan dagangannya. Pengamen yang biasa memadati kota, tampak bergerombol di depan toko, terminal atau tempat lain yang mereka suka. Pemulung pun menghentikan aktivitasnya, menghindari hujan dengan cara mereka sendiri.

Di dalam masjid Sam’un duduk bersila di atas sajadah. Bibirnya bertasbih. Dia beruntung sebab berada di tempat yang aman dari terpaan hujan. Di luar sana manusia yang sehari-hari memunguti sampah di TPA, sedang panik-paniknya mencari tempat. Malah banyak yang terpaksa berlindung di bawah naungan pohon besar dengan tubuh basah kuyup. Dewi Fortuna benar-benar tengah memihak pada Sam’un.

Dalam keheningan, bayangan istri dan anaknya muncul di pelupuk matanya. Sam’un mengkhawatirkan keadaan mereka. “Semoga kalian baik-baik saja,” lirihnya.

Sam’un takut kalau terjadi sesuatu pada orang terkasihnya itu. Ingin sekali dia berlari dari masjid lantas menyusul sang istri dan si kecil Riska di tempat biasa mereka mengamen. Tapi curah hujan yang kian deras membuatnya urung. Sebagai gantinya, doa terus ia panjatkan kepada Tuhannya demi keselamatan keluarganya.
***

Hampir empat jam hujan belum reda. Langit semakin senja. Waktu salat Ashar telah berlalu dua jam lalu. Masjid yang disinggahi Sam’un hanya didatangi tiga orang. Termasuk Sam’un. Yang satu berperan sebagai imam, sekaligus muadzdzin dan lainnya makmum. Mungkin hujan yang menjadi penyebab kemalasan seseorang ke masjid.

Sam’un semakin cemas memikirkan keadaan istri dan buah hatinya. “Sedang di mana kalian sekarang?,” tanyanya.

Melihat hujan yang tak selebat tadi, Sam’un beranjak meninggalkan masjid. Diambilnya gerobak sampah yang dititipkan di tempat Pak Darmo. Gerobak yang semula sangat kotor mendadak bersih. Kotoran dan bau tak sedapnya tersapu air hujan.

Sam’un berlari kecil sambil mendorong gerobaknya. Rintik-rintik hujan tidak dihiraukannya. Dalam benaknya hanya ada Esti dan Riska. Dua perempuan yang amat berarti dalam hidupnya itu selalu ia pikirkan. Dia tak ingin terjadi apa-apa pada mereka.

Pria berkulit cokelat itu menapaki jalan beraspal yang licin. Sampailah dia di Jalan Supratman. Tadi pagi dia berpisah dengan mereka di situ. Dan di situ pula mereka biasa menghabiskan malam bersama orang-orang yang sama-sama menjadikan gerobak sebagai tumpuan ekonominya. Orang-orang itu biasa disebut manusia gerobak sebab gerobak seolah menjadi rumah yang bisa mereka bawa ke mana-mana.

Di Jakarta keberadaan manusia gerobak tak sulit dijumpai. Himpitan ekonomi memaksa mereka demikian. Tidur beralas kardus di atas gerobak bukan hal asing lagi.

Gerobak itu memiliki banyak fungsi. Gerobak sebagai alat tampung hasil kerja keras mereka sepanjang hari juga sebagai tempat peristirahatan saat malam menjemput. Dinginnya malam sudah biasa mereka rasa. Sangat kontras jika dibandingkan dengan manusia berjubel harta yang tinggal di rumah, hotel ataupun apartemen mewah.

Sam’un terus menyusuri jalan. Matanya jeli memandangi tiap orang. Berharap bisa menemukan jejak istri dan anaknya tak jauh dari Jalan Supratman.

Tiba-tiba sosok Esti dan Riska ditangkap pupil matanya. Mereka sedang duduk di pangkalan ojek dengan tubuh basah kuyup. Sam’un berlari sekencangnya menyusul dua insan yang dicintainya itu.

“Dik,” sapa Sam’un kepada istrinya.
 
“Mas, Riska, Riska,” kata wanita berumur 30 tahun itu. kepanikan menyusupi dirinya.

“Kenapa dengan Riska, Dik?,” Sam’un belum mengerti ucapan istrinya. Dipandanginya Riska yang berada di dekapan ibunya.

“Riska demam, Mas. Tadi kami kehujanan waktu mengamen. Terus tiba-tiba Riska lemas seperti ini. Aku khawatir, Mas.”

“Tenanglah, Dik. Ayo kita ke masjid dekat TPA. Kita bisa berteduh sementara di sana sambil menunggu Riska baikan,” ujar Sam’un.

“Kalau masih demam bagaimana, Mas? Aku sangat khawatir,” kata Esti panik.

“Nanti kita bawa ke puskesmas.”

“Tapi Mas, kita kan nggak punya uang.”

“Sejak dua bulan lalu diam-diam Mas menyisihkan hasil memulung sampah. Rencananya uang ini untuk biaya sekolah Riska Juli nanti. Tapi tak apalah kalau dipakai untuk pengobatan Riska. Yang penting Riska sembuh. Nanti Mas akan cari lagi.”

Tanpa menunggu waktu lama mereka bertiga bergegas menuju masjid yang tadi disinggahi Sam’un salat. Di tengah perjalanan kaki Esti linu. Seolah tak mampu berjalan lagi. mungkin karena terlalu capai menyangga tubuh Riska sejak awal turun hujan hingga kini.

Sam’un diam beberapa saat. Akhirnya ia menyuruh istrinya untuk menaiki gerobak bersama anaknya. Biar dia yang mendorongnya.

Bau menyengat dari gerobak itu tak lagi tercium. Sebab hujan selama empat jam lebih telah berhasil membersihkan sisa-sisa sampah sehingga baunya pun pelan-pelan menghilang.

Kini Sam’un membawa “rumah gerobaknya” yang dihuni istri dan anaknya menuju masjid. Tangannya terus mendorong tanpa mengenal lelah. Andai dia punya rumah, tentu akan lebih baik beristirahat di rumah. Tapi apa daya. Kenyataan berkata lain. Satu-satunya materi berharga mereka adalah gerobak. Tidak salah jika dia juga tergolong sebagai manusia gerobak. Manusia gerobak yang ingat kepada Tuhannya lebih baik daripada manusia kaya yang terlena akan harta.
***

Tidak ada komentar: