Senin, 25 Oktober 2010

Dilema Berujung Penyesalan

By: Hibatun Wafiroh
Sejak siang Surabaya diguyur hujan. Halilintar dengan kilat yang berpijar-pijar memekakkan telinga. Menyemburatkan ketakutan dalam diri orang yang mendengarnya. Entah kapan langit akan terbebas dari awan hitam, tak ada yang tahu.

Di sebuah kamar ukuran 5x5 meter seorang pria menatap ke luar jendela yang sengaja tak ditutupnya dengan tirai. Sesekali percikan hujan mengenainya melalui cela-cela kecil jendela itu. Pandangannya kosong. Wajahnya menyiratkan kesedihan. Andai dia perempuan, mungkin saat ini air mata telah membasahi pipinya. Ia berusaha tegar. Ucapan adik perempuannya saat menelepon tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya.


“Kak Edi, semalam penyakit ibu kumat dan langsung dibawa ke rumah sakit,” tutur perempuan dari seberang sana dengan tangis yang berusaha ditahan.

“Sekarang kondisinya bagaimana?,” jawab pemuda bernama Edi dengan panik.

“Ibu masih kritis. Kak, ibu harus segera dioperasi. Paling lambat lusa harus ada kepastian dari keluarga. Sedangkan biayanya itu sangat mahal dan Nina tak punya uang. Nina sudah pinjam ke paman dan tetangga. Tapi mereka tak punya uang. Kak, Nina bingung,” curhat Nina, satu-satunya adik perempuan Edi. Usianya sekitar 16 tahun.

“Biayanya berapa? Nina yang sabar ya. Nanti Kakak coba cari pinjaman. Moga dapat. Kakak sebenarnya juga lagi limit. Tapi kakak akan berusaha,” hibur Edi.

“Totalnya 10 juta. Kak, jangan lupa lusa 50 persennya harus sudah ada. Kalau tidak, mungkin ibu akan....,” ucapan Nina terhenti. Dibayangkannya kondisi ibunya yang barangkali akan makin parah jika tidak mendapatkan perawatan di rumah sakit.

“Ya. Sekarang Nina tenang dulu. Jaga ibu baik-baik. Kalau ada sesuatu, segera telepon. Di sini Kakak akan mencari uang. Doakan saja.”

“Tentu, akan selalu Nina doakan. Sudah dulu Kak, Nina mau menjaga ibu. Assalamualaikum,” Nina mengakhiri percakapan dengan kakaknya sore itu.

Seketika otak Edi berputar-putar. Sebagai anak lelaki, dia merasa berkewajiban melindungi ibu dan adiknya. Dialah satu-satunya orang yang bisa diandalkan tatkala dalam kondisi genting seperti saat ini. Sebab sang ayah telah tiada belasan tahun silam.

Satu per satu nama teman-teman yang sekiranya bisa membantu muncul di benaknya. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

“Ya Allah, semoga mereka bersedia meminjamiku,” doanya. Meski ia harus realistik jikalau usahanya itu bakal gagal.

Sayup-sayup terdengar azan. Menandakan waktu salat Maghrib telah tiba. Edi yang hampir satu jam memandang kosong ke luar, kini tersadarkan. Ia beranjak menuju kamar mandi yang berada hanya beberapa langkah dari tempatnya berinjak. Tiap kamar di kosan itu, dilengkapi fasilitas kamar mandi. Di kamar itu Edi tinggal berdua dengan Iwan. Namun saat ini ia sendirian sebab Iwan sedang melakukan penelitian di luar kota.
***

Kecewa. Itulah yang dirasa Edi. Ia berjalan ke sana ke mari. Tujuh kawan telah ditemuinya. Berharap dapat pinjaman uang untuk biaya operasi ibunya. Tapi hasilnya nihil. Boro-boro 10 juta, untuk makan saja pas-pasan. Kantong mereka menipis. Penyakit akhir bulan mereka kumat. Hal biasa ketika mendapati mahasiswa mendadak miskin di pengujung bulan karena uang saku belum kunjung dikirim dari rumah.

Jam di ponsel Edi menunjukkan pukul 10.13 WIB. Cuaca cukup cerah. Tak ada awan gelap yang menggumpal di angkasa. Matahari bisa dinikmati keindahannya. Sinar keemasannya tak begitu menyengat.

Hari ini jadwal kuliah Edi hanya satu. Itu sudah dilalui sejak pagi hingga jam sembilan tadi. Sisa-sisa waktu yang ada mau ia habiskan di kampus. “Hari ini aku harus dapat uang,” tekadnya dalam hati. Untuk itu, ia kumpulkan keberanian untuk bertanya kepada teman-temannya. Barangkali ada mau memberi secercah harapan untuk dirinya.

Karena merasa capai, Edi memutuskan beristirahat di bawah pohon rindang di depan gedung Fakultas MIPA, tempatnya kuliah semenjak tiga tahun silam. Sekedar mencari angin segar dari dedaunan rindang yang tak hentinya bergoyang diterpa angin. Lumayan untuk menghilangkan kepenatan. Tiba-tiba Iwan, teman sekamar Edi datang mendekatinya. Sementara Edi masih sibuk dengan pikirannya.

“Hai Bro, apa kabar?,” sapa Iwan yang sontak mengagetkan Edi.

“Eh kamu Iwan, kapan sampai sini? Bagaimana penelitiannya? Lancar kan?,” mereka langsung berjabat yang lantas saling merangkul. Bak sahabat yang terpisah cukup lama. Kedekatan mereka memang sudah seperti saudara.

“Setengah jam yang lalu. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Kamu sendiri bagaimana? Kulihat kau tadi melamun sampai tak sadar aku ada di sampingmu.”

“Ya Iwan, aku lagi dirundung masalah.”

“Masalah apa itu? Mungkin aku bisa membantu.”

Lalu Edi menceritakan tentang kesedihannya. Sedih karena sang ibu dirawat di rumah sakit dan harus segera dioperasi, sedang ia tak punya uang untuk membayarnya. Pinjaman pun belum diperoleh. Sedih membayangkan penyakit ibunya akan semakin parah jika ia tidak segera mengantongi uang. Sungguh senja menyelimuti hatinya.

Mendengar penuturan Edi, Iwan turut berduka. Mereka diam sejenak. Masing-masing berusaha menemukan solusi terbaik. Akhirnya muncul ide di benak Iwan.

“Edi, kenapa kau tidak pinjam ke bank saja?”

“Tidak bisa, Wan. Aku tak punya surat berharga yang bisa dijadikan jaminan. Pencairannya juga lama. Padahal besok aku harus sudah mendapatkan uang.”

Mereka kembali hanyut dalam diam. Udara yang berhembus di sekitar mereka menjadi saksi bisu akan beban berat Edi dan niat Iwan untuk membantu sahabatnya.

“Edi, aku punya masukan,” untuk kedua kalinya Iwan menawarkan solusi.

“Apa itu?”

“Kau kenal Alex nggak? Itu lho yang kuliah di jurusan Matematika. Dengar-dengar dia sering meminjami uang dalam jumlah besar ke teman-temannya.”

“Iyakah? Caranya bagaimana agar aku juga bisa dapat pinjaman?,” seakan ada setitik harapan di hati Edi.

“Tapi Edi....,” belum sempat Iwan melanjutkan kata-katanya, Edi menyela.

“Tapi kenapa, Iwan?”

“Edi, setahuku Alex bukan orang yang tulus. Dia selalu mengajukan syarat ke orang yang minta bantuannya. Dan syaratnya itu tak sama. Apa kamu mau mencoba?”

“Apapun syaratnya aku mau. Asal ibu sembuh, aku rela melakukan apa saja.”

“Oke. Kita sekarang langsung menemui Alex. Dia biasanya di kantor BEM.”

Keduanya bangkit. Lalu berjalan berdampingan menuju kantor BEM. Ada setetes embun kesegaran menetes di sanubari Edi. Putus asa yang sempat menderanya, kini pergi jauh. Dalam hati Edi tak henti-hentinya berdoa moga harapannya terkabul.
 ***

Sepuluh menit Edi dan Iwan menunggu di kantor BEM. Tapi Alex tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Dia tak ada atau memang pura-pura tak ada, mereka tak tahu. Edi yang semula yakin, pelan-pelan muncul rasa ragu. Ia ragu apakah Alex mau meminjaminya 10 juta. Nominal yang besar bagi mahasiswa semacam dia.

“Sorry kawan. Tadi aku sarapan di kantin. Ada perlu apa kalian mencariku?,” sapa Alex dengan nada tinggi tapi tetap menghadiahi senyum kepada kedua tamunya itu. Sebelumnya mereka kenalan terlebih dahulu dengan berjabat tangan.

“Begini, Mas. Maksud kedatangan kami ke sini ingin pinjam uang kepadamu,” Iwan berterus terang. Ia memang sengaja disuruh Edi untuk menyampaikan maksud itu.

“O.... itu. Memangnya kalian butuh uang berapa?,” tanya Alex dengan tenang.

“Saya butuh 10 juta, Mas,” Edi mulai angkat bicara.

“Kamu punya surat jaminan apa?”

“Maaf, saya tak punya apa-apa. Saya berjanji akan membayarnya,” ujar Edi.

“Baiklah, aku akan mengajukan satu syarat. Tapi nanti dulu. Aku mau masuk ke dalam sebentar.” Alex meninggalkan Edi dan Iwan yang masih terus bertanya-tanya apakah pinjaman 10 juta itu diloloskan ataukah tidak.

Sementara Alex mengorek informasi perihal kepribadian Edi dari temannya yang kebetulan pernah satu kelas dengan Edi. Dari situ dia tahu bahwa Edi adalah salah satu penerima beasiswa S1 dari Depdiknas yang tiap bulannya mendapatkan living cost. Kualitas intelektualnya tak diragukan lagi. Tiap dosen yang mengajar rata-rata menguji kecerdasannya. IP tiap semesternya selalu cemerlang.

Dari informasi singkat itu muncul ide di pikiran Alex. Ia menginginkan Edi membuat karya tulis ilmiah yang nantinya akan diikutkan dalam lomba nasional yang diselenggarakan Departemen Perhubungan. KTI itu diatasnamakan Alex, bukan Edi.

Setelah mendengarkan persyaratan Alex, Edi berpikir sejenak. Ia menimbang antara menolak dan menerima persyaratan itu. Jika menolak, maka nyawa ibunya yang menjadi taruhan. Tapi jika menerima, berarti ia telah melakukan kebohongan ilmiah dan dialah pihak yang dirugikan. Apalagi bila ternyata KTI yang disusunnya menang. Akan timbul penyesalan luar biasa dalam dirinya. Edi sedang dalam dilema.

Edi bingung harus memilih yang mana. Iwan yang berada di sampingnya juga merasakan hal yang sama. Ia tak habis pikir kalau syarat yang diajukan Alex seperti itu. Menit demi menit berlalu. Akhirnya Edi memutuskan untuk menerima syarat itu.

“Oke Edi, nanti siang akan kuambilkan uang di bank. Sebentar lagi aku mau kuliah. Jadi uangnya kuserahkan nanti siang saja,” terang Alex.

Siang itu Edi menerima uang dari Alex. Tenggang waktu pembayarannya satu tahun. Selain itu Edi harus menyusun KTI tentang lingkungan hidup dan membubuhi nama Alex di atasnya. Demi wanita yang melahirkannya, ia rela lakukan apa saja, meski memberatkan dirinya. Pada hari itu juga dikirimkannya uang itu ke rekening Nina.
***

Dua bulan telah berlalu. Edi sudah dua kali mencicil utangnya kepada Alex. Karya tulis ilmiah yang dijanjikan juga sudah dikirim sebulan silam. Ibunya di kampung perlahan mulai membaik. Tak ada lagi penyakit yang mengancam kesehatannya. Kini tinggal tahap penyembuhan. Namun gurat kesedihan mewarnai hari-hari Edi. Kesedihan yang menimbulkan rasa ngilu di dada. Bahkan ia sempat menitikkan air mata karena menyesal telah meminjam uang dari Alex yang ternyata hanya dimanfaatkan saja.

“Edi, utangmu tempo lalu sudah kuanggap lunas. Kau tak usah membayarnya,” kata Alex via telepon di sore yang cerah. Mendengarnya, ia langsung bertanya-tanya.

Tanpa diminta, Alex langsung melanjutkan ceritanya, “Aku sangat berterima kasih kepadamu. Berkat KTI yang kau buat itu, aku dinyatakan jadi pemenang. Ya, aku memenangkan lomba nasional yang diadakan Departemen Perhubungan. Kemarin aku ditelepon panitia. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku, utangmu telah kubebaskan..”

Bak mendengar halilintar di siang bolong, Edi seketika kaget. Usai menerima telepon itu tubuhnya lemas tak berdaya. Hatinya merintih sedih. Penyesalan meluap-luap di dadanya. Ia menyesal karena telah merelakan karya tulisnya diakui orang lain.

Karya tulis yang ternyata menjadi yang terbaik dalam ajang bertaraf nasional itu, beridentitaskan Alex Yudis, bukan Edi Mahmud. Andai ia menolak syarat Alex kala itu, barangkali sekarang dirinyalah yang akan diundang dalam penyerahan hadiah di Jakarta itu. Andai ia tak mengenal Alex, mungkin ia tak akan menyesal seperti saat ini.

Kini penyesalan mewarnai hari-harinya. Ingin sekali melaporkan kasus plagiasi itu ke pihak berwajib, tapi ia tak punya cukup bukti. Selain itu ia belum siap jika harus mengembalikan seluruh uang Alex. Dengan gemuruh penyesalan, Edi merelakan Alex menjadi pemenangnya. Ia berjanji tak akan mengulangi hal bodoh itu di kemudian hari.

Tidak ada komentar: