Senin, 25 Oktober 2010

Meretas Asa di Tengah Keterbatasan

Oleh: Hibatun Wafiroh
Usiaku kala itu 17 tahun. Seragam putih abu-abu masih menempel di badan. Mungkin dua semester lagi aku tak mengenakannya karena tahun itu menjadi tahun terakhir pengembaraan ilmuku di MA Al Hikmah Kajen, Pati. Di samping menikmati pendidikan formal tingkat SLTA, aku juga nyantri di Pondok Pesantren Roudhotul ‘Ulum di desa yang sama. Perpaduan keduanya membuatku semakin kaya ilmu. Kekayaan ilmu yang menuntutku untuk mengamalkannya secara kontinu dan konsisten.

permulaan memasuki kelas XII inilah cobaan berat menghadangku. Terutama terkait masalah finansial. Bapak yang hanya seorang guru swasta, gajinya tersendat selama berbulan-bulan. Maklum saat itu belum ada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah sehingga gaji guru bersumber dari SPP belaka. Sementara ibu yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang, mengalami bangkrut. Lemari dan rak yang biasanya penuh dengan barang dagangan, mendadak ludes. Pembeli enggan mampir ke kios. Sumber pencaharian keluarga sedang dilanda kemarau.

Kondisi ekonomi keluarga yang kian terpuruk sangat berdampak padaku. Kiriman uang tak lagi kuterima tepat waktu. Tak jarang lembaran rupiah di dompet hanya menyisakan nominal sepuluh ribu rupiah. Andai aku tinggal di kos, mungkin aku akan kelaparan karena tak bisa makan. Beruntung pesantren memberi toleransi kepada santrinya yang belum bisa membayar uang makan hingga beberapa bulan. Paling tidak untuk urusan makan aku tak memusingkannya. Namun kebutuhan mendadak lainnya kadang membuatku kalang kabut.

Melihat keadaan orang tua yang memprihatinkan, muncul keinginan untuk membantu. Bekerja sebagai tukang cuci piring di warung bakso dekat madrasah menjadi pilihan pertamaku. Akan tetapi mereka tak mengizinkan. Aku tak diperkenankan memikirkan apapun selain sekolah.

Sebagai anak kedua yang sudah bisa merasakan beban hidup orang tua, aku tak tinggal diam. Aku punya alternatif lain. Yaitu menjadi abdi pengasuh atau di pesantren dikenal dengan istilah cah ndalem. Dengan menyandang status cah ndalem, beban pembiayaan pesantren sedikit terkurangi sebab pengasuh telah membebaskannya. Lagi-lagi bapak dan ibu tak rela. Mereka tak ingin aktivitas belajarku terbengkalai.

Hidup di luar kota dengan keterbatasan ekonomi sangat menyesakkan. Ketika aku sedih karena tak punya uang, aku segera mengingat tujuan utamaku berhijrah ke Kajen, yaitu untuk mencari pengetahuan. Sementara seorang penuntut ilmu hendaknya berlaku sederhana dan tidak mengejar harta sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab-kitab warisan ulama terdahulu.

Ya, aku tak boleh menjadikan kekurangan materi sebagai alasan pembenar untuk tidak serius belajar. Justru aku harus menghargai kerja keras orang tua dan tak boleh mengkhianati kepercayaan mereka. Aku harus bangkit dari keterpurukan dan kesedihan ini, tekadku.
***
Sebagai siswi yang sebentar lagi menamatkan bangku SLTA, tentu tebersit hasrat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan S1. Akan tetapi keinginanku itu pasang surut. Seolah aku tak yakin bakal bisa kuliah setelah menyadari realita bahwa orang tua tak berlimpah harta.

Setelah mempertimbangkan masak-masak, aku pun mengungkapkan keinginan tersebut kepada bapak dan ibu. Mereka menyambut gembira dan mendukungku sepenuh hati. Tetapi aku harus menggigit bibir. Bapak berterus terang bahwa mungkin ia tak sanggup menguliahkanku atau kalau pun sanggup, kampus dengan biaya murahlah yang dipilihnya. Kucoba meneguhkan hati. Di kampus manapun aku menginjakkan kaki, yang terpenting aku serius. Toh, ilmu yang bermanfaat tak hanya diperoleh di kampus tenar berkualitas tinggi.

Pada pertengahan Januari 2007 Pak Syamu’in, Kepala MA Al Hikmah, memanggilku beserta kawan-kawan lainnya ke kantor. Lalu perlahan Pak Syamu’in membuka amplop ukuran besar yang berisi surat edaran dari Departemen Agama RI perihal beasiswa.

Dari surat edaran berjumlah puluhan halaman itu, diketahui bahwa Depag sedang menjalin kerja sama dengan sembilan perguruan tinggi negeri di Jawa dalam Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). Depag tidak hanya menanggung biaya perkuliahan selama empat tahun, tapi juga living cost tiap bulannya. Sontak mataku berbinar. Hatiku berbunga-bunga. Putus asa yang sempat menggejala di hati seketika musnah. Semangat yang sempat redup, benderang kembali. Harapan yang sempat tenggelam, mengemuka kembali.

Esoknya kuhubungi rumah, memberitahukan kabar beasiswa tersebut. Dengan bahagia, mereka mensupportku dan berdoa demi keberhasilanku. Restu orang tua telah kukantongi. Moga restu ini membawa kesuksesan, lirihku dalam hati. Aku yakin dengan sabda Nabi, “Kerelaan Allah tergantung pada kerelaan orang tua.”
*** 
Waktu pendaftaran PBSB tinggal beberapa hari saja. Dalam waktu sesingkat itu, segala berkas yang meliputi legalisir rapor, formulir pendaftaran (data pribadi, data keluarga, data pesantren, data sekolah, pilihan studi), surat kesehatan dan lainnya, harus sudah beres. Aku harus bekerja cepat. Jika tidak, maka kesempatan emas itu akan melayang.

Selain aku, ada satu teman lagi yang turut menaruh harapan dalam PBSB, yaitu Ana Roifah. Hampir tiap hari kami di madrasah hingga jam 5 sore. Padahal siangnya kami harus les 3 mata pelajaran yang akan diujikan dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Kami sibuk mengisi formulir yang semuanya membutuhkan kejelian dan ketelitian agar tidak terjadi kesalahan.

Di tengah persiapan kelengkapan administrasi itu, rasa putus asa menderaku. Lagi-lagi karena masalah finansial. Aku pusing memikirkan biaya UAN dan wisuda yang mencapai nominal 1 juta. Sementara bapak tak kunjung datang sebab di rumah sendiri sedang dilanda krisis. Di sisi lain, aku butuh uang banyak untuk melengkapi syarat administrasi PBSB.

Beberapa saat lamanya aku merenung. Ragu antara maju dan mundur. Akhirnya kuputuskan untuk tetap maju. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menjadi pilihanku karena aku menyukai genre ilmu agama. Dengan bermodalkan semangat kulanjutkan proses penyeleksian itu. Mengenai kekurangan dana kututupi dengan meminjam ke teman.

Sebelum menyandang predikat peserta PBSB ada dua tahap yang harus dilalui. Pertama, tahap penyeleksian kelengkapan administrasi. Pada tahap ini nilai rapor dan prestasi akademik sangat menentukan. Alhamdulillah aku dinyatakan lolos pada tahap pertama ini dan berhak meneruskan ke tahap selanjutnya, yakni tes tertulis di Kantor Wilayah (Kanwil) Depag Jawa Tengah. Sementara Ana Roifah gagal. Dia tereliminasi. Allah berkehendak lain.

Ada kesedihan yang menyusup dalam batin. Sedih karena aku tak tahu siapa nanti yang akan mendampingiku tes. Apabila aku meminta tolong kepada guru, tentu memerlukan banyak dana. Setidaknya transpor ke Semarang harus kutanggung. Sedangkan untuk kebutuhan primer saja belum kupenuhi semuanya. Sekali lagi keterbatasan ekonomi menjadi penghambat. Hampir saja aku memutuskan mundur mengingat rupiah sedang tak berpihak padaku.

Di tengah-tengah kebimbanganku, tepat sehari sebelum pelaksanaan tes, tanpa kuduga bapak berkunjung ke pesantren. Kebahagiaan seketika menyelimuti hatiku. Aku terharu biru. Ternyata bapak sudah berencana mengantarku ke Semarang. Dan sore itu juga aku hengkang dari Pati menuju rumah, Demak. Lantas langsung bertolak ke Semarang usai meminta restu kepada ibu dan sanak saudara. Nantinya kami akan menginap di kos kakakku, Mbak Fatimah.
***
22 Februari 2007, pergulatan seru dimulai sejak pagi hingga sore. Pergulatan yang akan menentukan laik tidaknya aku menjadi peserta PBSB. Pergulatan yang dibuktikan dengan berbendel-bendel soal sejumlah hampir 500 nomor, meliputi tes bakat skolastik, kemampuan akademik, bahasa Inggris, kepesantrenan dan bahasa Arab. Semuanya dikerjakan di atas lembar jawaban bersistem komputer. Aku harus hati-hati dalam mengarsirnya agar tidak ada kesalahan.

Itu merupakan pengalaman pertamaku sepanjang hidup. Mengerjakan soal sebanyak itu dalam waktu yang relatif singkat. Mataku merah, pundakku letih, tanganku capai, kakiku tegang, leherku nyeri, tenggorokanku kering. Tubuhku hampir limbung karena menahan nyeri yang luar biasa. Kelelahan tak kunjung reda hingga berhari-hari.

Di saat aku serius memelototi soal-soal yang disajikan panitia, bapak tak henti-hentinya mendoakanku di masjid dekat gedung Kanwil. Kitab Dala’il al-Khairat yang berisi himpunan doa dibawanya pula. Kitab itu merupakan wirid yang dibacanya secara konsisten tiap hari. Dengan wirid itu jua ia bermunajat kepada Allah agar aku lulus.

Apa yang dilakukan bapak membuatku terharu. Dia mendoakanku tanpa kenal istirahat. Dia menguatkanku manakala keminderan merayap dalam jiwaku. Dia meyakinkan bahwa setiap usaha pasti akan membuahkan hasil. Dia tak pernah bosan menyemangatiku meski kuakui bahwa aku tak percaya diri bersanding dengan santri-santri hebat yang turut serta dalam tes tersebut.
***
Hari telah berganti minggu. Bilangan minggu membentuk satu bulan penuh. Dua bulan telah berlalu. Pengumuman PBSB belum sampai di telingaku. Aku pasrah jika dinyatakan gagal.

Tepat tanggal 29 April, sepuluh hari pasca UAN, Pak Syamu’in memberitahukan kabar gembira yang tak mampu kurespons dengan apapun selain hamdalah. Yaitu kabar kelulusanku. Ya, aku dinyatakan lulus tes seleksi PBSB. Aku bisa kuliah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Cita-citaku tak jadi menggantung di langit pikiranku. Cita-cita untuk kuliah akan jadi nyata. Aku akan menikmati pendidikan S1dengan mendapatkan beasiswa penuh dari Depag RI. Living cost akan kuterima tiap bulan sebagai penunjang hidupku di Surabaya.

Air lembut nan dingin membasahi pipiku. Mata dan hatiku menangis terharu. Demikian juga dengan orang tua yang langsung kukabarkan via telepon. Mereka bersyukur dan bahagia.

Berkat pertolongan Allah aku memperoleh beasiswa paling spektakuler di lingkungan Depag RI. Sekaligus aku merupakan santri pertama di Kajen yang berhasil berkompetisi dalam persaingan merebutkan beasiswa itu. Ini juga berkat doa yang disenandungkan oleh bapak dan ibu setiap saat. Anugerah agung-Nya ini tak mampu terbalaskan walau ribuan hamdalah membanjiri bibirku. Tak ada alasan bagiku untuk tidak bersyukur.

Nikmat Allah yang lain semakin menyempurnakan kebahagiaanku. Tepat saat wisuda, aku dipanggil sebagai lulusan terbaik angkatan 2007 dan siswa teladan di MA Al Hikmah periode 2007. Bapak yang menghadiri acara istimewa itu, diminta maju ke atas panggung untuk menyaksikan putri keduanya ini memperoleh penghargaan dari lembaga pendidikan yang selama tiga tahun telah berkontribusi besar dalam hidupku. Aku tak mampu berucap apa-apa. Aku benar-benar yakin bahwa dengan keterbatasan ekonomi pun seseorang bisa meretas asa asalkan mau berjuang tanpa kenal lelah. Tentu harus diimbangi dengan doa.

Tidak ada komentar: