Senin, 25 Oktober 2010

Perjuangan dan Intelektualitas KH. Sahal Mahfudh


By: Hibatun Wafiroh

Pengembaraan Intelektual

Figur kharismatik yang amat dicintai umat ini bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudh bin Abdus Salam al-Hajaini. Beliau lahir dari pasangan KH. Mahfudh dan Hj. Badi’ah di desa Kajen, kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Beliau hidup dalam kondisi keluarga yang pas-pasan.

Sejak usia dini Kiai Sahal tumbuh di lingkungan pesantren, tepatnya di Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra) yang didirikan oleh ayah beliau, KH. Mahfudh Salam, pada tahun 1912. PMH Putra merupakan pesantren keempat yang tegak berdiri di Kajen setelah Pondok Pesantren Raudhatul ‘Ulum (akhir abad ke-19), Pondok Kulon Banon/Taman Pendidikan Islam Indonesia (1900), Pondok Wetan Banon/Salafiyah (1992) dan Pesantren Mathali’ul Huda Polgarut Selatan (1910).

Hingga kini di Kajen telah berdiri sekitar 40 pesantren dengan jumlah santri kurang lebih 8000 orang. Adapun madrasah yang menjadi sandaran para santri dalam menuntut ilmu ada tiga, yaitu Mathali’ul Falah, al-Hikmah dan Salafiyah. Jadi meski tergolong desa kecil, aktivitas pendidikan dan keberagamaan di Kajen tidak diragukan lagi. Tiap hari para santri hilir mudik menyandang al-Qur’an, kitab dan buku dengan tujuan mencari pengetahuan dari pakarnya. Nuansa religiusnya begitu kental sehingga Kajen diberi predikat Kota Santri. Predikat ini tidak berlebihan karena memang Kajen dipenuhi oleh santri yang berdatangan dari berbagai daerah.

Pengembaraan ilmu Kiai Sahal dimulai di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen yang kala itu dipimpin oleh bapaknya sendiri, pada tahun 1943 sampai 1953. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan dipelajarinya dari guru yang berkompeten di bidangnya. Kedua orang tuanya juga aktif mendidiknya dengan penuh kasih sayang.

Selepas dari PIM beliau melanjutkan perjalanan intelektualnya di Pesantren Bendo Kediri yang berada di bawah asuhan Kiai Muhajir (1954-1957). Di sela-sela aktivitas belajarnya di Bendo, Kiai Sahal kerap mengikuti kursus di Pare sehingga kepandaiannya tidak hanya bertumpu pada ilmu agama, tapi juga ilmu administrasi, politik dan lainnya. Sela empat tahun kemudian, beliau berlabuh di Pondok Pesantren Sarang, Rembang, yang diasuh oleh KH Zubair. Kitab-kitab yang pernah ditelaahnya di pesantren ini antara lain: Jam’u al-Jawami, ujud al-Juman, Tafsir al-Baidhawi, Lubbab al-Nuqul dan lain-lain.

Sewaktu di pesantren Kiai Sahal terkenal sangat cerdas, ulet, disiplin, santun, suka berdiskusi dan rajin. Beliau gemar membaca dan muthala’ah (belajar sendiri) hingga berjam-jam lamanya. Tiada waktu yang dilalui tanpa guna. Waktu senggangnya dimanfaatkan untuk membaca. Pernah suatu hari beliau berhasil mengkhatamkan kitab Minhaj yang jumlahnya 11 juz, hasil dari meminjam teman beliau. Konsisten beliau dalam belajar ini menjadikan beliau tumbuh sebagai sosok yang dalam pengetahuannya dan luas wawasannya.

Pada tahun 1960 Kiai Sahal kembali ke kampung halaman untuk mengajar dan mendidik santrinya di PMH Putra. Beberapa tahun berikutnya, beliau menunaikan haji ke Baitullah Makkah al-Mukarramah sekaligus berguru kepada Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani selama tiga bulan. Perkenalan dengan Syekh Yasin dimulai dari kegemaran Kiai Sahal mengirim surat (korespondensi) berisi kemusykilan tentang topik tertentu kepada ulama kenamaan Makkah tersebut.

Pada tahun 1968/1969 Kiai Sahal menyempurnakan separuh agamanya dengan menikahi Nafisah binti KH. Abdul Fatah Hasyim, pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang. Hingga sekarang ini beliau mengasuh pesantren peninggalan ayahnya, yaitu Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara Kajen, Pati.

Produktivitas Menulis

Kiai Sahal termasuk ulama yang produktif menuangkan ide dan gagasannya ke dalam bentuk tulisan. Nampaknya jargon scripta manent verba valent (apa yang tertulis akan abadi selalu dan apa yang terucap akan berlalu diterpa angin), tertanam kuat dalam dirinya. “Ikatlah ilmu dengan tulisan,” perkataan Ali bin Abi Thalib ini benar-benar direalisasikannya. Tradisi menulis ini tidak terlepas dari kegemaran membacanya sejak kecil. Hasil bacaannya terhadap kitab dan buku dari berbagai disiplin ilmu, membuat pisau analisisnya makin tajam.

Beberapa karya tulis Kiai Sahal yang berhasil dipublikasikan kepada khalayak ramai, antara lain:

1. Thariqah al-Husul ila Ghayah al-Wushul.
2. Al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alafazh al-Luma’.
3. Al-Tsamarat al-Hajainiyah.
4. Al-Faraid al-Ajibah.
5. Faidh al-Hija.
6. Intifah al-Wadajaian fi Munazharai Ulama Hajain.
7. Luma’ah al-Himmah ila Musalsalat al-Muhimmah.
8. Nuansa Fiqh Sosial.
9. Wajah Baru Fiqh Pesantren.
10. Telaah Fiqh Sosial, Dialog dengan KH M.A. Sahal Mahfudh.
11. Ensiklopedi Ijma’, terjemahan bersama KH A. Mustofa Bisri.
12. Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat.
13. Pesantren Mencari Makna.

Buah pikiran Kiai Sahal selain terhimpun dalam formulasi buku, tulisannya juga kerap bertebaran di media massa, seperti: Suara Merdeka, Jawa Pos, majalah Aula dan lainnya.

Karier Organisasi

Kiai Sahal mengawali karier organisasinya dari bawah. Beliau pernah menjadi Ketua P3M (Persatuan Pengurus Pesantren Margoyoso). Beliau bukan tipe orang yang gila pangkat dan kedudukan. Bila mendapat amanah memimpin organisasi, beliau akan menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. Beliau selalu mengedepankan prinsip demokrasi. Watak diktator dan one man show dihindarinya. Beliau sekalipun tak pernah menetapkan suatu keputusan atas nama ketua. Jabatan-jabatan yang pernah diembankan kepada beliau, antara lain sebagai berikut:

1. Ketua Koordinator Ma’arif NU kecamatan Margoyoso.
2. Wakil Ketua Ma’arif Cabang.
3. Katib Syuriyah NU Cabang Pati.
4. Wakil Syuriyah NU Cabang Pati.
5. Wakil Ketua RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) Pati.
6. Rais Syuriyah PWNU.
7. Wakil Pelaksana Rais ‘Am NU.
8. Ketua MUI Pati (1980-an).
9. Ketua MUI Tingkat 1 Jawa Tengah selama dua periode, yaitu 1990-1995 dan 1995-2000.
10. Ketua MUI Pusat selama dua periode, yaitu 2000-2005 dan 2005-2010.
11. Rais ‘Am PBNU selama tiga periode, yaitu 1999-2004, 2004-2009 dan 2010-2015.

Terpilihnya Kiai Sahal sebagai Ketua MUI Tingkat 1 Jawa Tengah, MUI Pusat dan Rais ‘Am PBNU selama beberapa periode ini membuktikan bahwa ulama asal Pati tersebut memang kapabel dalam memimpin. Teknik kepemimpinannya telah terbukti sehingga berulang kali jabatan tersebut dimandatkan kepada beliau.

Karier Akademis

Karier Kiai Sahal di bidang akademik juga amat cemerlang, di antaranya:

1. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati sejak 1963.
2. Guru di Pesantren Sarang (1958-1961).
3. Dosen pada mata kuliah Tahassus Fiqh di Kajen (1966-1970).
4. Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK Pati (1974-19).
5. Dosen di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985).
6. Rektor Institut Islam Nahdhatul Ulama’ (INISNU) sejak 1989 hingga sekarang.

Kiai Sahal tidak hanya berkecimpung di dunia pendidikan tanah air saja, beliau pernah beberapa kali berkunjung ke luar negeri dalam rangka studi komparatif, seperti Jepang, Sri Lanka, Malaysia, Arab Saudi, Mesir, Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Beijing. Di ranah Ekonomi beliau dipercaya sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Bank Muamalat Indonesia, Bank Asing di Jakarta, HSBC dan di Asuransi Syariah Pusat Bumi Putera di Jakarta. Benar-benar sosok kiai yang menuai manfaat di banyak tempat.

Penggagas Fiqh Sosial

Telah diuraikan di muka bahwa Kiai Sahal lahir, tumbuh, hidup, belajar dan mengabdi di lingkungan pesantren. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan dikuasainya berkat ketekunannya dalam thalab al-ilm (mencari ilmu). Kapasitas keilmuannya tidak diragukan. Kitab-kitab kuning warisan ulama terdahulu (al-turats al-islami/al-kutub al-shafra’), baik yang berskala kecil maupun yang berjilid-jilid, mampu beliau pahami dengan baik. Tiap kali mentransfer pengetahuan kepada santri-santrinya melalui kajian kitab kuning, beliau menerangkannya dengan gamblang sehingga terlihatlah kedalaman ilmu beliau. Pun tatkala diundang dalam forum ilmiah lingkup perguruan tinggi.

Kiai Sahal yang kini berusia 72 tahun ini telah berkontribusi besar terhadap masyarakat luas. Berdirinya BPR Arta Huda Abadi pada tahun 1997 adalah satu wujud kepedulian beliau kepada masyarakat. Terangkatnya kondisi ekonomi sebagai dampak positif dari berdirinya BPR Arta Huda Abadi ini, telah dirasakan oleh masyarakat Kajen dan sekitarnya. Lambat laun angka kemiskinan mulai bisa ditekan. Padahal sebelumnya penduduk Kajen berprofesi sebagai pengrajin kerupuk tayammum dengan penghasilan yang minim. Oleh karenanya, beliau menawarkan konsep bank Syariah melalui BPR ini.

Sedikit gambaran di atas adalah produk nyata pemikiran Kiai Sahal Mahfudh. Di samping juga pencapaian-pencapaian lainnya yang sangat besar manfaatnya bagi kelangsungan hidup umat Islam. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Kiai Sahal sangat mumpuni di bidang ilmu agama dengan spesialisasi ilmu Fiqh. Oleh Kiai Sahal, Fiqh tidak hanya dijadikan sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Tetapi beliau selalu melakukan penyegaran atas buah pikir Fuqaha’ dengan terus mengusung term aktualisasi dan kontekstualisasi Fiqh yang populer dengan konsep Fiqh Sosial. Karena pemikirannya yang cemerlang, beliau mendapatkan anugerah gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Juni 2003.

Bagi Kiai Sahal, Fiqh bukanlah konsep dogmatis-normatif, tapi aktif-progresif. Sehingga Fiqh senantiasa berkembang dari waktu ke waktu seiring perkembangan masa. Fiqh tidak kaku dan stagnan. Problem aktual umat bisa diselesaikan dengan pendekatan Fiqh. Tentu apabila para pengembang Fiqh berpikir ke depan dan tanggap terhadap problem kekinian. Sebagaimana diketahui bahwa wahyu dan hadits telah terhenti pasca wafatnya Rasulullah, sementara realitas di masyarakat tak pernah berhenti berkembang. Untuk itu diperlukan solutif dan nampaknya gagasan Fiqh Sosial yang ditawarkan oleh Kiai Sahal dapat diterapkan (applicable).

Paradigma Fiqh Sosial menurut Kiai Sahal, mengacu pada keyakinan bahwa Fiqh dipahami sebagai pemecahan tiga kebutuhan manusia, yaitu dharuriyah (primer), hajiyah (sekunder) dan tahsiniyah (tersier). Fiqh dijadikan paradigma pemaknaan sosial, bukan sekedar mengklaim benar dan salah. Fiqh Sosial memiliki lima ciri pokok, yaitu interpretasi teks-teks Fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermazhab dari qauli (tekstual) ke manhaji (metodologis), verifikasi mendasar mana ajaran pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’), Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan pengenalan metodologi pemikiran filosofis.

Demikian sedikit pemaparan tentang konsep Fiqh Sosial yang patut dijadikan pertimbangan dalam penyelesaian problematika umat. Dengan mengaplikasikan konsep tersebut, diharapkan misi rahmatan li al-‘alami akan bisa terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Kitab-kitab kuning yang kerap dikaji di pesantren tidak hanya menjadi manuskrip sakral, tapi kini telah menemukan relevansinya jika terus diaktualisasikan. Kemaslahatan selalu dikedepankan saat menghadapi berbagai persoalan yang menuntut penyelesaian. Interaksi manusia dengan Sang Khalik dan sesamanya dapat berjalan dengan baik dan seimbang.

MEMETIK KARAKTER KH. SAHAL MAHFUDH

Kesalehan Ritual dan Sosial

Kiai Sahal mampu memadukan dua kesalehan sekaligus, yaitu kesalehan ritual/ individu dan kesalehan sosial. Beliau adalah hamba yang selalu menjaga hak Tuhannya, ikhlas, taat beribadah, tak mengagumi dunia dan sifat mulia lain yang mencerminkan karakter seorang abid. Di samping itu, hak-hak Adami juga tidak diabaikannya. Beliau sangat peduli dan perhatian kepada masyarakat yang diimplementasikan dalam berbagai tindakan konkret. Pribadinya yang santun, dermawan, suka menolong, membuat beliau amat disegani dan dicintai, baik dalam taraf lokal maupun nasional.

Kepribadian Kiai Sahal tersebut, sudah selayaknya kita ikuti. Sebagai manusia yang dibekali dengan akal pikiran dan berjuta kenikmatan lainnya, kita wajib berterima kasih kepada Allah dengan cara berusaha menjadi hamba Allah yang beriman dan taat. Dan juga kita tak boleh melupakan kewajiban kita kepada sesama. Kita seyogianya memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kita harus mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Jangan sampai keberadaan kita menjadi momok bagi orang lain. Sebisa mungkin orang-orang di sekitar kita merasakan kedamaian ketika bersama kita.

Target sebagai Kunci Sukses

Kiai Sahal memiliki kebiasaan mulia yang sangat membantu dalam pencapaian cita-cita, yaitu menargetkan sesuatu dan berusaha mewujudkan target tersebut sebelum waktu yang ditentukan habis. Misalnya, Kiai Sahal menargetkan akan menguasai satu fan ilmu dalam sekian bulan. Maka beliau berupaya semaksimal mungkin agar target itu tercapai. Dan adanya target ini adalah salah satu kunci sukses beliau dalam belajar. Oleh karena itu, beliau betah berlama-lama menekuri kitab-kitab dan buku-buku.

Ambisi, cita-cita atau impian adalah hal penting dalam hidup. Hidup kita akan lebih terarah dan berarti ketika kita punya tujuan/target yang sering diistilahkan dengan cita-cita. Cita-cita inilah yang mendorong kita untuk terus maju dalam menggapainya. Impian itu akan mudah terealisasi bila kita punya target waktu. Jadi manajemen waktu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai waktu menjadi bumerang bagi kita. Kita harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebagaimana Kiai Sahal tak pernah membuang waktu untuk hal-hal negatif dan sia-sia. Dengan adanya target, kita akan fokus pada tujuan kita tersebut.

INSPIRASI DAN MOTIVASI DARI SOSOK KH. SAHAL MAHFUDH

Nama KH. Sahal Mahfudh tidak asing lagi bagi saya. Beberapa tahun silam, tepatnya saat saya menempuh jalur pendidikan SLTA di MA al-Hikmah dan nyantri di Pesantren Raudhatul ‘Ulum Kajen, nama itu sudah akrab di telinga saya. Meskipun saya tidak memiliki rantas transmisi (sanad) keilmuan dengan beliau, saya sangat mengenal beliau, baik melalui buku maupun penuturan teman yang kebetulan belajar di Madrasah Mathali’ul Falah, sebuah lembaga pendidikan di Kajen yang dipimpin oleh beliau.

Rasa kagum saya kepada Kiai Sahal makin bertambah waktu saya telah keluar dari pesantren dan melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Di kampus, konsep Fiqh Sosial yang beliau cetuskan sering didiskusikan oleh mahasiswa. Bahkan suatu ketika saya ditunjuk sebagai pemateri yang bertugas mempresentasikan gagasan Fiqh Sosial dalam forum ilmiah berskala kecil. Mungkin karena latar pendidikan saya yang pernah di Kajen, desa kelahiran sekaligus ladang perjuangan Kiai Sahal. Para peserta sangat antusias mendiskusikannya. Ini tak lepas dari gagasan beliau yang menyegarkan dan layak dikembangkan.
Seusai acara salah satu teman ada yang berceletuk, “Hiba nanti jadi penerusnya Kiai Sahal.” Saya hanya tersenyum kecil seraya mengamininya dalam hati meski saya sadar bahwa kemampuan saya jauh di bawah Kiai Sahal. Dengan keterbatasan ini rasanya sulit menembus predikat penerus dan pengembang Fiqh seperti yang sering dikampanyekan oleh beliau.

Selain itu, saya sering dikaitkan dengan Kiai Sahal tatkala berkenalan dengan dosen di awal perkuliahan. “Santrinya Kiai Sahal?,” pertanyaan yang sering dilontarkan oleh dosen ketika saya berterus terang bahwa saya alumnus pesantren Kajen, Pati. Biasanya saya merespons dengan gelengan kepala dan jawaban tidak. Beliau memang amat populer, sehingga menyebut Kajen saja sudah diklaim sebagai santri beliau. Ya, Kajen sangat identik dengan nama Kiai Sahal. Semangat saya semakin terpompa dengan adanya kejadian ini.
Figur Kiai Sahal menempati ruang tersendiri di hati saya. Mata saya terkadang lembab setelah membaca biografi dan perjuangan beliau yang ada di buku. Walaupun sampai detik ini saya belum pernah berjumpa langsung dengan beliau, tapi beliau adalah sosok inspiratif yang kerap memotivasi saya. Sangat banyak pelajaran berharga yang saya ambil dari pribadi beliau. Tentang keikhlasan, keseriusan dalam menuntut ilmu, produktivitas dalam menulis, ketekunan, kepekaan sosial, target, disiplin dan lainnya.

Ada satu yang teristimewa dari sekian banyak hal tersebut, yaitu tentang tradisi tulis menulis. Kiai Sahal telah meneguhkan eksistensi beliau melalui karya tulis yang ditorehkannya. Beliau adalah penulis produktif yang telah melahirkan banyak karya. Melalui tulisannya, beliau telah berkontribusi besar dalam lapangan intelektual umat. Dan saya sangat menginginkan menjadi manusia yang aktif menulis seperti beliau.
Sebagai manusia yang serba pas-pasan, saya telah membangun impian dalam hidup, yaitu menjadi penulis. Ikatlah ilmu dengan tulisan. Demikian motto hidup saya. Suatu saat nanti saya ingin mempersembahkan kepada khalayak ramai sebuah karya yang diharapkan mampu menyentuh hati dan mendorong mereka untuk berbuat baik. Kehadiran figur Kiai Sahal semakin menumbuhkan semangat saya untuk terus bergeliat di dunia penulisan. Saya ingin memberikan manfaat kepada masyarakat melalui tulisan seperti yang dilakukan oleh beliau walau dengan genre dan bobot tulisan yang berbeda.

Referensi:

Asmani, Jamal Ma’mur. 2007. Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya: Khalista.
Mahfudh, Sahal. 2007. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS.

5 komentar:

Al_Munajah mengatakan...

Sahabatq berbagilah ilmu....

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Sama2, sahabatku. Berbagilah ilmu juga padaku. Terima kasih sudah berkenan membaca. Salam kenal... :)

jawaholik mengatakan...

Mantap..............

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Terima kasih....

muhammad khoirun na'im mengatakan...

lha koq sitek,,