Senin, 25 Oktober 2010

Spiritualitas Dalam Penulisan

Tidak terhitung berapa kali kedua kaki saya menginjak lantai perpustakaan. Meskipun saya tidak tergolong maniak perpustakaan, setidaknya tempat itu menjadi salah satu alternatif saat saya membutuhkan informasi-informasi penting, baik yang diabadikan dalam buku maupun yang dimuat di media cetak. Oke, tulisan ini bukan untuk mengisahkan bagaimana dan berapa kali dalam seminggu saya bertandang ke tempat bermuaranya bahan bacaan tersebut.
Ada kekaguman yang membuncah dalam diri saya ketika melihat sederet buku yang tersusun rapi di rak-rak –walau sering kali buku-buku itu acak-acakan akibat ulah member perpustakaan yang asal mencomot buku. Rasa kagum saya tujukan pada para penulis buku tersebut. Terutama ulama dengan seabrek karya yang masih bisa dinikmati hingga detik ini. Sebut saja para imam madzhab yang terkenal seantero jagat, Wahbah Zuhaili yang beberapa bulan silam berkunjung ke Indonesia, Ibnu Hazm al-Andalusi yang konon telah “mengarang” sekitar 400 buku dan lainnya. Berjilid-jilid buku lahir dari tangan mereka. Sungguh saya terkagum dengan apa yang mereka hasilkan meski saya tidak bisa dikatakan pandai dalam memahami literatur berbahasa Arab. Saya hanya pengagum, bukan konsumen setia karya mereka. Hebat nian mereka, gumam batin saya.

Muncul banyak pertanyaan dalam benak saya terkait hal ini. Kapan mereka menulis? Sementara lazim diketahui bahwa mereka selalu disibukkan dengan persoalan umat. Setiap hari berapa jam waktu yang mereka luangkan sehingga karya yang mereka torehkan mencapai ratusan bahkan ribuan halaman? Karya mereka tentu orisinal, bukan hasil plagiat atau copy paste seperti yang marak terjadi belakangan ini. Sebelum beranjak ke pertanyaan berikutnya, saya ingin berbagi cerita.

Di salah satu kampus di Jawa Tengah predikat plagiator telah menjangkiti sebagian mahasiswa. Bukan hal tabu lagi ketika diketahui bahwa Si A, misalnya, memesan skripsi kepada seseorang. Ia menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dengan cara yang instan. Tinggal memasok rupiah, lalu dalam tempo sekian minggu atau bulan “skripsi pesanan” telah siap dikonsumsi. Skripsi itu biasanya disusun dari meng-copy paste skripsi yang sudah ada sebelumnya. Saya yakin, fenomena ini tidak hanya ditemukan di kampus tersebut, tetapi tak jarang dilakukan oleh mahasiswa kampus-kampus lain. Ironis, budaya plagiat ditumbuhkembangkan padahal itu merupakan suatu pelanggaran. Semoga kita terlindungi dari serangan virus plagiat. Semoga masih ada banyak orang yang sadar bahwa karya sendiri betapapun jeleknya tetap lebih baik daripada hasil plagiat.
Baik, kembali ke topik awal.....

Pertanyaan lain pun kerap melintas di pikiran saya. Dengan apakah ulama masa lampau menulis dan menyebarkan karyanya? Kita tahu, zaman dulu belum ada alat tulis secanggih komputer, notebook atau netbook seperti sekarang. Mesin cetak juga belum ditemukan. Segalanya serba terbatas dan manual. Toh begitu, karya mereka bisa dibaca dan ditelaah oleh lintas generasi. Mereka seolah hadir dan hidup di tengah kita melalui karya mereka. Hebat, bukan?

Pertanyaan refleksi yang teramat penting yaitu siapakah yang akan mewarisi spirit ulama tersebut? Terus melenggokkan penanya –jika ia menulis dengan pena– atau menggerakkan tangannya di atas tuts keyboard –jika yang ia akrabi adalah komputer atau laptop–, tanpa kenal letih demi menyebarkan ilmu. Semoga orang itu adalah kita. Semoga kita termasuk orang yang keranjingan membaca dan menulis. Let’s write! Keep writing!

Apa kita mampu menyamai mereka dalam hal kualitas tulisan? Tentu tidak mudah untuk memberikan jawaban YA. Terus terang, saya sendiri belum mampu. Pengetahuan saya masih sangat rendah dan dangkal. Jauh berada di bawah level mereka. Lha untuk memahami teks Arab saja masih tertatih-tatih. Menulis dengan menggunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia, pun kerap kali diterjang badai kesulitan. Apa nama kita kelak bakal dikenal oleh generasi sesudah kita? Juga sulit memberikan jawaban YA.

Apa kita ingin mendulang manfaat kepada masyarakat luas? Untuk pertanyaan yang satu ini, dengan lantang saya katakan YA. Siapa manusia di muka bumi ini yang menolak diberi gelar anfa’uhum linnas? Siapa yang tidak ingin menjadi seperti lebah yang selalu menawarkan kesembuhan melalui madunya? Siapa yang menginginkan hidupnya tak beda jauh dengan comberan yang mendatangkan bau tak sedap dan selalu dijauhi orang?

Ada banyak cara untuk menyabet predikat anfa’uhum linnas. Salah satunya dengan menulis. Ah, tak ada salahnya saya bagikan oleh-oleh dari acara Halal Bi Halal (HBH) FLP Jawa Timur di Taman Flora Bratang Surabaya kemarin. Barangkali dengan demikian semangat kita dalam menulis nanti kian meroket.

Entah jam berapa acara HBH dimulai, saya tidak tahu pasti karena saya dan ketiga teman saya datang terlambat. Ternyata yang telat tidak hanya kami, anggota FLP dari kota-kota lain, seperti Malang dan Pasuruan, juga datang tidak tepat waktu. Oke, soal keterlambatan tidak usah diperpanjang lagi.

Tak lama setelah hadirin dikondisikan, Bapak Ismail menyampaikan materi bertema Spiritualitas Dalam Menulis. Dari tema itu sudah bisa diraba ke mana arah pembicaraannya. Ya, dalam menulis kita harus punya misi yang mulia. Misi berdakwah dan menyebarkan kebenaran. Misi amar ma’ruf nahi munkar. Bukan asal menulis tanpa tujuan yang jelas.

Masih hangat di benak kita potongan hadits “Innamal a’malu bin niyyat.” Segala perbuatan tergantung pada niatnya. Banyak aktivitas duniawi yang berbuah pahala bila diniatkan untuk hal-hal positif. Begitu pula dengan menulis. Tulisan –apapun bentuknya– dapat kita jadikan sebagai media berdakwah dan menyebarkan ilmu. Bahkan da’wah bil qalam lebih efektif dan bertahan lama ketimbang da’wah bilkalam. Apakah kita mengingkari bahwa gaung perjuangan ulama tempo dulu masih terdengar sampai sekarang lantaran karya-karya tulis mereka. Malaikat maut memang telah menjemput mereka menghadap Sang Khaliq ratusan tahun silam, tapi pahala masih mengucur deras disebabkan karya-karya mereka terus dikaji dan dikembangkan. Ah, saya jadi iri.

Intinya, kita harus memperbaiki niat sebelum terjun bebas di dunia penulisan. Alangkah baiknya jika kita selalu meniupkan ruh keagamaan dan pendidikan ke dalam tulisan sehingga tulisan kita memiliki nilai plus. Spiritualitas dalam penulisan itu sangat penting. Apa-apa yang kita tulis harus berorientasi pada tujuan yang luhur agar karya kita tidak terkesan garing dan kosong dari nilai spiritual. Agar kerja keras kita dalam menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan mendapat imbalan pahala dari Allah swt.

Tidak ada komentar: