Senin, 25 Oktober 2010

Special Gift In Her Birthday


Oleh: Hibatun Wafiroh
Sore itu tepat pada tanggal 30 Agustus aku menuju kampus yang jaraknya dari kosku hanya sekitar dua ratus meter. Aku ke kampus bukan untuk kuliah sebab sore hari tak ada lagi jadwal perkuliahan. Tujuan utamaku adalah online dan browsing. Dengan membawa laptop aku biasa memanfaatkan fasilitas hotspot area.

Tak sampai sepuluh menit kakiku telah menginjak rerumputan di depan gedung rektorat. Segera kunyalakan komputer jinjingku dan kubuka satu persatu situs yang menarik dan tak asing bagiku. Di antaranya adalah Yahoo dan Facebook. Dua situs itu seakan menjadi makanan wajibku tiap kali berselancar di dunia maya. Tentunya karena manfaatnya sangat besar. Banyak hal berharga yang kutemukan di situ.


Perlahan kulihat pemberitahuan baru di akun FB-ku. Mataku langsung terfokus tatkala membaca pesan di FB yang dikirim oleh redaksi Tabloid Nova Digital. Itu mungkin karena aku turut bergabung dalam grup Nova sehingga selalu mendapatkan info terbaru secara otomatis. Media informasi yang cukup familiar di telinga masyarakat Indonesia itu sedang mengadakan lomba testimonial dan cerpen Ramadhan. Sebenarnya pesan tersebut sudah ada di inbox FB-ku sejak awal Agustus. Hanya saja karena beberapa minggu aku berada di rumah dalam rangka menghabiskan liburan kuliah dan tak sempat ke warnet, maka aku baru membacanya di penghujung bulan Agustus.

Saat itu juga ingatanku seketika tertuju pada adik lelakiku, Ni’am. Beberapa minggu sebelumnya remaja yang kini menjalani tahun terakhir di MTs Ribhul Ulum itu, membisikkan sesuatu kepadaku, yaitu tentang rencana surprise di hari ulang tahun ibu.

“Mbak, sudah tahu belum kalau tanggal 5 September nanti ibu kita berulang tahun?,” tanyanya membuka pembicaraan.

“Iyakah? Aku kok belum tahu.” Jawabku jujur. Memang selama ini aku tak mengingat tanggal dan bulan kelahiran ibu. Cuma tahunnya yang kuingat, yakni 1970.

“Mbak, aku punya rencana menarik,” katanya membuatku penasaran.

“Apa itu, Niam?”

“Bagaimana kalau kita menyiapkan kado istimewa untuk ibu? Nanti kita iuran bersama. Terus beli kadonya joinan. Bagaimana menurutmu, Mbak?,” lanjutnya yang kuiringi dengan anggukan kepala sebagai indikasi setuju. Sungguh aku malu padanya. Dia begitu perhatian kepada ibu hingga telah merencanakan sesuatu untuk orang yang melahirkan kami itu.

Sebelum hari kelima dari bulan September menghampiri, aku sudah harus kembali ke Surabaya. Tak ada misi lain selain mengikuti aktivitas perkuliahan di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, kampus yang selama dua tahun ini setia menuangkan pengetahuannya kepadaku melalui dosen-dosen handalnya. Oleh karena itu, aku tak bisa bersama-sama dengan Ni’am memberikan kado spesial di hari spesial ibu. Aku harus mencari dan menyiapkan sendiri bingkisan menarik di Kota Pahlawan yang akan kupersembahkan untuk wanita yang amat berjasa dalam hidupku itu ketika aku pulang lebaran Idul Fitri.

Saat mengetahui info lomba dari Tabloid Nova, yang ada dalam benakku hanya ibu. Ia seakan memenuhi ruang pikiranku. Aku tertarik mengikuti kompetisi cerpen dan berharap menang. Kemenangan yang kuperoleh akan menjadi hadiah untuknya. Tentu bukan hanya sekedar kemenangannya, tapi bingkisan menarik dari Nova itulah yang kubidik. Dalam informasi itu tertera hadiah berupa bingkisan menarik senilai tiga ratus rupiah bagi lima pemenang. Dan itu cocok sebagai kado.

Aku sangat mencintai, mengasihi dan menyayangi perempuan yang selama dua puluh tahun bersedia mendampingiku dalam kondisi suka dan duka. Sejak membuka mata untuk pertama kalinya hingga usiaku memasuki seperlima abad, ibu tak bosan melindungiku. Masih terekam kuat dalam memori ingatanku perihal perjuangan ibu yang membandingi seorang pahlawan. Ialah pahlawan bagi putra-putrinya yang akan dikenang sepanjang masa. Tak akan pernah terlupa meski sesaat hingga ajal menjemput.

Ibu adalah wanita yang dari rahimnya, kelima anaknya dilahirkan. Termasuk di antaranya adalah aku, anak kedua dari lima bersaudara. Dengan air susunya, kami diasupi gizi sehingga kami bisa tumbuh sehat dan bertahan hidup sampai detik ini. Di atas pangkuannya kami menangis, mengadukan segala hal yang bagi kami terasa tak mengenakkan. Mulai dari rasa lapar dan haus yang mendera perut sampai perkelahian dengan teman yang berujung pada cidera kecil di tubuh. Dengan kasih sayangnya kami dibesarkan. Sikap siap dan stand by senantiasa ditunjukkannya manakala kami sedang membutuhkannya. Dialah sosok pejuang sejati.

Wanita yang sejak lahir dinamai Fatmawati oleh kedua orang tuanya, Badri dan Musyaadah yang kini menjadi kakek dan nenek kami itu, sering membuatku menitikkan air mata. Tangisku bukan karena mendapat omelan, kemarahan ataupun kekerasan fisik darinya. Terkadang aku memang dihukum lantaran kenakalanku sendiri. Namun itu bukan yang membuatku terharu. Rasa haru yang bermuara pada tangisan itu disebabkan oleh perjuangan ibu yang luar biasa hebatnya. Dia telah berkorban banyak hal demi keluarganya. Dia mampu memposisikan dirinya sebagai seorang istri dan ibu secara proporsional. Bahkan ia siap mengorbankan waktunya untuk menghidupi kami.

Sebagai seorang istri, ibu selalu bersikap sami’na wa atha’na (mendengarkan dan menaati) segala perintah bapak. Dua puluh empat tahun ia hidup bersama pria yang usianya lebih tua lima belas tahun itu. Kala pernikahan berlangsung, ibu baru berumur lima belas tahun, sementara bapak sudah menginjak kepala tiga. Beda usia yang signifikan tak menghalanginya bertindak sebagai ibu rumah tangga yang baik.

Sebelum mengarungi bahtera rumah tangga, hubungan di antara mereka hanya sebatas guru dan murid. Ya, bapak adalah salah satu orang yang berjasa dalam mentransfer cahaya keilmuan di hati ibu. Lagi-lagi predikat yang bersifat top-down itu seketika sirna sewaktu akad nikah terucap dari bibir bapak. Pria bernama Masykur itu tak pernah mengungkit predikat gurunya. Demikian halnya dengan ibu yang tidak minder barang sedikit pun. Keharmonisan dan kebahagiaan menghiasi hari-hari mereka.

Penghasilan bapak sebagai seorang guru sejujurnya tak mencukupi kebutuhan keluarga yang kian hari kian melambung tinggi. Di luar madrasah dia tak terikat dengan pekerjaan apapun. Bisa dibilang, mengajar itulah satu-satunya sumber penghasilannya. Waktunya banyak tersita di lembaga pendidikan yang telah dimasukinya sejak semasa mudanya, yaitu Madrasah Diniyah Ribhul Ulum, Madrasah Tsanawiyah Ribhul Ulum dan Madrasah Aliyah Ribhul Ulum.

Meski hidup dalam kondisi yang tak berlimpah harta, ibu tetap mensupport suaminya untuk tetap menebarkan ilmu di tiga madrasah yang terletak di desa Kedungmutih, kecamatan Wedung, kabupaten Demak itu. Ia tak memaksa agar bapak menanggalkan status pengajarnya dan beralih ke pekerjaan yang lebih menguntungkan lainnya. Malah dalam rangka menutupi kekurangan finansial, ia turut meningkatkan income keluarga dengan berdagang di pasar baru desa Kedungmutih.

Saat ini berdagang itulah yang menopang perekonomian keluarga. Dan ibu adalah sang pemegang kendali. Ibu telah merintis karier sebagai pedagang semenjak tahun pertama mengarungi bahtera rumah tangga. Dulu modal awal untuk berdagang sangat minim. Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak dan ibu, juga berpenghasilan kecil. Mereka hanya bisa memberikan doa tanpa ada sisipan berupa sejumlah uang. Jadi bisa dikatakan bapak dan ibu memulai dari nol.

Jika ingat bagaimana susahnya berprofesi sebagai penjual pakaian, rasanya hati dan mataku tak mampu menahan tangis. Masih ingat betul diri ini tentang proses pra dan pasca perdagangan. Rasa capai dan lelah pasti melekat padanya tanpa bisa disembunyikan. Aku tahu persis akan hal itu walau sebenarnya aku jarang di rumah. Pendidikanku sejak SLTA yang di luar kota mengharuskanku jarang menginjakkan kaki di kampung halaman. Akan tetapi, mengenai kondisi ibu aku jelas bisa merasakannya.

Tiap pagi sekitar jam setengah delapan ia melangkahkan kaki ke pasar dengan menenteng keranjang berukuran sedang. Sebelumnya terlebih dahulu didirikannya salat Zhuha beberapa rakaat supaya Allah senantiasa memberikan keberkahan dalam setiap langkahnya. Tak pernah ditinggalkannya salat yang berstatus sunnah muakkadah itu kecuali ketika sedang berhalangan. Sesibuk apapun ia selalu menyempatkan bermunajat kepada Sang Khalik meski sejenak. Sebuah tradisi mulia yang patut diacungi jempol.

Keluar dari rumah dengan tujuan mencari rezeki di pasar bukanlah awal perjuangannya. Sebelumnya ia telah sibuk menyiapkan dan menyelesaikan segala hal yang terkait erat dengan aktivitas kerumahtanggaan, seperti memasak, mencuci piring, mencuci baju, merawat si bungsu Fina yang masih dua tahun dan lainnya. Semua pekerjaan itu diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Sementara bapak dan kedua adikku, Niam dan Nafi membantu dalam hal-hal sepele. Aku bisa membayangkan betapa letihnya fisik ibu usai membereskan tugas-tugas itu.

Belum sempat istirahat walau sesaat, ibu langsung menuju tempat kerja yang menuntutnya berinteraksi dengan banyak orang. Dibutuhkan kesabaran, keuletan serta kegigihan agar yang diperolehnya sesuai dengan harapan. Tempat kerja yang tak semua orang bisa melakoninya itu adalah kios dengan ukuran 5x5 meter.
Tatkala di pasar ibu tak tinggal diam yang lantas hanya bisa berpangku tangan dan bersikap pasif. Dengan cekatan ia membuka pintu kios yang terbuat dari kayu dan perlahan mengeluarkan barang dagangan yang jumlahnya tak sedikit. Dagangan itu dikeluarkan setidaknya karena dua tujuan. Pertama, untuk menarik minat pembeli karena umumnya dagangan yang ditaruh di luar lebih cepat lakunya daripada yang dipertahankan di dalam kios. Kedua, supaya kios tak sesak akan barang dan terasa lebih nyaman. Untuk ke sekian kalinya ia sendirian melakukannya. Ia baru mendapat teman sewaktu bapak tak mengajar pagi atau anak-anaknya tengah menikmati liburan.

Sejak pagi hingga azan Dzuhur dikumandangkan ibu masih sibuk melayani pembeli. Kesendirian karena tak memiliki pelayan mengharuskannya berjalan ke sana kemari sekedar mengambilkan barang untuk calon pembeli. Hatiku kerap menangis ketika melihat pembeli yang menawar harga serendah-rendahnya hingga ibu enggan dan lelah melayaninya lagi. Ingin sekali kuteriakkan, “Hai pembeli, kau pergi saja!! Kasihan ibuku.” Namun aku hanya bisa berandai belaka. Aku hanya mampu menancapkan niat dalam sanubari untuk membahagiakan orang tua di saat aku telah mampu bekerja.

Bukan hanya pembeli yang sering kali menguras tenaga ibu, si kecil Fina pun tak henti-hentinya mengganggu ketenangan dan kenyamanan ibu dengan tangisnya yang mengguncang. Fina adalah anak terakhir sehingga kesan manjanya amat kentara. Segala yang diinginkannya sebisa mungkin harus dituruti. Jika tidak, ia akan mengeluarkan jurus pamungkasnya, yakni tangisan.

Tiap hari Fina merepotkan ibu. Ia sering memaksa ibu berkeliling pasar untuk mencarikan makanan yang diingininya tanpa mempertimbangkan waktu. Kadang di saat ramai ia rewel sehingga membuat ibu terpaksa meninggalkan pembeli demi anak terakhirnya itu. Terkadang pula sifat kekanak-kanakan Fina muncul tatkala kondisi pasar sedang tak ramai, menyebabkan ibu berhutang kepada rekan seprofesinya supaya Fina bisa tersenyum. Sungguh melelahkan. Namun rasa kasih sayang ibu mengalahkan keegoisannya. Dengan sabar diasuhnya Fina yang belum mengerti apa-apa. Diturutinya segala keinginan Fina asalkan masih dalam batas kemampuan.

Sebenarnya tak hanya Fina yang suka rewel di pasar, aku dan ketiga saudaraku juga demikian. Masa kecil kami tak berbeda jauh. Ibu sudah membawa kami turut serta ke tempat hilir mudiknya barang dagangan itu di saat usia kami masih belia. Ia tak pernah meninggalkan kami di pelukan orang lain. Merawat kami secara langsung lebih disukainya daripada menitipkan kepada wanita lain. Kebawelan dan kebandelan kami sama sekali tak membuatnya kapok. Ia masih bersedia menjadi pelindung sejati bagi kelima buah hatinya. Sifat keibuannya patut diberi apresiasi yang mendalam.

Jadi ibu berperan ganda sewaktu berada di pasar. Peran sebagai seorang ibu yang harus siap menjaga anaknya dari mara bahaya dan juga seorang pedagang handal dan profesional yang siap melayani tiap ada pembeli menghampiri kiosnya. Dua peran ini mampu dijalani ibu dengan apik.

Rasa capai dan lelah ibu terobati manakala diperolehnya laba yang banyak dari aktivitas perdagangannya. Senyum bahagia langsung mengembang, menghiasi wajah cantiknya saat menghitung lembaran rupiah di kotak penyimpan uangnya. Akan tetapi jika realitanya sebaliknya, ia tetap bersabar. Pernah dalam sehari tak didapatkannya uang sepeser pun. Namun ia masih berpikir positif terhadap rezeki yang dianugerahkan oleh Allah. Sedikit apapun rezeki yang diterimanya, rasa syukur tak lelah diucapkannya.

Perjuangan ibu tak berhenti pada ranah pasar saja. Ketika berada di rumah setelah menjalankan aktivitas perdagangan, anggota tubuh ibu masih terus bergerak untuk menyiapkan menu makan siang, baik dari memasak sendiri atau beli di pasar. Sesudah semuanya beres, ia baru beranjak ke tempat tidur untuk merebahkan badan. Terkadang istirahat ibu terganggu oleh ulah Fina. Si kecil Fina masih mengajukan permintaan kepada ibu di saat ia sedang asyik-asyiknya beristirahat. Sungguh butuh kesabaran luar biasa dalam menghadapi Fina.

Ya, ibu adalah manusia mulia dilihat dari sisi manapun. Sangat sulit bagiku mendeskripsikan pribadinya secara utuh. Ia telah ikhlas melakukan sesuatu yang sesungguhnya bukanlah kewajibannya, yakni bekerja tanpa mengesampingkan tugas utamanya sebagai seorang istri dan ibu. Ia relakan separuh waktunya habis di pasar dalam rangka menghidupi putra-putrinya. Andai saja sifat ananiyah (egois) mendominasi dalam dirinya, tentu kami akan hidup sengsara atau mungkin untuk menikmati pendidikan saja terasa sulit. Bagaimana tidak? Gaji bapak sebagai guru swasta hanya mampu mencukupi kebutuhan dua orang saja. Padahal dalam keluarga ada tujuh anggota. Dan ibulah yang banyak berkontribusi dalam hal ini.

Di samping berkepribadian baik di hadapan keluarga, ibu juga terkenal akan kebaikan hatinya di mata saudara, tetangga dan teman-temannya. Senyum manis selalu diperlihatkan setiap berpapasan dengan orang yang dikenalnya. Kerap ia mendapatkan bingkisan dari orang-orang yang pernah disalurinya kebaikan sebagai pertanda bahwa ia memang berarti bagi mereka. Aku yakin masyarakat di sekitarnya amat menyukainya. Tak ada seorang pun yang menyimpan rasa dendam kepadanya. Perlakuan positif dari banyak orang itu tentu lantaran karakter positifnya.

Misalnya, ketika melayani pembeli, ibu selalu mengiringinya dengan senyum dan ramah. Prinsip halal dan murah tak pernah lepas dari genggamannya. Dalam kondisi dan situasi apapun ia senantiasa mengedepankan dua prinsip tersebut. Ibu bukanlah wanita yang silau akan harta sehingga berhasrat meraup keuntungan banyak dari pembelinya. Baginya untung yang sewajarnya sudah cukup. Itu mungkin salah satu faktor yang menyebabkannya punya tak sedikit pelanggan setia.

Pengorbanan yang dilakukan ibu selama ini mendorongku turut berpartisipasi dalam lomba cerita pendek Ramadhan yang diselenggarakan oleh Tabloid Nova Digital pada awal Ramadhan lalu. Aku ingin menghadiahkannya sebuah tulisan. Tulisan yang nantinya ditukarkan dengan penghargaan menarik setelah melalui proses penjurian. Dan penghargaan itulah yang kupersembahkan untuk ibu tercinta.

Penglihatanku kembali memperhatikan tiap kata yang tertera dalam informasi lomba. Kubaca dengan teliti mengenai kriteria penulisan, e-mail panitia, persyaratan dan batas pengiriman. Spontan aku kaget ketika mengetahui bahwa terakhir naskah diterima oleh panitia pada 31 Agustus. Artinya kesempatan mengikutinya tinggal sehari. Aku harus segera menyusun kalimat hingga terbentuklah cerita menarik tentang Ramadhan. Akankah aku mampu? Ya, aku harus bisa demi wanita yang melahirkanku.

Usai online otakku terus berkelana mencari tema yang tepat. Keinginan untuk membahagiakan ibu melalui media tulisan terpatri kuat dalam pikiran. Sejenak kutanggalkan kesadaranku. Perlahan mulai kususuri ruang imajinasi.

Malamnya aku berusaha menuangkan ide hasil eksplorasiku ke dalam bentuk tulisan. Berharap segera menghasilkan satu cerpen. Namun usahaku itu gagal sebab kondisi tempat tinggalku yang tak kondusif. Banyak teman yang baru kembali ke Surabaya setelah menikmati liburan semester genap di tanah kelahirannya. Itulah yang menyebabkan situasi gaduh. Konsentrasiku pecah dan tak fokus. Ketenanganlah yang kubutuhkan tiap kali jari-jemariku menari indah di atas keyboard laptop.

Meski tak bisa menulis pada malam hari, aku tak kehilangan akal. Di hari terakhir bulan Agustus aku masih memiliki kesempatan untuk berselancar di dunia ide. Dan itu benar-benar kurealisasikan. Setelah melaksanakan salat Shubuh aku langsung membuka program Microsoft Word 2007 yang setia menjadi fasilitas dalam kegiatan kepenulisanku. Fajar menjadi waktu yang tepat bagiku untuk menulis sebab keheningan amat terasa. Aku bisa mengekspresikan segala yang kurasa tanpa ada gangguan.

Dua jam kemudian sebuah cerpen berjudul Berpuasa di Tengah Lautan Sampah berhasil kurampungkan. Syukur tak terkira terungkap dari lubuk hati yang terdalam karena Allah menganugerahiku kemampuan menulis cerita fiksi sehingga aku tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan sebuah cerpen. Tahap selanjutnya yaitu pengiriman naskah. Aku tak mau membuang waktu. Pagi itu juga hotspot area kampus kembali kujajah dengan perangkat laptopku. Kebetulan hari itu tak ada jadwal kuliah.

Prosedur pengiriman yang ditentukan oleh panitia lomba agak rumit. Berbeda dengan ajang perlombaan lainnya yang cukup simpel dengan melampirkan file, lantas mengirimkannya via e-mail. Kali ini beda. Aku harus mendaftar dulu menjadi member cerpen Nova. Meski pendaftarannya tak dipungut biaya, namun untuk melakukannya teramat sulit. Berkali-kali kucoba dan tak berhasil. Hampir satu jam aku memelototi situs Nova dan mengklik langkah-langkah pendaftaran. Hanya kegagalan dan kecewa yang kudapat tanpa kutahu akar permasalahannya. Tapi aku harus tetap optimis demi ibu. Pagi hari memang gagal, toh tak menutup kemungkinan siang atau sore berhasil.

Malamnya kembali kujelajahi situs tabloid nasional itu setelah sorenya aku gagal mengakses. Berharap tulisan yang kubuat dengan sepenuh hati bisa masuk ke tangan panitia. Berharap akan memperoleh kemenangan dan menghadiahkannya untuk sang ibu. Lagi-lagi aku mengalami kegagalan. Kegagalan yang tak kuketahui sebabnya. Aku kira prosedur pendaftaran telah kulakukan dengan benar. “Apanya yang salah?,” tanyaku pada diri sendiri. “Mungkinkah waktu pengirimannya sudah habis sehingga pendaftarannya ditutup?,” kata sisi hatiku yang lain yang seketika membuat tubuhku lemas tak berdaya.

Kala itu tak henti-hentinya kupanjatkan doa kepada Allah supaya Dia berkenan mengabulkan harapanku. Hampir saja butiran lembut keluar dari pelupuk mataku tatkala bayangan ibu berkelebat di depan mata. “Ibu, maafkan aku jika lomba ini gagal kupersembahkan untukmu,” bisik hatiku seolah ibu benar-benar menyaksikanku. Sungguh kesedihan memenuhi ruang hati.

Saat benih-benih pesimistis tumbuh, tiba-tiba keajaiban datang. Tanpa kusadari telah muncul akunku di situs Nova. Ya, aku berhasil menjadi member cerpen. Aku heran dan tak percaya. Seolah diri ini berada dalam mimpi saja. Pasalnya lebih dari sepuluh kali kucoba dan semuanya tak berhasil.

Alhamdulillah, aku amat terharu melihat kenyataan itu. Allah benar-benar telah mengabulkan permintaanku. Segera kukirim naskah cerpen berjumlah lima halaman itu. Kumulai proses pengiriman dengan bacaan Basmalah dan kuiringi tiap tahapnya dengan bersalawat atas Nabi Muhammad. Harapan untuk jadi pemenang kembali bersarang dalam jiwa yang sebelumnya sempat pupus. “Semoga ini menjadi pertanda akan kemenanganku,” doaku dalam hati.

Satu minggu pasca pengiriman kubuka website Nova untuk ke sekian kalinya. Dan mataku langsung terperangah sewaktu melihat pengumuman lomba cerpen. Satu per satu kubaca nama pemenang. Rasa syukur tiada tara kupersembahkan kepada Zat yang menciptakanku dari ketiadaan lantaran aku ditakdirkan-Nya menjadi bagian dari pemenang itu. Ya, aku berhasil memenangkannya. Persembahan hadiah untuk ibu akan segera terealisasi meski ulang tahunnya yang ke-39 telah lewat. Seketika mataku berair karena saking harunya. Segera kuraih ponsel di sakuku dan kuketik beberapa kalimat berisi kabar membahagiakan itu. Keluarga di rumah pun tak kalah bahagianya.

Dalam hitungan hari bingkisan menarik berupa produk Tupperware senilai tiga ratus ribu dari Nova sampai di rumah. Sengaja kutulis alamat rumah di Demak pada saat mendaftar menjadi member cerpen karena niat awal adalah memberikan kejutan untuk ibu. Alhamdulillah surprise itu berhasil dan bukan angan kosong belaka. Bayangan senyum ibu sewaktu menerima bingkisan itu tergambar jelas dalam pikiran. Aku yakin ibu bahagia sekali bahkan mungkin sampai terharu ketika menerimanya. “Ibu, inilah persembahanku di hari spesialmu. Terimalah ini sebagai bukti cintaku kepadamu.” Ingin sekali kuteriakkan kalimat itu biar ia tahu bahwa dirinya amat berarti dalam hidupku.

Setiap niat yang baik insya Allah akan dikabulkan oleh Zat yang hanya kepada-Nya manusia wajib beribadah. Besar kemungkinan kemenanganku itu dipengaruhi oleh sebuah tujuan mulia, yaitu membahagiakan ibu di hari ultahnya. Andai aku tak berkeinginan demikian, barang kali aku tak akan mendapat penghargaan dari Nova berkat sebuah tulisan fiksi. Hadiah dari Nova yang merupakan penghargaan pertama sepanjang kutekuni dunia jurnalistik itu, sekaligus menjadi kado istimewa bagi ibu.

Tak hanya aku yang turut merayakan milad ibu. Ni’am, satu-satunya saudara laki-lakiku sudah menyiapkan bros elegan yang cocok dikenakan oleh wanita secantik ibu. Bros itu dibelinya setelah melalui proses pengumpulan uang saku selama beberapa hari. Ni’am rela tak menikmati jatah jajannya asalkan aksesoris yang hanya khusus wanita itu berhasil dipasang di kerudung ibu. Sedangkan Nafik turut merayakannya dengan mentraktir mie ayam. Lagi-lagi itu dari uang saku. Kakak tertuaku, Mbak Fatim hanya memberikan ucapan selamat karena sedang menjalani kuliah di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Masing-masing dari kami punya cara dan trik sendiri dalam mengekspresikan keceriaan pada 5 September.

Sejak dinobatkan sebagai pemenang, semangat menulisku semakin membara. Cita-cita menjadi The Smart Writer kian mantap dalam hati. Aku lebih enjoy dalam menuangkan ide-ide ke dalam bentuk tulisan. Kelak akan kupersembahkan tulisan-tulisanku untuk orang-orang yang kucintai, utamanya adalah ibu.

“Ibu, sampai kapan pun akan kubuktikan rasa cinta ini dengan berbagai tindakan positif. Aku amat menyayangimu dan tak rela jika kesedihan menderamu. Ibu, engkau adalah makhluk Tuhan yang telah mengukir sejarah hidupku dengan tinta emasmu. Ibu, aku berjanji suatu saat nanti akan kumerdekakan dirimu dari pekerjaan berdagang yang mengeksploitasi tenagamu itu. Ibu, kelak aku akan menjadikanmu ratu di istanaku,” janjiku dalam hati.

Tidak ada komentar: