Senin, 25 Oktober 2010

Polemik Nikah Sirri

By: Hibatun Wafiroh
Menilik Nikah Sirri dalam Hukum Positif

Nikah sirri adalah term klasik yang akhir-akhir ini menjadi isu hangat setelah mencuatnya draf Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA). Istilah nikah sirri telah dikenal belasan abad silam namun mengalami pergeseran makna seiring berlalunya waktu. Oleh Imam Maliki pernikahan macam ini didefinisikan sebagai pernikahan yang memenuhi rukun dan standar kualifikasi tertentu, tapi tidak sampai diekspos ke khalayak ramai, misalnya melalui media walimah. Ada juga ulama yang memahaminya sebagai pernikahan tanpa dihadiri wali.

Lepas dari silang pendapat di atas, nikah sirri dalam konteks kekinian yaitu perkawinan antara lelaki dan perempuan yang syarat dan rukunnya telah dipenuhi, akan tetapi tak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Dalam perspektif Fiqh klasik, pernikahan ini sah. Namun akan diklaim salah jika dikaitkan dengan aturan pemerintah, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan lainnya.
Pemerintah secara tegas mewajibkan pencatatan perkawinan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut jelas dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut perundangan yang berlaku. Adapun prosedur lebih detailnya termuat dalam Pasal 10, 11, 12 dan 13 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Pada asasnya tiap peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah berporos pada kemaslahatan bersama (mashalah ‘ammah). Ada banyak hal yang melatarbelakangi pembentukan peraturan tersebut. Termasuk aturan perkawinan yang mulai diperhatikan jauh setelah kemerdekaan Indonesia dicapai. Jadi di balik semua itu tersirat manfaat besar yang diharapkan akan tercapai tatkala masing-masing individu melaksanakannya.

Demikian halnya dengan keharusan mencatatkan perkawinan di KUA. Legalitas ini amat penting demi terciptanya ketertiban umum dan kepastian hukum. Bisa dibayangkan akan terjadi banyak kemafsadahan bila masyarakat tidak menaati aturan ini. Dan yang dominan dirugikan adalah kaum wanita dan anak-anak selaku pihak yang lemah dalam rumah tangga.

Di samping itu, jika ditelusuri lebih lanjut ternyata keharusan mencatatkan perkawinan selaras dengan bunyi QS. al-Baqarah/2: 282, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.” Muamalah saja diperintahkan untuk mencatatkannya, apalagi perkawinan yang notabene merupakan mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kuat). Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap individu sadar akan pentingnya pencatatan perkawinan dalam rangka jalb al-mashalih wa dar’ al-mafasid (memungut kemaslahatan dan membuang kerusakan).

RUU HMPA = Debatable

Di saat ketentuan UU Perkawinan belum diterima oleh seluruh komponen masyarakat, muncul Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. RUU ini mengatur tentang pidana bagi pernikahan sirri, mut’ah dan poligami. Setelah RUU ini muncul di permukaan, sontak menimbulkan pro dan kontra.

Di satu sisi ketentuan itu akan memperjelas dan memperkuat aturan hukum sebelumnya, yaitu UU Perkawinan dan aturan yang melingkupinya. Ancaman sanksi pidana 3 bulan hingga 3 tahun bagi pelaku nikah sirri, mut’ah dan poligami, menjadi bukti bahwa pasal-pasal dalam UU Perkawinan bukan hanya sebagai formalitas yang tujuannya kurang mengena. Mengingat sebelum RUU HMPA ini dibahas, pasal-pasal tersebut sering kali diabaikan dengan maraknya praktik nikah sirri, mut’ah dan poligami di beberapa daerah di Indonesia.

Selain sisi positif di atas, RUU HMPA juga menyisakan beberapa problem/pertanyaan. Pertama, siapa saja yang akan dikenai sanksi pidana? Suami, istri, wali, saksi atau semuanya? Apabila istri turut dipidana, berarti RUU ini telah bergeser dari tujuan utamanya, yaitu melindungi hak perempuan. Kedua, apakah tepat pembubuhan istilah pidana dalam hal ini? Mengingat pernikahan termasuk dalam ranah perdata. Atau malah lebih tepat jika dikatakan delik aduan di mana perkara ini akan diproses ketika mendapatkan aduan dari pihak terkait.

Menurut hemat penulis, perlindungan pemerintah terhadap perempuan yang tertera dalam RUU HMPA merupakan langkah positif menuju kehidupan yang sejahtera. Tentunya bila didukung oleh berbagai kalangan. Dengan demikian diharapkan praktik nikah sirri, mut’ah dan poligami akan kian terkikis. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: