Senin, 25 Oktober 2010

Kado Terburuk Di Hari Ulang Tahun Intan

Oleh: Hibatun Wafiroh
Dengan setengah berlari, Intan menuju taman Bungkul. Sesekali matanya menilik jam yang terlilit di pergelangan tangannya. Kakinya terus melangkah, sementara jemarinya tak henti memencet tombol ponsel hingga tersusunlah beberapa kata. Segera ia kirim ke nomor yang tak asing baginya.

“Sayang, kamu di mana? Aku sudah sampai sejak tadi.” Sebuah pesan singkat diterimanya. Dengan cepat ia balas, “Beberapa menit lagi aku sampai di situ.”

Minggu pagi ini taman Bungkul ramai pengunjung. Ada yang sekedar berolahraga. Dan ada pula yang asyik berbincang dengan pasangannya. Nampak aura kebahagiaan di mata mereka.


Tak lama kemudian ia sampai di sebuah bangku panjang di pojok taman. Dari kejauhan ia menangkap sosok pemuda tampan berkulit putih yang kelihatannya telah ia kenal.

“Apa dia yang bernama Hendra?” sebuah pertanyaan terbesit dalam hatinya. “Pasti dialah yang kucari,” jawab sisi hatinya yang lain.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki yang terlihat asyik di depan laptop. Taman Bungkul yang berada di tengah kota Surabaya dilengkapi fasilitas hotspot area sehingga tak jarang dimanfaatkan oleh para pengunjung. Tentunya untuk berselancar di dunia maya dengan menenteng laptop pribadinya.

“Maaf, apa kamu Hendra?” tanya Intan dengan suara lembut yang langsung membuat wajah lelaki di hadapannya itu berpaling padanya.

“Kau Intan?” pemuda itu tidak menjawab tapi malah balik bertanya.

Meski tidak ada jawaban yang keluar dari pemuda tampan itu, Intan tahu bahwa memang benar dialah Hendra. Dalam hitungan sepersekian menit obrolan ringan mengalir di antara mereka. Bak teman lama yang tak pernah berjumpa, mereka sangat menikmati pertemuan itu.

“Happy birthday, Sayang. Aku punya kado spesial untukmu,” kata Hendra yang sontak membuat hati Intan berbunga-bunga. Mendengar perkataan Hendra, Intan langsung penasaran seraya matanya mencari-cari bingkisan di sekeliling tempat Hendra duduk. Tapi ia tak menemukan apapun.
***

Senja sore itu teramat indah. Gurat kemilau cahaya matahari yang mulai bersembunyi di tempat peristirahatan, begitu indah dinikmati. Tak ada awan hitam yang bergumul di langit. Sinar keemasannya nampak kian sempurna. Tapi sayang, tak banyak orang yang menyadari panorama itu. Termasuk Intan yang sejak setengah jam sebelumnya berada di depan laptop mungilnya.

Adalah pemandangan biasa ketika melihat perempuan berkulit bersih dengan rambut terurai sampai punggung itu, berkelana di dunia maya. Dan makin tak asing sewaktu tahu bahwa situs yang dibukanya adalah facebook. Ya, Intan patut dijuluki fecebooker sejati lantaran kegemarannya mengotak-ngatik jejaring sosial yang familiar dengan singkatan FB itu. Berjam-jam lamanya ia betah memelototi FB sekedar untuk memperbaharui status, mencari teman, chating dan lainnya.

Seperti biasa sore itu Intan berkomunikasi dengan salah satu teman FB-nya yang usut demi usut ternyata berasal dari Surabaya. Lelaki yang baru saja menjalin pertemanan dengan Intan itu bernama lengkap Hendrawan Santoso. Ia tercatat sebagai mahasiswa di salah satu kampus favorit di kota Pahlawan. Intan tahu setelah membaca profil pemuda itu yang dipublikasikannya di FB.

“Sore... Boleh kenalan?” sapa Hendra memulai obrolan.

“Sore juga.... Boleh,” jawab Intan tanpa menunggu hitungan menit.

Obrolan via FB terus berlangsung hingga setengah jam ke depan. Bahan obrolan muncul dengan sendirinya. Padahal sejatinya itu sebatas basa-basi dan canda ringan yang mungkin menurut sebagian orang hanya membuang waktu belaka. Tapi entah kenapa Intan begitu bersemangat ketika kata demi kata dilontarkan oleh Hendra. Barangkali itu dipengaruhi oleh foto yang terpampang di FB mereka. Foto yang memang menunjukkan sosok yang cantik dan tampan. Keindahan fisik memang kerap kali menyedot perhatian orang.

“Mmm.... kamu dari Surabaya ya?,” tanya Hendra dari seberang sana.

“Yups, benar. Kok tahu? Kamu juga kan?,” Intan membenarkan.

“Aku tahu dari profilmu. Jadi kamu juga sudah lihat profilku dong.”

“Hehe...,” tawa Intan yang diungkapkan lewat tulisan.

“Kapan-kapan ketemuan yuk,” ajak Hendra. Sementara Intan langsung tersentak kaget sebab ia tak pernah diajak ketemu oleh teman FB-nya. Apalagi yang baru dikenalnya seperti Hendra.

“Lho kok ingin ketemu kenapa?”

“Ya, ingin lihat kamu secara langsung saja. Biar tak hanya berteman di dunia maya. Masak sama-sama di Surabaya nggak boleh ketemu. Kau keberatan?”

“Eh nggak kok.”

“Kira-kira kapan kamu punya waktu?”

“Ah, nggak tahu kapan. Akhir-akhir ini aku sibuk banget.”

“Oh begitu. Intan, boleh kuminta nomor Hp-mu?”

“Untuk apa?”

“Biar komunikasi kita lebih lancar saja. Ini nomorku: 085780496555.” Tanpa diminta Hendra sudah memberikan nomornya. Padahal Intan agak enggan memberitahukan nomornya. Tapi karena terus didesak akhirnya dia rela jika ada satu orang lagi yang mengetahui nomor Hp-nya.
 ***

Setelah mengantongi nomor Intan, Hendra kerap mengirim sms bahkan terkadang sampai menelepon. Komunikasi mereka telah merambat ke obrolan langsung via Hp.

Lambat laun hubungan mereka kian dekat. Tak pernah jumpa, namun ada banyak hal pribadi yang mereka sampaikan satu sama lain. Rasa ketertarikan Hendra kepada Intan mendapatkan sinyal positif setelah berbulan-bulan lamanya mereka saling berkomunikasi. Hingga pada suatu hari Hendra berterus terang bahwa ia menaruh hati kepada seorang perempuan yang tak lain adalah Intan.

“Intan, apakah kamu punya pacar?” tanya Hendra pada satu siang.

“Tidak punya. Memang kenapa?” Intan sudah bisa mencium arah pembicaraan Hendra. Tapi dia pura-pura tak tahu.

“Maukah kamu menjadi pacarku? Aku sangat mencintaimu sejak kali pertama kita chating di FB beberapa bulan lalu.” Terdengar suara keseriusan dari seberang sana.

“Lho belum jumpa kok sudah cinta. Aneh!,” celetuk Intan.

“Benar Intan, aku tidak bohong. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba rasa cinta menyusup dalam hati. Tiap waktu aku selalu terbayang wajahmu meski kusadari bahwa kita sama sekali belum pernah jumpa. Tapi aku sangat yakin dengan apa yang kurasa ini. Intan, apa kau terima cintaku?”

Intan diam sejenak lalu menjawab, “Keputusannya nanti kalau kita ketemu. Bagaimana?”

“Ok, Intan. Kira-kira kapan aku bisa melihat kecantikan wajahmu?,” rayu Hendra.

Setelah diterjang berbagai rayuan, hati Intan pun pelan-pelan luluh. Akhirnya terjadilah kesepakatan untuk bertemu pada tanggal 4 Maret 2010 di taman Bungkul Surabaya. Terpilihnya tanggal itu sebagai hari pertemuan karena bertepatan dengan hari ulang tahun Intan yang ke-20. Sementara taman Bungkul dijadikan sebagai tempat pertemuan sebab taman itu berada di tempat yang strategis dan terkesan romantis.

“Sebelum aku mengakhiri perbincangan ini, bolehkah aku mengajukan satu permintaan kepadamu?” pinta Hendra.

“Apa itu?”

“Bolehkah kau kupanggil sayang? Terus kau menimpalinya dengan panggilan sayang pula.”

“Nggak ah.”

“Ayolah!”

“Baiklah.”

“Sampai jumpa, Sayang.”

“Sampai jumpa juga, Sayang.” Klik. Sambungan telepon langsung mati.

Setelah terungkapnya perasaan Hendra, mulailah tumbuh benih-benih cinta dalam hati Intan. Intan mulai tertarik kepada lelaki yang dikenalnya di FB itu. Ia mulai penasaran dengan lelaki yang dalam pikirannya adalah sangat tampan dan baik hati. Ia pun mulai tak sabar menunggu tibanya hari perjumpaan itu. Ia mulai mereka-reka hadiah apa yang akan diberikan oleh Hendra di hari spesialnya tersebut. Dalam masa penantian itu, ia sering membayangkan wajah Hendra. Tak jarang ia mengimajinasikan indahnya bertemu dengan Hendra.
***

Di sebuah kamar berukuran luas bernuansa mewah sayup-sayup terdengar isak tangis seorang perempuan. Tangisnya memecah keheningan siang, namun tak satu pun manusia yang mendengarnya. Sebab di situ hanya ada dia dan pemuda yang masih mendengkur terbawa mimpinya. Pemuda itu tak lain adalah Hendra. Sedang si perempuan itu ialah Intan.

Dalam kondisi setengah sadar Intan menilik jam di tangannya. Waktu menunjukkan pukul 12.45. Ia mencoba bangun dari tempat tidur untuk mencari tahu di mana sekarang ia berada. Dan kembali air matanya menghujani pipinya ketika menyadari dirinya tak dibalut sehelai pakaian pun. Hanya selimut tebal yang menutupi auratnya. Selimut itu jua yang menutupi tubuh Hendra.

“Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi padaku?,” rintih Intan sambil memutar kembali memori ingatannya. Hanya kecewa yang didapat sebab ia tak mengingat apapun selain pertemuannya dengan Hendra di taman Bungkul yang lantas sebotol air mineral diberikan oleh Hendra kepadanya. Dahaga yang bersarang di tenggorokan akibat berlari-lari kecil, membuat hasratnya bangkit tatkala melihat air minum. Setelah itu ia tak ingat apa-apa. “Apakah minuman itu dicampuri obat tidur,” terka Intan.

Mata Intan yang basah akan air mata, tak henti-hentinya mengitari ruangan yang sama sekali tak dikenalnya itu. Setelah sekian menit mencoba mem-flash back dan mencari petunjuk, akhirnya ia menemukan selembar kertas yang di atasnya dibubuhi tulisan

“HAPPY BIRTHDAY TO YOU. ARE YOU HAPPY NOW? THIS IS SPECIAL GIFT FOR YOU ON YOUR BIRTHDAY.”

Membaca tulisan itu, Intan sangat geram. Segera ia bangunkan Hendra dengan amat kasar untuk mencari tahu sebenarnya apa yang telah terjadi di antara mereka.

“Hendra, bangun kau!! Bangun!!,” tangan Intan terus mengoyak-ngoyak badan Hendra yang kemudian perlahan mata Hendra terbuka.

“Oh kamu sudah bangun, Sayang. Happy birthday, Sayang,” kata Hendra dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.

“Maksud kamu apa? Apa yang telah kamu lakukan terhadapku? Sebenarnya kamu itu siapa?,” pertanyaan secara bertubi-tubi keluar dari bibir Intan. Matanya tak sanggup menahan tangis.

“O... itu,” jawab Hendra dengan enteng. “Kamu ingat dengan janji yang kuucapkan waktu di Bungkul tadi. Aku bilang kalau aku bakal memberikan hadiah spesial di ulang tahunmu. Ya, inilah hadiah yang kujanjikan itu. Apakah kau menikmatinya, Sayang?,” lanjutnya dengan terbahak-bahak.

“Maksudmu apa?,” Intan masih belum mengerti.

“Sayang, kamu masih belum paham juga ya,” goda Hendra.

“Heh, nggak usah bertele-tele.”

“Okelah, aku akan katakan dengan sejelas-jelasnya. Dengarkan dengan baik ya, Sayang. Tadi waktu di Bungkul aku memberimu minuman yang sebelumnya telah kucampuri obat tidur. Lalu kau langsung merasakan kantuk setelah menenggaknya. Dan dengan mudah aku dapat membawamu ke mobilku hingga sampailah di kamarku ini. Sayang, menurutmu kamar ini bagus nggak? Ya, inilah hadiah ultahmu. Apa kau suka, Sayang,” jelas Hendra panjang lebar.

“Keparat, jangan sekali-kali panggil aku sayang lagi. Apa kau telah .....,” Intan tak sanggup meneruskan kata-katanya. Tapi Hendra sudah bisa menebaknya.

“Sayang, jangan kasar begitu. Kamu pasti heran dengan kondisimu yang telanjang itu kan? Ha....ha...ha... Apa yang kau kira benar. Ketika kamu ttidur, dengan leluasa aku berhasil menidurimu. Kayaknya aku ini jadi orang pertama yang menikmati keperawananmu. Terima kasih banget, Sayang. Hari ini aku sangat bahagia dan puas.”

“Dasar keparat!! Aku menyesal mengenalmu.” Intan sangat menyesali dirinya yang telah memberikan kesempatan kepada orang yang hanya dikenalnya di FB untuk berjumpa di dunia nyata. Penyesalan yang hanya meninggalkan perih di hati. Karena kecerobohannya, kehormatannya telah direnggut oleh orang yang semula dianggapnya baik dan ternyata kebaikan itu hanya untuk menutupi sifat biadabnya. Air mata kian deras mengguyur mata dan pipinya. Sedangkan Hendra tertawa puas.

Benar-benar momen ulang tahun yang sangat memilukan. Kebahagiaan yang seharusnya mewarnai hari istimewa itu seketika tergantikan oleh senja yang tak pernah lekang dari ingatannya. Menyesal. Itulah satu kata yang bisa menggambarkan kondisinya. Facebook telah membuat masa depannya suram. Karena facebook pula ia telah kehilangan mahkota berharganya.

Tidak ada komentar: