Senin, 25 Oktober 2010

Meneguk Kasih Allah

Oleh: Hibatun Wafiroh
Termangu. Bibirnya terkatup rapat tak bersuara. Sesekali bergerak pelan menggemingkan sesuatu. Tatapannya kosong. Menerawang jauh ke luar jendela. Kucoba mendekatinya hingga tubuhku berada tepat di sampingnya.

“Ibu,” ujarku. Pandangannya berpaling ke arahku. Ada garis kerut di wajah tuanya. “Ibu, memikirkan apa? Sejak tadi Muna perhatikan, ibu kok diam saja di situ?,” tanyaku mencari tahu penyebab senja di raut mukanya.

“Tidak apa-apa, Mun. Ibu ingat bapakmu. Kalau saja bapakmu di sini, mungkin kita tak hidup susah seperti sekarang,” kutangkap gurat kesedihan dari tiap kata yang diucapnya.

Bapak, seseorang yang selalu kurindui sejak dulu. Rindu yang tak pernah terobati selama hampir lima tahun. Rindu yang tak kutahu kapan bakal menerima asupan obat. Sosoknya masih misteri hingga detik ini. Benar-benar misteri yang tak tahu kapan akan tersingkap.

Dahulu sewaktu aku berusia sepuluh tahun bapak pamit. Dibawanya tas besar berisi pakaian. Dengan alasan menjadi TKI di Malaysia, dia bertolak meninggalkanku dan juga ibu. Dia berjanji akan membahagiakan kami usai merantau di negeri jiran.

“Mun, baik-baik di rumah ya. Jangan nakal. Kau harus jadi anak penurut. Doa bapak selalu menyertaimu,” pesannya yang langsung kusambut dengan derai air mata. Kupeluk erat tubuhnya sesaat sebelum ia meninggalkanku.

Pasca kejadian itu, aku tak pernah lelah memohon kepada Allah supaya bapak segera kembali dengan membawa berjuta kebahagiaan. Namun nyatanya lain. Hari datang silih berganti. Bulan telah berbilang tahun. Hingga umurku menginjak angka lima belas, bapak sama sekali tak pernah memberi kabar. Entah bagaimana keadaannya sekarang, aku tak tahu. Masih hidup ataukah sudah meninggal? Pertanyaan yang tak bisa kujawab. Moga saja ia baik-baik di sana.

“Maafkan ibu, Nak,” perkataan ibu membuyarkan lamunanku.

“Kenapa ibu minta maaf? Ibu tak salah apa-apa.” Sebetulnya aku ingin menitikkan air mata tiap kali ibu mengungkit tentang bapak. Ah, tangis ini tak boleh kuperlihatkan. Bisa-bisa ibu semakin sedih.

“Mun, ibu minta maaf karena tidak mampu mencukupi kebutuhanmu. Gara-gara ibu kamu terpaksa putus sekolah. Gara-gara ibu kamu terpaksa bekerja membanting tulang. Seandainya...,” belum sempat ibu melanjutkan, aku menyela.

“Ibu, jangan berkata begitu. Ibu tidak salah dan ibu tak perlu meminta maaf,” ujarku dengan sedikit serak. Kuedarkan pandangan ke sekeliling agar kristal keruh di mataku tak sampai menetes.

“Nanti kalau ibu sembuh dan bisa bekerja, kamu harus sekolah lagi.”

“Ya, Bu,” aku mengangguk pelan. Kupaksa bibirku untuk tersenyum supaya ibu tak lagi bersedih. Meski sebenarnya ada kesedihan yang menyayat hati. Kesedihan yang bercokol dalam sanubari sejak dua bulan silam.

Aduhai, andai saja peristiwa naas itu tidak menimpa ibu, barangkali aku bisa menatap mantap masa depanku dengan balutan pendidikan. Andai kala itu tak ada mobil yang menerkam ibu, barangkali ia masih bisa membiayai sekolahku meski dengan tertatih-tatih. Andai kecelakaan itu tak sampai menciderai kakinya, mungkin ibu masih bisa berdiri tegak tanpa bantuan kursi roda.

Astaghfirullh aku berangan-angan dan menyesali nasib. Perbuatan yang tak disukai Allah. Seharusnya aku tabah seraya berusaha menjadi lebih baik.

Ya, dua bulan lalu ibu tertimpa musibah kecelakaan waktu menyeberang jalan. Tubuhnya ditindih sebuah mobil berplat merah. Beruntung nyawanya masih tertolong, namun kedua kakinya harus diamputasi karena tak utuh lagi. Seluruh biaya perawatan ditanggung Pak Rahman, sang empunya mobil. Akan tetapi setelah ibu dinyatakan sembuh dengan menyandang cacat, dia lepas tangan. Sekali pun tak pernah ia menjenguk.

Akibatnya, ibu harus banyak istirahat. Kursi roda pemberian rumah sakit menjadi teman setianya. Pekerjaan sebagai pemulung sampah yang digelutinya selama bertahun-tahun, harus ia tinggalkan. Ia tak mungkin berjalan berkilo-kilo meter demi menemukan sepungguk sampah dalam kondisi cacat seperti itu.

Melihat kondisi ibu yang tak berdaya, sementara perekonomian sedang kemarau, akhirnya kuputuskan untuk mengambil alih profesinya. Predikat pelajar yang semenjak kecil melekat padaku, tak mampu kupertahankan. Terpaksa aku putus sekolah demi mencari segenggam rezeki yang ditebar Tuhan di muka bumi. Rezeki yang moga mampu mengantarkanku merajut kerelaan-Nya. Kutinggalkan bangku MTs Nurul Ikhlas demi bakti seorang anak kepada ibunya.

Rasanya amat berat ketika menjalani hari-hari tanpa asupan pengetahuan dari para guru. Apalagi aktivitas di sekolah tergantikan dengan bekerja di bawah terik matahari. Dua aktivitas yang sangat kontras. Belajar dan bekerja. Kalau saja biaya sekolah murah, mungkin aku bisa tetap menikmatinya dan sepulang sekolah aku bisa bekerja membantu ibu. Ah, keterbatasan ekonomi yang memaksaku.

“Mun, kau menangis?.” Aku tersentak kaget. Ternyata tadi aku melamun.

“Tidak, Bu,” kusentuh sudut mataku dengan jari telunjuk. Memang benar basah. Butiran lembut sesejuk embun merembes pelan dari kedua pupil mataku. Mungkin aku terbawa suasana. Mengingat masa lalu memang sering membuat hatiku sedih. Aku berusaha menutupi kesedihanku itu dengan seutas senyum.

“Bu, sarapan yuk. Tadi Muna sudah masak nasi dan lauk,” ajakku. Lalu kupapah tubuh ibu menuju sebuah meja kayu yang keempat kakinya mulai lapuk. Rumah ini tak dilapisi ubin marmer, sehingga harus hati-hati ketika mendorong kursi roda agar ibu tidak terjungkal.

Nasi putih lengkap dengan lauk tempe goreng dan sambal tomat telah tertata di meja. Menu sederhana yang untuk mendapatkan diperlukan kerja keras, tidak secara instan. Saban hari kami makan seadanya seperti ini. Terasa nikmat walau pas-pasan. Asal dibarengi dengan kerelaan dan syukur.

“Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma barik lana fi ma razaqtana wa qina ‘adzabannar,” doa sebelum makan yang diajarkan oleh orang tua tatkala aku masih kecil, kira-kira empat tahunan, hingga kini doa itu masih kupraktikkan. Berharap semoga apa yang masuk ke dalam lambungku mendapat berkah.

Tak sampai seperempat jam, sarapan pagi selesai kukunyah habis. Ibu juga memakannya lahap. Alhamdulillah......

Piring-piring segera kucuci agar tak berserakan di meja. Aku ingat betul dengan pesan Pak Soleh, guru Aqidah Akhlak. “Kebersihan sebagian dari iman,” katanya mengutip sabda Rasul. Jargon sederhana yang sering diabaikan orang. Aku harus menciptakan suasana yang damai dan sejuk di rumah sederhana ini. Salah satunya dengan menjaga kebersihan. Siapa tahu dengan lingkungan yang bersih akan mendatangkan kebahagiaan bagi penghuninya.

“Bu, saya berangkat dulu ya,” kucium tangan lembut ibu sepenuh hati.

“Hati-hati ya, Mun.”

“Ya Bu. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” jawabnya.

Kutinggalkan perempuan paruh baya itu sendirian di rumah. Tak ada seorang pun di sana. Sehari-hari kami tinggal berdua. Sebenarnya aku bukan anak tunggal. Aku memiliki kakak perempuan, Mbak Tika. Tapi Allah terlebih dahulu mencabutnya ketika aku memasuki tahun pertama di MTs Nurul Ihsan, dua tahun setelah bapak terbang ke Malaysia. Dia terjangkit penyakit demam berdarah. Ah, kukira bapak belum mengetahui kabar kematian Mbak Tika itu karena aku sendiri bingung menyampaikannya dengan apa dan lewat siapa.
***

Kakiku melangkah pasti. Kususuri trotoar jalan yang berdebu. Kendaraan bermotor memadati jalan raya. Polusi dari knalpot kendaraan itu mulai mengepul di angkasa. Menyisakan udara tak segar dan menyesakkan. Sepagi ini Semarang memang selalu macet. Karyawan dan pelajar berjubel di sana dengan kepentingan yang berlainan. Klakson bersahutan. Pertanda pengemudinya tak sabar menanti antrean kendaraan.

Aku terus menapaki jalan beraspal tanpa kenal lelah. Sandal jepit tipis melindungi kakiku dari panasnya aspal yang mengembara kejam tatkala matahari menampakkan sadisnya. Kepalaku terbalut kerudung tipis kecil yang dulunya kupakai untuk menuntut ilmu di MTs Nurul Ihsan. Seragam sekolah itu berubah fungsi menjadi seragam kerja. Warna putihnya tak cerah lagi. Lebih pas dikatakan berwarna krem daripada putih. Tapi tak apalah. Yang penting bisa menutup aurat.

Kuedarkan pandangan ke kanan kiri jalan. Seolah-olah tak ada satu celah yang luput dari penglihatanku. Dan aku segera beringsut ke depan setengah berlari ketika kulihat dua botol air mineral tercecer di tepi jalan. Kubungkukkan kepala lantas dengan lihai aku memasukkannya ke dalam karung ukuran sedang yang menggantung di punggungku.

Ya, beginilah pekerjaanku tiap hari. Memulung sampah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu tong sampah ke tong sampah lain. Dengan bermodalkan karung, kukelilingi perkampungan Kaligawe hingga kadang mendekati terminal Semarang. Jarak berkilo meter tak menjadi hambatan. Sengatan terik matahari tak mematahkan semangatku. Kerongkongan yang kering tak menghentikanku.

Biasanya aku memulung hingga menjelang sore. Cukup lama memang. Tapi ini demi ibu. Kalau aku tak bekerja, lantas siapa yang menanggung biaya hidup kami? Haruskah aku memaksa ibu untuk bekerja dengan keadaan lumpuh seperti itu? Tentu tidak. Mana ada anak yang tega membiarkan ibunya menderita?

Barangkali saat ini memulung inilah yang berpihak padaku. Ah, kurasa pekerjaan memulung ini lebih terhormat daripada menadahkan tangan, mengharap belas para dermawan dengan memasang mimik sedih di pinggir jalan. Ketimbang meminta-minta, lebih baik memulung. Toh, hasil dari penjualan sampah tergolong rezeki yang halal.

“Bu, lihat kakak itu,” suara seorang anak kecil mengundang perhatianku. “Masak pemulung kok memakai jilbab,” lanjutnya lalu tertawa.

“Hus, tidak boleh bicara begitu,” tegur wanita berwajah ayu. Mungkin ibunya karena aku tadi mendengar kata “Bu” keluar dari bibir anak itu. Tak lama kemudian mereka berlalu dari hadapanku.

Ini bukan kali pertama komentar semacam itu ditujukan padaku. Banyak orang yang heran denganku. Sekonyong-konyong memang jarang ditemukan pemulung berpakaian panjang dan berkerudung. Terlihat aneh. Karena biasanya pemungut sampah berbalut kaos pendek. Kesan kumuh sangat kentara.

Banyak anggapan tentangku yang berkeliaran di benak mereka, positif maupun negatif. Aku tak peduli. Aku berpenampilan seperti ini semata-mata ingin menutup aurat. Walau pada akhirnya pakaianku ini dipenuhi lumuran najis akibat karung berisi sampah yang kubawa ke mana-mana. Setidaknya aku telah berusaha mengamalkan ilmu yang kudapat sewaktu di madrasah. Ilmu tentang kewajiban menutup aurat. Meski ada perselisihan tentang batasan aurat, ulama sependapat bahwa kepala tergolong aurat wanita yang wajib ditutupi.
***

Matahari sedang berada di titik klimaksnya. Pusat tata surya itu condong sedikit ke barat. Sengatan panasnya menyemburatkan gerah. Peluh berleleran dari sekujur tubuhku. Mukaku pucat dan basah kuyup akan keringat. Tak sedikit orang mengibaskan baju dan kipas untuk memperoleh kesejukan.

Sekitar setengah jam yang lalu azan dikumandangkan. Terdengar keras dari mikrofon masjid. Waktu salat telah Dzuhur tiba. Kini saatnya kutanggalkan karung yang hampir penuh dengan plastik dan botol minuman. Alhamdulillah, aku berucap syukur karena hasil pulunganku hari ini lumayan banyak. Kutengok kanan kiri jalan. Mencari masjid atau mushalla yang bisa kusinggahi untuk sekedar merebahkan badan dan melaksanakan kewajiban.

Tak terlalu sulit bagiku menemukan tempat ibadah sebab aku menekuni pekerjaan sebagai pemulung sejak dua bulan silam. Arealnya pun tak berubah. Sehingga hampir seluruh daerah ini telah kuhafal dengan baik. Berikut dengan letak masjid dan mushallanya.

Sesampainya di depan Masjid Al-Ikhlas, kutaruh karung di pojok pagar. Masjid ini tak begitu luas, juga nampak sepi. Mungkin para jamaah langsung pulang seusai salat berjamaah tadi. Hanya beberapa saja yang masih bertahan.

Aku tak langsung masuk ke dalam masjid karena seluruh pakaianku tak suci. Aku tak ingin meninggalkan najis di lantainya. Untuk itu, terlebih dahulu aku menuju kamar mandi yang terletak di luar masjid untuk ganti baju. Kubawa plastik hitam yang tiap hari tak pernah kulupa. Di dalamnya ada dua helai pakaian, baju dan rok, yang siap mengantarkanku menghadap Sang Pencipta. Mengenai mukena aku selalu pinjam di masjid atau mushalla yang kujamah.

“Allahu Akbar,” kuucap takbiratul ihram yang menjadi pembuka salat seraya kutancapkan niat dalam hati. Niat mendirikan salat Dzuhur empat rakaat karena Allah ta’ala. Pelan-pelan kulafalkan surat Al-Fatihah yang merupakan bacaan wajib dalam salat. Kucoba konsentrasi mengingat Allah, walau sering kali bayangan berkelebat di depan mata. Ah, sebagai manusia biasa memang sulit untuk bisa melaksanakan salat dengan sempurna.
 ***

“Rabbana atina fiddunya hasanah. Wa fil akhirati hasanah. Wa qina ‘adzabannar. Wa shallallahu ‘ala Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. Wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin. Al-Fatihah,” rangkaian doa sapu jagat, salawat dan hamdalah mengakhiri ibadahku siang ini. Tenang sekali sanubariku selesai memenuhi kewajiban salat walau aku tak tahu apakah salatku itu diterima oleh Allah atau tidak. Semoga saja apa yang kulakukan tidak sia-sia.

Sela tak lama kemudian aku menjelma menjadi gadis pemulung dengan pakaian kotornya. Kuraih karung yang tadi kusandarkan di pagar. Tiba-tiba...

“Nduk....Nduk...,” ada suara memanggilku. “Nduk.... Nduk....,” suaranya makin keras. Mataku mengitari sekeliling. Kutemukan sosok pria paruh baya tersenyum. Uban berpijar di antara rambut hitamnya. Aku diam mematung.

“Nduk, namamu siapa?,” tanyanya ramah.

“Saya Muna. Bapak siapa?,” jawabku lirih, merinding. Pasalnya aku tak mengenalnya. Semoga saja dia orang baik.

“Aku Karmin. Nduk, aku sering melihatmu salat di sini. Baru kali ini kujumpai pemulung semacammu,” ujarnya. “Kamu masih muda, tapi semangat ibadahmu luar biasa. Kamu tinggal di mana?,” tanyanya lagi.

“Rumah saya di tepi sungai Kaligawe. Ada apa, Pak?,” aku balik tanya.

Obrolan ringan mengalir di antara kami. Tentangku dan tentangnya. Pak Karmin diam-diam memperhatikanku dari balik jendela masjid. Dia seorang ustadz di madrasah. Awalnya dia mengira aku akan memulung di masjid, namun ia tercengang setelah melihatku berganti kostum dan siap salat.

Hingga akhirnya ia mengajakku mampir ke rumahnya yang tak jauh dari masjid. Kebetulan hari ini ia tidak mengajar. Dengan pakaian ala pemulung aku memasuki rumah yang di depannya ada taman asri. Dia menyuguhiku banyak hidangan. Mulai menu makan siang hingga cemilan ringan yang gurih. Sejenak kulupakan karung berisi sampah itu. Tak ada salahnya memenuhi undangannya untuk singgah sesaat di rumahnya.

Selesai makan aku pamit. Kuucapkan terima kasih kepada Pak Karmin dan juga istrinya, Bu Aisiyah. Mereka sangat ramah dan baik. Pertemuan ini amat mengesankan. Baru kali ini ada orang yang rendah hati menerima tamu pemulung seperti aku. “Moga mereka diberi tambahan rezeki oleh Allah,” doaku dalam hati.

“Nduk, jangan pulang dulu. Pulang nanti saja,” Bu Aisiyah menahanku.

“Ya Nduk, kami mau bilang sesuatu,” Pak Karmin angkat bicara.

“Apa itu, Pak, Bu?.”

“Nduk Mun, kami di rumah ini hanya tinggal berdua. Lebih dari 15 tahun menikah, kami belum juga dianugerahi anak. Ketika melihatmu, rasanya hati ini terasa sejuk. Di mataku, kamu anak yang berbudi. Walaupun baru kali ini aku bisa ngobrol denganmu.” Ucapan pria berkulit kecokelatan itu kudengar seksama. Aku tak mau menyela sebelum ia selesai.

“Nduk, aku dan istriku selalu mendamba kehadiran anak. Beberapa hari kami berembuk untuk mengangkat anak. Pilihan kami tertuju padamu.,” lanjutnya.

“Maksud Bapak apa? Saya benar-benar belum mengerti,” selaku.

“Nduk, maukah kamu tinggal di sini bersama kami?.” Deg! Ada gemuruh di jantungku. Tiba-tiba hatiku berdegup kencang. Aku kaget. “Ya Nduk, apa kau bersedia menjadi anak angkat kami?,” tanyanya.
Pak Karmin dan Bu Aisiyah menginginkanku menjadi anak angkat mereka? Apa aku salah dengar? Tidak! Apa ini mimpi? Tidak! Ini nyata. Kenapa ia tertarik padaku? Padahal aku hanya seorang pemulung.

“Nduk, kau jangan diam. Jawablah! Kami serius. Setelah kamu tinggal di sini, kami akan menyekolahkanmu. Kamu tak perlu memulung lagi. Kamu cukup belajar,” jelasnya.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Di satu sisi aku bahagia mendapat tawaran itu. Mungkin ini cara Allah memberi kebahagiaan padaku. Cita-citaku untuk bisa menempuh jalur pendidikan akan jadi nyata. Aku bisa mencerna uraian guru di kelas. Otakku yang sempat tumpul akibat jarang belajar dan kurang baca, akan terasah lagi. Senang sekali aku bisa bercengkerama dengan ilmu pengetahuan. Namun bagaimana dengan ibu? Apakah ia mengizinkan? Ia akan tinggal dengan siapa kalau aku diangkat anak oleh Pak Karmin dan Bu Aisiyah?

“Pak, Bu, saya minta maaf karena tak dapat memberi jawaban sekarang. Saya memiliki ibu dan saya harus meminta restunya dulu sebelum memutuskan sesuatu. Jujur, saya kaget mendengar penuturan Bapak dan Ibu. Haru dan bahagia menyelimuti diri saya. Namun saya tak bisa memberi keputusan sekarang. Saya juga tak tega meninggalkan ibu yang cacat sendirian di rumah. Insya Allah besok saya ke sini. Sekarang saya pamit dulu,” ujarku dengan terbata-bata.

“Ibumu cacat apa?,” tanya Bu Aisiyah.

“Ya, Bu. Dua bulan yang lalu ibu kecelakaan. Kakinya diamputasi dan sekarang tak bisa apa-apa. Sejak saat itu saya putus sekolah dan bekerja sebagai pemulung,” suaraku tercekat di tenggorokan. Tiba-tiba bayangan ibu melintas di depan mataku. Ibu pasti kesepian di rumah seraya menungguku pulang, pikirku.

“Kalau memang begitu keadaannya, kamu juga boleh mengajak ibumu tinggal di sini. Yang penting kamu bicara dulu dengan ibumu. Mudah-mudahan ia mengizinkan,” kata Pak Karmin seolah tahu kalau aku memang sulit berpisah dari ibu. Tawaran berharga ini akan kusampaikan kepada ibu nanti.

“Ya, Pak. Terima kasih banyak. Saya harus segera pulang. Kasihan ibu di rumah,” aku berdiri lantas kucium tangan Bu Aisiyah. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serempak.

Keluar dari rumah Pak Karmin, hawa panas kembali menerpa. Kutapaki jalan dengan karung bergelayut di pundakku. Tangan kananku menyanggahnya. Sementara tangan kiriku menenteng plastik hitam. Plastik ini harus kujaga agar tak jatuh dan terkena najis sebab di dalamnya tersimpan pakaian untuk salat.

Kata-kata Pak Karmin dan Bu Aisiyah masih terngiang jelas di gendang telingaku. Secuil bahagia bersarang di kalbu. Mataku berbinar. Pikiranku masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seorang pria tiba-tiba berterus terang ingin menjadikanku sebagai anak angkatnya. Akal sehatku seakan-akan sulit mencernanya. Ah, ini memang pintalan takdir yang digariskan oleh Allah.
***

Aku hening dalam sujudku. Bibirku bergeming berucap syukur. Betapa agung nikmat Allah yang dianugerahkannya kepadaku. Tetes bening mengguyur pipiku. “Ya Allah, terima kasih atas limpahan kasih sayang-Mu ini,” doaku lirih.

Aku bangun dari sujud panjangku. Kualunkan tasyahhud akhir dengan khusyu’. Mataku lurus memandang sajadah biru berbahan beludru, tempatku merendah di hadapan-Nya. “Asyhadu an la ilaha illallah,” telunjuk kananku berisyarat bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Kurasakan kesejukan dan kedamaian dalam relung jiwaku. Subhanallah....

“Assalamu’alaikum wa rahmatullah.” Wajahku menoleh ke kanan lalu ke kiri. Alhamdulillah, aku masih diberi spirit untuk mendirikan salat Dhuha. Kulirik samping, ibu juga tengah bermunajat kepada Yang Maha Kuasa. Kedua kakinya yang patah membuatnya harus salat dalam posisi duduk.

“Bu, Muna sangat bahagia,” ucapku memecah keheningan pagi. Mukena putih telah kulipat rapi. Burung berkicau merdu di luar sana.

“Ibu juga, Mun. Ini anugerah Allah yang wajib kita syukuri.”

Tok..tok..tok.. Ada yang mengetuk. Segera tanganku memutar gagang pintu dan membukanya. Mungkin Bu Aisiyah, terkaku. Dan ternyata benar.

“Bu, Muna, mari sarapan dulu,” ajak Bu Aisiyah.

Tak menunggu lama, aku dan ibu keluar kamar. Kudorong kursi roda ibu. Di depan meja makan Pak Karmin dan Bu Aisiyah telah menanti kami. Di atas meja itu tersedia menu sarapan pagi yang lezat. Kontras sekali dengan menu yang bisa kumakan bersama ibu di rumah.

“Bu, Mun, jangan sungkan-sungkan. Ambil yang banyak,” Pak Karmin mempersilakan.

Hari ini begitu istimewa. Sepasang suami istri menganggapku sebagai anaknya sendiri. Berbagai fasilitas mereka berikan. Kamar luas dengan kasur yang empuk, lemari yang besar, meja belajar dan sebagainya. Tak hanya itu, mulai hari ini aku akan kembali bersua ria dengan teman-teman untuk mengais pengetahuan dari para guru. Ya, Pak Karmin akan mendaftarkanku di madrasah, tempatnya mentransfer ilmu kepada anak didiknya. Semua biaya ia tanggung.

Aku tak lagi harus berpanas-panasan di bawah terik matahari untuk menelusuri jalanan. Aku akan kembali pada habitat pembelajaran yang sempat kutinggalkan akibat keterbatasan ekonomi.

Semakin lengkap kebahagiaanku karena ibu kandungku juga diterima di sini. Jadi di rumah ini, aku punya 3 orang tua. Ibu yang melahirkanku dan Pak Karmin serta Bu Aisiyah yang mengangkatku sebagai anaknya.
Ya Allah, terima kasih telah Kau cucurkan nikmat ini padaku. Berkahilah hari-hariku. Berilah kebahagiaan kepadaku, ibuku, Pak Karmin dan Bu Aisiyah.

Tidak ada komentar: