Senin, 25 Oktober 2010

Bapak Sang Penebar Ilmu


Oleh: Hibatun Wafiroh
Wajahnya keriput pertanda usianya telah memasuki senja. Beberapa giginya telah rontok sehingga sangat kentara tatkala tersenyum. Sebagian kepalanya dipenuhi uban putih yang mengkilap meski terlihat dari kejauhan. Hanya saja itu sedikit samar karena songkok hitam selalu melekat di atas kepalanya. Seakan menjadi ciri khas dari sosok pria berumur 55 tahun bernama Masykur yang tak lain adalah bapakku sendiri.

Seorang bapak dari lima anak yang sejak tahun 80-an sudah berprofesi sebagai guru itu, selalu menenteng tas hitam sederhana berisi kitab-kitab dan pena yang akan diajarkannya kepada para murid di madrasah tempatnya mengajar, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah Ribhul Ulum, Madrasah Tsanawiyah Ribhul Ulum dan Madrasah Aliyah Ribhul Ulum. Kredibilitasnya di bidang agama tidak diragukan lagi. Berbagai literatur berbahasa Arab dari bermacam-macam disiplin ilmu pengetahuan mampu dikuasainya, seperti Nahwu, Balaghoh, Fiqh, Tauhid, Akhlak, Faraidh, Falak dan lain sebagainya. Benar-benar orang teramat istimewa yang jarang dijumpai saat ini.


Ketika status pelajar MA masih melekat padanya, ia telah mendedikasikan diri di dunia pendidikan dengan menjadi staf pengajar di MDA RU. Padahal kala itu dia tengah nyantri di salah satu pesantren di Kudus yang jarak dari rumahnya sekitar tiga jam. Sehingga dia sering pulang kampung pada saat waktu mengajarnya tiba. Baginya jarak bukanlah penghambat utama untuk mengamalkan ilmu. Rasa haus masyarakat akan pengetahuan mengetuk hatinya untuk meluangkan waktu dalam rangka menyampaikan apa yang diperolehnya di pesantren kepada mereka. Yang terpenting adalah dapat berbagi ilmu kepada sesama tanpa harus mempertimbangkan faktor untung dan rugi.

Menjadi pengajar di usia muda membuatnya memiliki banyak anak didik yang tak jarang umurnya hanya terpaut beberapa tahun darinya. Hingga sekarang pun orang-orang yang pernah ditransfer ilmu olehnya masih menaruh hormat padanya. Dia juga selalu menyunggingkan senyum ketika berpapasan dengan mereka. Senyum yang menyiratkan kerendahan dan kebaikan hatinya.

Sampai detik ini dia masih bertahan di madrasah meski dengan bisyarah (gaji) yang sangat minim. Amat jauh jika dibandingkan dengan penghasilan pegawai negeri sipil. Lagi-lagi materi bukanlah orientasinya. Ia bersedia mengajar bukan karena hasrat menjadi orang kaya dan terkenal. Dia relakan sebagian besar waktunya habis di kelas semata-mata li nasyri al ilmi al diny (menyebarkan ilmu agama). Tak pernah sekali pun terlintas dalam benaknya untuk beralih ke madrasah lain yang sekiranya bisa memberikan honor lebih. Padahal kondisinya sangat memungkinkan. Kemampuan intelektualnya yang sudah diakui akan menjadikannya mudah diterima di sekolah dan madrasah manapun. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Selain memberikan kontribusi kepada masyarakat luas, dia juga amat berjasa dalam keluarga. Dialah seorang ayah sekaligus kepala rumah tangga yang bersahaja, bijaksana dan kharismatik. Secara finansial memang dia tak bisa memberikan apa-apa. Kesibukannya di madrasah banyak menyita waktu, sehingga guru itulah satu-satunya profesi yang ditekuninya. Ya, dia tidak bekerja apapun selain di madrasah. Kebutuhan keluarga telah dipasrahkannya kepada Allah. Tiap saat dia senantiasa bermunajat kepada Sang Pencipta agar diberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang tak hanya dirasakannya sendiri, tapi juga istri dan anak-anaknya.

Sesungguhnya apa yang diperoleh bapak dari madrasah yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Ribhul Ulum Nahdhatul Ulama (YASPIRU NU) desa Kedungmutih, Wedung, Demak Jateng itu, tak bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga yang semakin banyak. Apalagi jika mengingat anak-anaknya, termasuk aku yang telah memasuki jenjang perguruan tinggi. Secara kasat-mata seakan mustahil apabila manusia dengan keterbatasan ekonomi mampu membiayai pendidikan putra putrinya yang kian hari makin mahal. Namun demikian realitanya. Dia membiayaiku bukan dengan uang, tapi dengan doa. Aku berhasil meraih beasiswa S1 dari Departemen Agama pasca lulus MA. Tentunya keberhasilanku itu tidak lepas dari ikhtiarnya.

Masih terpatri kuat dalam memori ingatanku kenangan masa lalu. Detik-detik menjelang ujian penerimaan beasiswa S1 di Semarang tak pernah kulupakan barang sedikit pun dan tak akan luntur termakan waktu. Itu terjadi pada bulan Januari, tiga bulan menjelang Ujian Nasional SLTA. Saat itu aku berjuang mati-matian mengerjakan ratusan soal di Kantor Wilayah Departemen Agama Semarang bersama peserta lainnya demi memperoleh beasiswa penuh selama empat tahun. Dan akhirnya kini aku berhasil menyabet predikat Penerima Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Depag yang menempuh studi S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kesuksesanku itu bukan karena usahaku semata. Ada banyak pihak yang turut mensupport dan membantuku dalam meraihnya. Dan orang tualah yang paling berjasa. Andaikan kala itu bapak tak peduli kepadaku tentunya saat ini aku masih bersusah-payah mencari biaya kuliah agar tak menjadi beban keluarga. Andaikan namaku tak disebutkan dalam setiap doanya, barangkali aku tak pernah ada dalam daftar PBSB Depag. Dia selalu bolak-balik ke pesantren tempatku belajar, yakni Pesantren Raudhatul Ulum Pati, untuk melengkapi persyaratan administrasi Dia yang mengantarku ke tempat tes meski sempat tersesat sampai tiga kali lantaran tak begitu paham dengan daerah Semarang.

“Fir, sewaktu dari Semarang dulu bapakmu selalu menangis siang dan malam memohon kepada Allah agar kau diberi kesuksesan. Bapakmu sedih kalau kamu tak bisa kuliah karena menguliahkanmu memang akan terasa berat. Alhamdulillah kini kau sudah bisa kuliah dengan mendapat living cost tiap bulannya,” cerita ibu yang langsung membuat air mataku meleleh. Usai tes di Kanwil Depag ternyata ikhtiyar bapak tak pernah putus. Dia tak henti-hentinya berdoa untuk kelulusanku.

Di samping itu, bapak selalu setia menemaniku, adik dan kakakku dalam belajar. Tiap kali mengalami kesulitan kami langsung bertanya kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, langsung dijelaskannya persoalan yang mengganjal dalam pikiran kami. Pastinya persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan agama. Karena perhatiannya itu, kami menjadi rajin belajar dan pandai. Kepandaian itu mengantarkan kami pada predikat juara kelas. Beasiswa SPP selama satu semester diberikan kepada madrasah sebagai penghargaan kepada siswa siswi yang berprestasi. Jadi beban bapak sedikit terkurangi berkat adanya beasiswa tersebut. Alhamdulillah kami sangat mensyukurinya.

Ya, bapak adalah manusia berkepribadian mulia. Selalu diluangkannya waktu untuk mendidik putra-putrinya. Pendidikan agama yang ditanamkannya sejak dini telah mempengaruhi watak anak-anak yang terlahir dari rahim istrinya, Fatmawati. Bukan hanya menjejali pengetahuan agama, tapi dia juga memberikan contoh dalam tindakan riil. Misalnya, tiap kali waktu shalat Shubuh tiba, ia telah stand by dengan sajadah tuanya seraya mengalunkan ayat-ayat al Qur’an. Dia membangunkan kami dan dengan sabar menunggu kami untuk shalat berjamaah. Tradisi sejak belasan tahun itu dilakukannya agar kami terbiasa pula untuk shalat berjamaah.

Satu lagi kebiasaan mulia yang melekat padanya dan jarang ditemukan pada diri kebanyakan orang, yaitu melanggengkan shalat jama’ah di awal waktu. Hampir bisa dipastikan ia selalu menjalankan kewajiban yang menjadi tiang agama Islam itu dengan berjamaah, baik di masjid, mushalla maupun rumah. Tak pernah disia-siakannya pahala dua puluh tujuh derajat kecuali jika ada hal yang memaksanya meninggalkannya.

Selama ini hanya beberapa kali aku menyaksikannya sedang khusyu’ shalat fardhu tanpa ada ma’mum di belakangnya atau imam di depannya. Itu pun karena kondisinya yang sakit pasca ditimpa musibah kecelakaan enam tahun silam. Kecelakaan itu telah menciderai tangannya sehingga ia harus tayammum tatkala hendak shalat. Untuk berjalan di masjid, kakinya terasa berat. Sedangkan di rumah tak ada laki-laki selain bapak. Akhirnya diputuskannya shalat sendirian di kamar.

“Di zaman akhir ini banyak orang yang meremehkan shalat jama’ah. Urusan duniawi telah menyibukkan mereka sehingga seolah tak ada waktu untuk sekedar mengambil air wudhu. Anakku, biasakan shalat berjamaah karena di dalamnya mengandung fadhilah yang amat agung,” nasihat bapak yang sangat menyentuh hati. Nasihat itu tak hanya dilontarkannya kepada kami, tapi jua kepada masyarakat yang disampaikannya tatkala mengisi pengajian di masjid atau acara lainnya.

Ada banyak karakter terpuji yang melekat dalam dirinya yang tak mampu diungkap dan dilukiskan dengan kata-kata secara detail. Santun dalam bertutur kata, sabar ketika dilanda cobaan, dermawan sewaktu mendapatkan kenikmatan, terbuka terhadap kritik dan saran, tak pernah marah jika mendapatkan hinaan, serta sifat-sifat mahmudah lainnya yang bersarang dalam hatinya, menjadikannya amat disayangi oleh keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dia pun memiliki kepedulian sosial yang tinggi kepada sesama makhluk Allah. Ya, dia mampu bermasyarakat dengan baik.

Dari paparan tentang kepribadian bapak di atas, nampaknya tepat jika dia menerima hadiah istimewa berupa paket umrah. Sebagai imbalan dari perjuangannya memberantas kebodohan di desanya. Sebagai ucapan terima kasih karena dia telah banyak berjasa dalam menempa jiwa keluarganya menjadi manusia yang saleh dan salehah. Sebagai pengharapan akan terciptanya kehidupan lebih baik di masa mendatang sewaktu dia telah pulang dari tanah suci. Sungguh kado spesial itu pantas diterimanya.

Bapak memang sangat mendamba pergi ke Mekkah untuk melaksanakan tawaf di sekeliling ka’bah serta ritual lainnya. Namun karena kondisi perekonomian yang lemah, terpaksa keinginannya itu hanya bisa disampaikan kepada Allah. Dia juga mengharapkan bisa berziarah ke makam Rasulullah. Akan tetapi harus tertunda karena faktor finansial. Rasa cintanya kepada sang pemberi syafaat dibuktikan dengan sering membaca salawat setiap waktu. Kepada istri dan anak-anaknya, dia selalu mengingatkan untuk memperbanyak salawat kepada Nabi. Bahkan kadang kala dia sengaja mendekati kami seraya membawa tasbih di tangannya sebagai isyarat untuk baca salawat.

Dia sangat senang ketika berkunjung ke rumah orang yang pulang dari berhaji. Seakan turut merasakan kebahagiaan usai berkunjung ke tanah suci. Lantas dengan tersenyum dia minta didoakan supaya bisa menyusul ke Baitullah. Bahkan sewaktu membahas tema haji di madrasah maupun majelis ta’lim, tak lupa dia berdoa agar dianugerahi kesempatan haji dan umrah.

Di balik matanya tersembunyi keinginan besar untuk mencium ka’bah, melaksanakan shalat di tempat-tempat mustajab, berdoa di antara jutaan manusia, beri’tikaf di Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah. Ada ribuan impian seputar Baitul Atiq yang terangkai dalam benaknya. Impian yang sepertinya sulit terwujud mengingat penghasilan tiap bulannya yang tak banyak. Namun jika Allah menghendaki, semuanya akan menjadi mudah.

Aku yakin seandainya dia pernah menginjakkan kaki di sana meski hanya sekali, tentunya semakin hari kebaikan dalam dirinya akan bertambah. Kebaikan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang. Kebaikan yang akan memunculkan kebaikan lainnya.

Dia akan menjadi manusia yang pandai bersyukur, baik kepada Allah maupun sesama manusia. Semoga Sang Khalik memberikan kenikmatan itu kepada pahlawan tanpa tanda jasa yang karena perjuangannya di masa muda, tanah kelahirannya mengalami kemajuan di bidang ilmu agama. Pahlawan yang akan selalu dikenang walau jiwa telah terpisah dari raganya.

“Labbaikallahumma labbaik. Labbaika la syarika labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka. Wal mulka la syarikat laka,” kalimat talbiyah yang pernah diajarkan oleh Rasulullah puluhan abad yang lalu itu mudah-mudahan sempat terucap dari bibir bapak seraya tawaf mengelilingi ka’bah selama tujuh kali dengan hati dipenuhi kegembiraan yang luar biasa. Amin.....

Tidak ada komentar: