Kamis, 01 Juli 2010

Buya HAMKA dan Tintanya yang Tak Kenal Kering


Oleh: Hibatun Wafiroh
HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) atau akrab dipanggul Buya HAMKA, lahir pada 17 Februari 1908/14 Muharram 1326 H, di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Abdul Karim, seorang pelopor gerakan pembaharuan (tajdid) di Minangkabau. Pada tanggal 5 April 1929 Buya Hamka menikahi Siti Raham. Kala itu usianya 21 tahun, sedangkan istrinya 15 tahun. Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan.

Pendidikan dasar Buya HAMKA dijalaninya di Sekolah Dasar Meninjau. Di usia sepuluh tahun ia melanjutkan pendidikan di Sumatera Thawalib Padang Panjang yang baru didirikan oleh ayahnya. Di sana dia mendalami pelajaran agama, termasuk bahasa Arab. Kemahiran Buya HAMKA dalam berbahasa Arab dan Inggris mendorongnya untuk menelaah karya tokoh dan pujangga asal Timur Tengah dan Barat. Dia kerap belajar secara autodidak. Kegemarannya membaca mengantarkannya menjadi intelek yang interdisipliner.


HAMKA ialah potret ulama kharismatik, alim, progresif, interdisipliner, berwawasan luas, politisi ulung yang tidak gelap mata karena kekuasaan, penulis produktif yang melahirkan puluhan buku dan pujangga terkemuka yang menyisipkan nilai-nilai moral dan agama pada setiap karyanya. Seolah sulit menemukan sosok HAMKA di era sekarang. Ia menguasai pelbagai disiplin ilmu dikuasainya.

Oleh karenanya, tak heran apabila Buya HAMKA mendapatkan gelar penghormatan dari beberapa pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1958 dia tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir. Gelar yang sama juga pernah diberikan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Selain itu, gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno pernah disematkan kepadanya dari pemerintah Indonesia.

Pribadi hal lagi yang patut diapresiasi setinggi-tingginya dari figur HAMKA, yaitu produktivitasnya dalam menulis. Semasa hidupnya ia telah menorehkan sekitar 115 karya dalam bidang sastra, sejarah, tasawuf dan lainnya yang sebagian masih bisa ditemukan dan dinikmati sampai sekarang, di antaranya: Tafsir Al-Azhar Juz 1-30, Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929), Kepentingan Melakukan Tabligh (1929), Hikmat Isra' dan Mikraj, Laila Majnun (1932), Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), Merantau ke Deli (1940), dan lainnya.

Dari sekian banyak karya Buya HAMKA, yang terbilang paling fenomenal dan menjadi referensi utama di berbagai perguruan tinggi di Asia Tenggara adalah Tafsir al-Azhar. Tafsir al-Qur’an ini merupakan karya ilmiah monumental dan bukti kontribusi terbesarnya kepada masyarakat luas.

Buya HAMKA mengawali penulisan kitab tafsir ini saat pengajian kuliah Shubuh di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, sejak tahun 1958. Hasil pengajian itu diabadikan di majalah Gema Islam. Kegiatan penulisan sempat terhambat ketika dia dipenjarakan oleh pemerintah orde lama pada tanggal 27 Januari 1964 atas tuduhan pro Malaysia. Akan tetapi, penjara fisik tak menyurutkan spiritnya. Dia tetap meneruskan penulisan Tafsir al-Azhar selama dalam tahanan. Bui sama sekali tak memandekkan pikirannya. Ide-idenya terus mengucur deras yang lantas ditangkapnya dengan menggunakan pena analisisnya hingga tersusunlah sebuah tafsir al-Qur’an 30 juz.

“Penjara bukan sekedar tempat tahanan, tetapi adalah universitas kedua,” ujar Buya HAMKA dengan lantang. Pernyataan itu tidak berlebihan. Sebab realitanya dari balik jeruji besi penjara itulah telah lahir sebuah karya agung berupa Tafsir al-Azhar.

Menelusuri pribadi Buya HAMKA, kita akan kagum menyaksikan kemuliaan karakternya. Ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat itu, bukan hanya seorang dai ulung yang dakwah dan ceramahnya menyentuh ribuan orang. Tapi dia juga seorang politisi handal yang senantiasa menegakkan kebenaran dalam kondisi apapun. Sekalipun dia tak pernah terbawa arus politik hitam yang menghalalkan segala cara. Meski menjabat sebagai Petinggi Negara, dia meneguhkan diri sebagai sosok hamba yang taat beribadah secara konsisten.

Di samping itu, sumbangsihnya dalam ranah pendidikan juga tak kalah besarnya. Dia berhijrah dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa misi mencerdaskan anak bangsa dan menyuapi mereka dengan gizi pendidikan agama Islam. Berdirinya lembaga pendidikan formal mulai TK sampai SMA di lingkungan Masjid al-Azhar adalah salah satu bukti konkretnya.

Kepedulian Buya HAMKA tak berhenti pada aksi riil. Dia semakin mendulang manfaat dengan meneguhkan eksistensi melalui dunia penulisan. Dia berjuang dengan mengangkat pena. Dan perjuangan inilah yang masih bisa dirasakan hingga kini. Karya tulisnya, baik yang berbau ilmiah maupun fiksi, telah memasuki ruang tersendiri dalam hati para pembacanya. Utamanya karya monumental Tafsir al-Azhar.

Jadi tidak salah jika Buya HAMKA dinobatkan sebagai ulama, dai, politisi, pendidik, penulis dan pujangga hebat yang mungkin akan sulit tergantikan oleh orang lain di masa sekarang. Dia menguasai segudang rumpun keilmuan. Sudah sepatutnya kita mengambil hikmah dari figur inspiratif seperti dia agar semangat kita semakin terpacu hingga akhirnya kita menjelma sebagai manusia yang hebat pula.

Tidak ada komentar: