Senin, 25 Oktober 2010

Tersingkapnya Tabir Seorang Gigolo

By: Hibatun Wafiroh
Hampir seluruh permukaan tanah kota Jakarta basah. Langit gelap. Awan hitam menggumpal di angkasa, menghalangi sinar matahari sampai ke bumi. Air hujan terkucur deras. Jalanan nampak sedikit lengang. Pejalan kaki yang biasanya mondar-mandir meramaikan suasana, kini sepi. Hanya beberapa saja yang nekat menerjang derasnya hujan dengan payung yang dibawanya untuk menghindari basah kuyup.

Di samping pintu gerbang sebuah SMA swasta di ibu kota, berdiri seorang pelajar yang sedari tadi tak berkutik dari tempatnya. Sementara siswa lain telah beranjak meninggalkan sekolah. Mungkin hanya dia yang masih bertahan di situ. Dipandanginya tiap mobil yang melintas. Hawa dingin yang ditiupkan angin tak membelokkan niatnya secuil pun. Ia tetap bertahan hingga yang dinantinya tiba.

Matanya berbinar tatkala sebuah mobil Avansa berwarna silver ditangkap pupil mata remaja berseragam putih abu-abu itu. Tas ransel masih tercantol di punggungnya. Identitas sebagai pelajar SMA langsung bisa ditebak dengan penampilan yang seperti itu. Ya, sejak bel pulang dibunyikan ia belum pulang. Ia tidak segera menuju rumahnya bukan karena hujan yang kian tak bersahabat atau karena tak punya ongkos untuk naik kendaraan. Namun janjinya kepada seseorang membuatnya demikian.

Selang kurang dari tiga menit mobil Avansa berhenti tepat di depan remaja itu. Perlahan pintu terbuka. Sebuah payung ukuran besar dibuka. Seorang wanita berparas cantik keluar dari dalam mobil. Lalu berjalan menuju si remaja dengan senyum manisnya. Usianya sekitar 36-an tahun. Tiap orang akan mengatakan bahwa ia menarik.

“Maaf Nick, kamu terpaksa menunggu lama. Tadi ada meeting mendadak di kantor,” kata wanita itu tanpa basa-basi. Disambutnya tangan remaja bernama Nick yang lantas ditarik mendekati tubuhnya untuk berlindung di bawah payung.

“Tidak apa-apa, Tante.” Sepersekian menit kemudian keduanya sudah berlalu dari tempat itu. Mobil melaju cepat. Menembus curah hujan. Membelah jalan raya. Melewati pertokoan yang berjajar di sepanjang jalan.
***

Tiga bulan sebelumnya...

Nick duduk termenung di kamarnya. Pandangannya beredar ke seluruh sudut kamar. Kedua retina matanya memandang lekat foto yang terpajang di atas tempat tidurnya. Foto dirinya dan orang tuanya lengkap dengan senyum manis mereka. Foto itu diambil ketika dia masih SMP. Sedang sekarang ia memasuki tahun kedua SLTA.

Butiran lembut bak salju tak terbendung lagi dari tanggul matanya. Kenyataan bahwa ia adalah lelaki tak membuatnya malu menangis. Toh, di kamar itu hanya ada dia seorang. Kesedihan mendera batinnya. Kepiluan sedang ia rasa.

“Pokoknya cepat ceraikan aku,” kalimat itu terus terngiang di gendang telinga Nick. Tanpa sengaja ia menyaksikan pertengkaran orang tuanya sepulang sekolah sore tadi. Keluarlah kata-kata cerai dari bibir ibunya. Sontak dia kaget lalu berlari menuju kamar dan mengurung diri di sana hingga malam tiba.

Nick, anak tunggal dari pasangan Pak Santoso dan Bu Miranda, tak ingin hidup dalam keluarga tak utuh. Ia selalu mendamba kebahagiaan yang sempat lenyap akhir-akhir ini. Tapi yang didapat justru sebaliknya. Bukannya Pak Santoso dan Bu Miranda akur, tapi malah kebencian dan pertengkaran mereka kian meledak. Pintu maaf seakan telah ditutup. Sebagai puncaknya Bu Miranda meminta cerai dari suaminya.

Remaja berumur enam belas tahun itu tergolak lemas di kasurnya. Pikirannya tak menentu. Beban kesedihan yang dirasanya terlalu berat. Dengan tangan gemetar ia memutuskan untuk menghubungi sang ibu.

“Ibu, kapan pulang? Nick takut di rumah sendirian,” kata Nick dengan nada sedikit merengek. Sebetulnya di rumah sendiri bukanlah hal yang asing baginya. Sehari-hari ia tinggal di rumah hanya ditemani pembantunya, Bi Janah dan Mang Qamar. Pintanya kepada ibunya untuk pulang semata-mata agar kesedihan menjauh darinya. Setidaknya dia akan terhibur dengan sentuhan lembut ibunya. Itu yang dia harap.

“Nick, mungkin malam ini ibu tidak pulang. Ibu ada rapat penting dengan klien di luar kantor,” jawab Bu Miranda dari seberang sana.

“Kenapa Ibu tidak sayang kepada Nick. Di sini Nick butuh Ibu. Nick benar-benar takut,” dengan suara terbata-bata Nick memohon kepada ibunya untuk pulang.

“Nick kan sudah besar. Jadi tak boleh takut lagi. Masak cowok kok penakut,” ujar ibunya. Sebetulnya muncul dalam hati Bu Miranda untuk kembali pulang, namun kondisinya yang sedang dilanda masalah membuatnya lebih memilih menginap di hotel.

Tut..tut... Bu Miranda mematikan telepon. Nick menggigit bibir. Ayah dan ibu yang selalu diharapkan ada di sampingnya sebelum ia memejamkan mata untuk tidur, tidak jua datang. Mereka terlalu sibuk dengan urusan kantor. Nick merasa tersisihkan. Harta melimpah yang tersedia di rumah, sama sekali tak mendatangkan kebahagiaan. Yang ia harapkan adalah orang tuanya segera rukun.

Kejenuhan Nick mencapai titik klimaksnya. Daripada terus menerus meratapi kesedihan, ia mencari alternatif lain yang kiranya bisa membuatnya tersenyum kembali. Sebuah diskotek menjadi tempat peraduannya. Dia memang biasa menghabiskan waktu di tempat hiburan semacam diskotek tatkala sedang dilanda problem.
Di tengah menikmati irama musik khas diskotek, seorang perempuan cantik seumuran Bu Miranda menghampiri Nick. Perempuan bernama Rani itu menawarkan kehangatan bak seorang ibu. Tak lama, mereka langsung akrab. Dengan lancar Nick menceritakan kegamangannya. Dari bibirnya mengalirlah kisah pertengkaran dahsyat antara ayah dan ibunya yang seakan menjadi makanan sehari-hari. Sebagai puncaknya ibunya meminta cerai dari ayahnya. Dan Nick tak siap menghadapi realita demikian.

“Nick, ikut ke rumah Tante yuk. Tante jamin kamu akan merasa bahagia di sana. Bagaimana?,” ajak Tante Rani kepada Nick yang setengah tak sadarkan diri akibat meneguk minuman beralkohol.

“Ya, Tante,” jawab Nick mengangguk.

Dari perkenalan singkat malam itu Tante Rani kerap mengajak Nick jalan-jalan ke luar sekedar mencari hiburan dan menyegarkan pikiran. Hingga akhirnya di suatu malam perempuan berstatus janda itu menginginkan Nick melakukan sesuatu layaknya seorang suami. Dengan bujuk rayunya, Nick pun terperdaya dan terjadilah adegan bejat itu. Nick yang masih remaja meniduri perempuan yang jauh lebih tua darinya.

Usai kejadian tak bermoral itu, Nick semakin ketagihan. Berulang kali ia tidur di kamar Tante Rani dengan hanya berbalut selimut tebal. Orang tuanya sama sekali tak khawatir ketika Nick tidak pulang. Dia benar-benar dianaktirikan. Sedang Tante Rani tinggal berdua dengan pembantunya sehingga ia bebas melakukan apapun sesukanya.

Sebulan kemudian pengadilan agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan cerai Bu Miranda terhadap suaminya. Sejak saat itu mereka resmi menyandang predikat janda dan duda. Rumah terasa bagai neraka yang tak pernah memberikan ketenangan bagi penghuninya. Khususnya Nick.

Untuk melupakan kesedihan, Nick mengunjungi rumah Tante Rani. Kenakalan Nick semakin menjadi-jadi. Kini Nick tidak hanya melayani Tante Rani, tapi dia juga menerima pesanan dari orang lain. Dia persis seorang gigolo yang senantiasa siap ketika ada perempuan butuh jasanya. Jasa untuk menyenangkan sang pelanggan dengan cara melakukan hubungan seksual. Uang dari pekerjaan nista itu dipakainya untuk berfoya-foya. Padahal sejatinya ia sudah berlimpah harta.
***

Mobil Avansa silver itu terus dipacu oleh pengemudinya dengan kecepatan tinggi. Nick yang ada di dalamnya hanya membisu dan mematung. Dia tak bersemangat bicara. Badannya kurang sehat. Rasa sungkannya kepada Tante Rani membuatnya terpaksa bersedia memenuhi hasrat pelanggannya. Entah siapa dia tak tahu.
Tiba-tiba Hp Tante Rani berdering.

“Ya, beres. Dia sudah bersamaku. Kamu segera ke hotel ya,” kata Tante Rani kepada sang penelepon.

“Nick, barusan yang menelepon itu adalah pelanggan yang akan kamu layani nanti. Dia sebaya dengan Tante. Parasnya cantik. Tapi sayang dua bulan lalu kehidupan rumah tangganya hancur. Sekarang dia menjanda dan merasa kesepian tanpa kehadiran seorang pria. Oleh karena itu, ia butuh orang seperti kamu, Nick,” kata Tante Rani memecah keheningan. Tatapannya lurus ke depan, mengendalikan setir mobil.

“Iya, Tante. Nick akan berusaha melayaninya sebaik mungkin,” jawab Nick singkat. Lalu mereka kembali terdiam hingga sampailah mobil itu di parkiran hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Selatan.

“Nick, ini kunci kamarnya. Sebentar lagi dia akan sampai di sini. Kamu tunggu di kamar. Tante langsung pulang saja,” ujar Tante Rani seraya menyerahkan sebuah kunci kamar. Sebelumnya ia memang telah memesan kamar yang dikhususkan untuk Nick dan perempuan yang akan dijajahi Nick. Transaksi lendir itu akan dilakukan di penginapan, bukan di rumah Tante Rani.
***

Sepuluh menit Nick menunggu di kamar. Pakaian seragam sudah dilepasnya. Dia terlihat tampan dengan balutan kaos biru dipadu jins yang dibelikan Tante Rani.

Tok...tok...tok...

Seseorang mengetuk pintu. “Pasti itu dia,” pikir Nick, lantas membukakan pintu. Wajahnya seketika berubah masam ketika tahu bahwa yang mengetuk pintu itu adalah ibunya. Ibunya pun tak kalah kagetnya melihat putranya berada di kamar itu.

“Lho Nick, kenapa kamu di sini?,” tanya Bu Miranda .

“Ibu sendiri juga kenapa di sini?,” Nick balik bertanya.

“Ibu mau ketemu seseorang di sini,” kata Bu Miranda.

“Siapa? Dan kenapa harus di hotel, Bu?,”

“Ibu mau bertemu Tante Rani. Dia teman lama ibu sewaktu di SMA.”

Bagai disengat listrik, Nick tergeletak lemas. Mukanya merah padam menahan malu. Matanya menunduk. Dia tak mampu berucap. Ibunya terus mendesak. Akhirnya Nick berterus terang bahwa dia di kamar itu juga atas permintaan Tante Rani. Dan di situ ia akan melayani seseorang yang ternyata adalah ibunya sendiri.

Petir dan halilintar yang saling bertabrakan di luar hotel seakan merasakan apa yang dirasa Bu Miranda dan Nick. Angin yang menerobos dari pendingin ruangan di kamar itu menjadi saksi bisu akan kebusukan dan nistanya diri mereka. Selama sekian lama mereka berhasil bersembunyi di balik topeng manis mereka. Sekarang semuanya telah tersingkap. Nick sang gigolo dan ibunya yang gemar bermain dengan para gigolo.
Ini merupakan kejadian paling memilukan dalam hidup seorang ibu dan anak. Si anak, Nick tak pernah menyangka kalau profesinya sebagai gigolo bakal terungkap setragis ini. Tak pernah terlintas dalam benaknya, akan menjadi pemuas nafsu dari wanita yang teramat disayanginya itu. Demikian pula dengan sang ibu. Bu Miranda tak habis pikir kalau akan menggunakan jasa gigolo untuk memusnahkan rasa kesepiannya. Dan ternyata gigolo kali ini adalah putra kandungnya sendiri.

Dengan sama-sama menundukkan kepala, mereka meninggalkan hotel. Bibir mereka terkatup rapat. Mata mereka berkaca-kaca. Ada luka menganga di hati. Sejak kejadian itu mereka insaf. Mereka berjanji tak mengulangi perbuatan itu. Bu Miranda akan berusaha menjadi ibu yang baik. Nick pun bertekad menjadi anak yang penurut.

Tidak ada komentar: