Sabtu, 23 Mei 2009

Keringat dan Air Mata Tinta


Tak terasa malam makin larut. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang sedikit demi sedikit berkurang. Manusia-manusia yang hidup di dunia pun tak lagi terdengar suara dan jeritannya. Hanya beberapa persen saja dari mereka yang masih bertahan dengan aktivitasnya walau jarum jam telah merangkak ke angka satu. Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk bekerja di malam hari. Sungguh pekerjaan yang bagi kebanyakan orang sangat berat, sebab pada umumnya malam dimanfaatkan untuk tidur bukan untuk bekerja. Tapi apa boleh buat, keberuntungan belum berpihak pada mereka. Dan ada pula yang telah kembali dari pengembaraannya di dunia maya untuk mengisi daftar hadir di hadapan Allah. Mereka sengaja bangun melawan setan-setan yang terus menggodanya dengan bisikan halus nan membius hanya untuk melaksanakan sholat Tahajjud di pertigaan malam yang terakhir. Lantas aku termasuk ke dalam segmen mana?



Jam satu malam aku belum tidur sebab aku masih asyik di depan komputer. Bukan karena main game atau mengerjakan tugas kuliah. Aku tak terlalu suka game dan aku punya waktu khusus untuk menyusun makalah, yaitu sore atau setelah Isya’ hingga jam sembilan. Selain waktu itu, aku sibuk di luar. Entah sibuk kuliah atau berorganisasi. Di atas jam sembilan aku harus konsekuen dengan managemen waktu yang sudah kubuat beberapa bulan yang lalu, yakni menulis. Ya, aku harus menyisihkan sedikit waktu untuk hobiku yang satu itu. Kelak aku ingin menjadi seorang penulis kaliber yang mampu menyedot perhatian banyak orang karena keagungan karyanya. Untuk itu, aku harus mau dan membiasakan menulis mulai sekarang.

Dalam sehari minimal aku harus menulis selama satu setengah jam. Itu pun aku tak mentarget berapa banyak halaman yang harus kutulis. Yang terpenting bagiku adalah konsisten dalam menulis. Masalah kuantitas itu urusan nanti. Adapun kalau masih ada ide-ide yang belum tertuangkan dalam bentuk tulisan, maka aku akan membiarkan waktu terus berjalan sedangkan aku tetap berada di depan komputer. Sayang kalau sebuah ide dan gagasan terbuang begitu saja. Scripta manent verba volant adalah moto hidupku. Aku tak ingin seperti kebanyakan orang yang setelah mati tak dikenal lagi oleh generasi sesudahnya. Aku ingin seperti Imam Syafi’i yang masih dikenang oleh umat Islam melalui karya-karyanya yang monumental dan kitab-kitab yang ia tulis itu masih dikaji sampai saat ini. Aku ingin berjiwa sastrawan seperti Ibn Hazm al Andalusi yang telah mengarang sebuah kitab fenomenal dan menggetarkan hati orang yang membacanya, yakni Thuqul Hamamah. Suatu saat nanti aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai kontribusi bagi masyarakat di sekitarku. Khoirun nas anfa’uhum linnas. Prinsip itu benar-benar ingin kurealisasikan. Semoga ini bukan hanya angan-angan belaka.

“Millah, ayo tidur. Apa kamu nggak ngantuk? Ini lho sudah jam dua belas malam,” kata Ainun menyarankanku tidur supaya aku tidak mengantuk ketika mengikuti perkuliahan besok. Tapi aku masih enggan meninggalkan kursi yang sejak jam sepuluh kududuki.

“Terima kasih. Tapi aku masih belum mengantuk.” Jawabku singkat.

“Ya sudah kalau begitu. Selamat belajar. Good luck.” Dia lantas menaikkan selimut birunya dan segera menemui orang yang telah menantinya di alam mimpi.

Di Surabaya aku tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan tiga kamar tidur yang dihuni oleh enam orang. Aku tidur sekamar dengan Ainun. Bagiku dia sahabat yang sangat baik. Hampir bisa dikatakan bahwa kami tidak pernah bertengkar meski hanya pertengkaran kecil. Kami hidup dengan penuh kedamaian. Aku menganggapnya sebagai saudara. Demikian juga dengannya. Perbedaan daerah tidak terlalu kami permasalahkan. Aku dari Semarang, Jawa Tengah, sedangkan dia dari Medan,Sumatera Utara. Dalam berkomunikasi sehari-hari kami menggunakan bahasa Indonesia. Namun terkadang disisipkan bahasa Jawa dan Medan supaya kosakata yang kami ketahui makin banyak.

Nampaknya dia sekarang sudah terlelap tidur. Aku harus melanjutkan misiku, yakni menulis. Aku telah berjanji kepada diri sendiri dan orang-orang terdekatku untuk segera menyelesaikan naskah buku yang masih dalam tahap penggarapan ini. Dan akhir bulan ini adalah deadlinenya. Rencananya awal bulan harus sudah ada di meja penerbit. Untuk itu aku mesti bekerja keras dalam menyelesaikannya. Sebagai pengingat dan penyemangat, maka telah kutulis dengan font yang amat besar di sidebar yang ada di sisi kanan komputerku sebuah tulisan simpel yakni DEADLINE AKHIR BULAN.
***

Seperti biasa aku bangun dari “kematian sesaatku” pada jam setengah empat. Kuayunkan kedua kakiku menuju kamar kecil di samping kamarku, yakni al hamam (kamar mandi). Kubasuh muka dengan air yang menyegarkan. Seketika rasa kantuk yang menderaku hilang. Mata yang semula sempit langsung terbuka lebar. Dinginnya air membuat bulu kudukku sedikit gemetar. Ya, aku memang rentan terhadap hawa dingin. Di saat bergelut dengan tulisan di depan komputer pada malam hari saja aku harus menyiapkan jaket, selimut dan kaos kaki. Barangkali di tengah-tengah menulis, hawa dingin menghampiriku. Namun dinginnya air di waktu fajar tak membuatku jera. Keinginan bertaqarrub ilallah mengalahkan segalanya.

“Allahu Akbar.” Aku bertakbir mengawali shalat. Dalam hati kutancapkan niat melaksanakan tahajjud berbarengan dengan ucapan takbir yang keluar dari bibirku. Meskipun aku belum bisa menjalankan kewajiban shalat dengan maksimal, secara dzahir dan batin, namun aku masih tetap berusaha.

Di rumah ini tak hanya aku yang terbiasa shalat malam. Nisa’, Ana, Laila dan Fitit juga terbiasa mendirikannya. Bahkan Ainun lebih rajin. Dia bangun lebih awal daripada aku. Usai shalat dia langsung tadarrus al Quran. Suaranya yang merdu dalam melafalkan ayat al Qur’an membuat suasana fajar makin damai dan tenang. Tiap hari hampir bisa kuprediksi lebih dari dua juz ayat al Qur’an yang ia baca. Berbeda denganku yang hanya beberapa lembar saja.

Setengah jam kemudian adzan Shubuh terdengar dari speaker beberapa masjid dan mushalla di sekitar rumah kontrakanku. Suara para muadzdzin menggelegar, membangunkan jiwa yang sempat tak sadarkan diri. Mengusir setan-setan yang sempat menemani manusia yang tak diawali doa ketika tidur. Suasana hening membuatnya semakin terdengar keras. Aku dan Ainun perlahan menjawab adzan dengan khidmat.

Usai melaksanakan shalat Qabliyah Shubuh, kami segera menyusun shaf untuk shalat berjama’ah. Di rumah ini memang ada kamar khusus yang bisa disebut dengan mushalla mini. Aku rasa pemilik rumah benar-benar memperhatikan urusan agama, terutama yang berkaitan dengan shalat. Adanya mushalla di dalam rumah sudah cukup menjadi bukti akan hal itu.

Selesai shalat dan membaca beberapa ayat dalam al Quran, hati terasa damai. Tak ada sesuatu apapun yang mengganjal meski hanya sebesar dzarrah. Tampaknya benar suatu ungkapan bahwa salah satu obat penyakit dalam hati adalah membaca al Quran. Namun jika ditilik lebih lanjut, maka pada hakikatnya semuanya tergantung subjek yang membaca. Jika dia benar-benar khusyu’ dan berangan-angan ketika tadarrus, kedamaian dan kebahagiaan akan ia peroleh. Tapi juga masih ada ribuan bahkan ratusan ribu manusia di dunia yang masih suka berbuat maksiat walaupun tiap hari al Quran telah ia “telan.” Semoga aku termasuk kelompok yang pertama.

Tak kusadari ternyata bulan Mei hampir habis. Lima hari lagi bulan ke enam dari kalender Masehi akan tiba. Dan Alhamdulillah naskah buku yang kugarap sejak tahun lalu sudah dalam tahap finishing. Tinggal menambahi kata pengantar, pendahuluan dan sedikit perbaikan di sana-sini. Aku harus menyampaikan kabar gembira ini kepada keluargaku. Aku tak mau merasakan kebahagiaan sendirian. Aku tak mau menyembunyikan suatu kebahagiaan. Tanpa membuang waktu, langsung kuambil handphonku dan kuketik beberapa kata di layarnya.

“Assalam. Alhamdulillah naskah buku yang kutulis hampir selesai. Doakan semoga awal bulan depan sudah siap dikirimkan ke penerbit. Terima kasih”

Aku juga mengirim sms yang sama kepada saudara perempuanku yang sedang menempuh studi di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Tak lama kemudian terdengar bunyi dari Hp-ku sebanyak dua kali pertanda ada sms masuk. Itu adalah pesan singkat dari keluarga yang amat kusayangi. 

Aku sangat bersyukur memiliki keluarga seperti mereka. Bagiku mereka adalah segala-galanya. Dalam hidup ini harta paling berharga yang kupunyai adalah mereka. Aku tak mau menyakiti hati mereka. Aku ingin membahagiakan mereka. Aku tak ingin kesedihan menghinggapi mereka. Aku tak ingin melihat air mata jatuh dari kedua pelupuk mata mereka. Aku ingin melihat senyuman yang selalu mengembang di bibir mereka. Aku akan sedih jika mereka sedih. Untuk merealisasikan semua itu, aku mesti bergerak. Aku tak boleh hanya bertamanni saja. Aku harus mewujudkannya dalam tindakan nyata, bukan hanya keinginan yang terkubur dalam hati. Salah satu bukti cinta dan sayangku kepada mereka adalah penulisan naskah buku. Akan “kupersembahkan” naskah ini untuk mereka.

“Millah, aku mau berangkat kuliah dulu. Assalamu’alaikum.” Ainun berpamitan padaku. Perbedaan fakultas yang kami pilih menyebabkan kami jarang berangkat bersama.

Hari ini aku masuk kuliah jam dua belas. Untuk mengisi waktu luang, aku akan pergi ke perpustakaan. Akan kusibukkan diriku pada buku-buku yang tertata rapi di rak yang berjajar tinggi. Namun sebelum melangkahkan kaki ke tempat yang kaya akan buku itu, terlebih dahulu aku menelaah materi mata kuliah yang mungkin akan diajarkan hari ini supaya ketika di kelas aku sudah siap menerima transferan ilmu baik dari dosen maupun kawan yang presentasi.
***

Cerahnya pagi ini tak secerah suasana hatiku. Aku sedang panik. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang. Aku tak bisa tenang. Ini kali pertamanya aku mengalami hal seperti itu. Shalat sudah kudirikan. Al Quran telah kubaca. Tapi bayangan ketakutan masih tetap ada. Ini berawal ketika aku menyalakan komputer. Di tengah pengetikan, tiba-tiba terjadi trouble. Komputerku tak bisa dioperasikan. Kursor yang seharusnya bisa digerakkan, mendadak berhenti begitu saja. Sehingga aku mematikannya dengan jalan pintas, yaitu menekan tombol power yang ada pada CPU. Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku sudah berusaha tenang menghadapi semua itu, namun masih sulit.

“Ainun, gimana nih?,” aku mengeluh pada Ainun.

“Mil, kamu tenang aja. Aku punya teman yang biasa menangani kerusakan komputer. Barangkali dia bisa membantumu sehingga komputermu bisa digunakan lagi. Nanti aku akan coba hubungi dia. Semoga dia bisa.” Ainun menawarkan sebuah solusi yang membuatku sedikit lega.

“Terima kasih ya,” ucapku.

“Sama-sama. Dulu laptopku juga pernah error. Lalu kuserahkan ke temanku itu. Dan Alhamdulillah bisa sehat sampai sekarang. Katanya sih ada virus dan harus diinstal ulang. Karena aku tak begitu paham dalam bidang teknologi. Aku langsung menerima saran yang ia tawarkan, yaitu diinstal ulang. Dan ternyata setelah itu laptopku bisa segar kembali. Penggunaannya pun makin enak dan nyaman. Aku bersyukur punya teman seperti dia. Namanya Mas Niam. Dia kuliah sefakultas denganku, namun beda jurusan.” Ainun menceritakan panjang lebar mengenai pengalamannya.

Kepanikan, kebingungan dan ketidaktenanganku kiranya bisa dimaklumi. Aku memiliki komputer sejak tiga bulan yang lalu. Itu pun aku tak membeli barang yang baru. Harganya satu juta lebih sedikit. Prosesornya masih pentium tiga. Jadi kerusakan komputer mungkin juga dipengaruhi oleh kualitasnya. Seandainya aku memiliki komputer yang lebih baik dari itu, bisa diprediksi kerusakan tidak akan terjadi. Faktor kebutaanku terhadap teknologi juga melatarbelakangi diriku bersikap berlebihan dalam menghadapi hal itu. Kalau saja aku ahli dalam menangani masalah-masalah kerusakan komputer, mungkin aku akan bisa bersikap tenang. Atau bahkan mungkin akan menganggap seperti tak ada problem. 

Namun bagaimanapun juga aku harus bersyukur. Dalam urusan keduniaan aku harus melihat orang yang berada di bawahku. Jangan melihat mereka yang lebih tinggi dan mulia derajatnya, yang memiliki banyak harta dan bisa membeli apapun yang mereka inginkan. Aku tak boleh iri dengan mereka. Unzhur ila man huwa asfala minkum. Wa la tanzhur ila man huwa fauqakum. Demikian yang diajarkan oleh Ayah kepadaku semenjak aku masih berusia sebelas tahun. Ungkapan itu masih selalu kuingat supaya aku senantiasa menjadi orang yang bersyukur.

Dua jam kemudian, tepatnya jam sembilan lebih seperempat, Mas Niam tiba di tempat kontrakanku. Ia datang sendirian. Di pundaknya tergantung sebuah ransel agak besar. Entah isinya apa aku kurang tahu. Mungkin ada kaitannya dengan komputer.

“Mas, kenalkan. Ini temanku. Namanya Millah. Dia dari Fakultas Syari’ah.” Ainun memperkenalkan diriku kepada cowok yang ada di sampingnya. Perkenalan kami tak disertai jabatan tangan karena aku tak biasa menyentuh kulit laki-laki lain. Bagiku itu adalah tabu. Dulu sebelum memasuki dunia kampus pergaulanku dengan lawan jenis sangat dijaga ketat oleh kedua orang tuaku. Mereka tak ingin melihat aku dekat dengan siapa pun yang bukan mahram. Pendidikan seperti itu kuterima sejak kecil, sehingga kebiasaan itu secara perlahan tertancap dalam diriku. 

“Millah, gimana kalau komputermu aku bawa dulu?,” tanya Mas Ni’am 

“Ya Mas, kalau itu memang yang terbaik, aku oke-oke saja.” Jawabku mantap. Aku telah menaruh kepercayaan kepadanya. Aku yakin dia berhati baik yang tak mungkin ingin berbuat jahat padaku. Aku yakin apa yang dia lakukan demi kebaikan komputerku. Termasuk membawa pulang ke rumahnya.

Sesaat kemudian perangkat komputer sudah siap diangkat. Aku dan Ainun yang membawanya keluar. Karena tidak mungkin seorang cowok masuk ke rumah kontrakan kami. Siapa pun orangnya kalau dia memiliki jenis kelamin pria, maka ia dilarang keras memasuki rumah yang dihuni oleh cewek semua.
***

Hari selalu berganti setelah dua puluh empat jam. Bulan akan berubah setelah mencapai tiga puluh hari. Tahun akan bertambah apabila telah melewati dua belas bulan. Dua hari lagi bulan Mei akan habis. Ada dua hal yang membuatku bahagia. Pertama, aku akan segera ke penerbit untuk menawarkan naskah buku. Kedua, Mas Ni’am akan mengantarkan laptopku dalam keadaan normal hari ini. Dua hal itu patut kusyukuri. Di tengah-tengah lamunanku itu, tiba-tiba handphoneku bergetar. Aku sengaja mensetting getar karena aku akan berangkat kuliah beberapa saat lagi. Kubuka dan kubaca sms yang baru masuk. Dan ternyata itu sms dari Mas Ni’am.

“Assalam. Millah, sekarang aku sudah berada di depan rumah kontrakanmu. Mau mengantarkan komputermu. Apa kamu bisa keluar sekarang?”

“Ya Mas, tunggu sebentar” Balasan sms dariku. 

Aku keluar kamar dengan mata berbinar. Bunga-bunga kebahagiaan menaburi hatiku. Kali ini aku tak ditemani Ainun sebab dia telah berangkat kuliah sejak pagi. Bayangan akan mengunjungi penerbit tergambar jelas di kedua pelupuk mata. Kata demi kata coba kurangkai untuk menghadapi pihak penerbit dua hari yang akan datang.

“Mas, terima kasih telah bersedia membantuku,” ucapan terima kasih tulus keluar dari kedua bibir dan hatiku. Aku benar-benar berterima kasih kepadanya.

“Sama-sama. Nanti kalau masih ada kerusakan, bilang saja kepadaku. Insya Allah aku akan membantumu lagi.” Dia menawarkan diri.

“Wah Mas, aku tak tahu harus bilang apa padamu. Yang pasti aku sangat berterima kasih.”

“Ya sudah, aku mau ke kampus. Jam sepuluh nanti aku ada kuliah. Assalamu’alaikum.” Ia mengakhiri pertemuan dan beranjak meninggalkan halaman kontrakanku menuju kampus tercinta sambil menaiki sepeda motor.

“Wa’alaikumsalam,” jawabku.

Satu per satu kumasukkan perangkat komputer yang tergolong rekah itu ke dalam kamar. Karena seperempat jam lagi kelas akan dimulai, maka kubiarkan saja komputer tergeletak di dalam kamar. Aku akan merapikannya nanti setelah pulang dari kampus. Sekarang aku harus bisa tenang. Pikirku.
***

Kebahagiaan yang kurasakan di pagi dan siang hari tergantikan kesedihan yang amat mendalam. Sedih bukan karena komputerku error lagi. Juga sedih bukan karena hasil instal ulang yang dilakukan oleh Mas Niam kurang baik. Aku puas dengan semua itu. Akan tetapi file naskah bukuku tak kutemukan. Aku telah mencarinya di hampir semua folder di komputerku, namun hasilnya nihil. Aku ingat betul menyimpan file yang merupakan separuh dari hidupku itu di Data D tepatnya ke dalam sebuah folder yang kunamai dengan Millah. Aku ingat betul akan hal itu.

Berulang kali aku mencarinya. Tak hanya satu atau dua kali. Ketelitian dan kecermatan telah kucurahkan untuk mencari file yang tinggal tahap pengeditan itu. Aku tak sendiri mencarinya. Ainun menemaniku sedari tadi. Dia turut mencarikan, tapi lagi-lagi hasilnya nihil alias mengecewakan. Oh, di manakah naskah buku yang kutulis dengan kerja keras itu? Oh, ke manakah naskah itu bersembunyi? Tolong jangan permainkan aku. Saat ini aku benar-benar ingin kamu kembali. Kataku dalam hati.

“Ainun, tolong tanyakan ke Mas Ni’am. Aku sungkan mau menanyakannya sendiri.” Ainun satu-satunya teman yang tahu akan misi rahasiaku itu langsung meraih Hp-nya yang ada di atas meja.

“Ya, Mil.”

Beberapa menit kemudian ada balasan dari Mas Ni’am.

“Maaf, aku juga kurang tahu hal itu. Kalau memang tidak ditemukan berarti hilang terkena virus ketika diinstal ulang tadi malam.”

Sms balasan darinya membuatku semakin sedih. Mataku mulai berkaca-kaca. Perlahan tapi pasti butiran lembut bak salju keluar dari kedua pelupuk mataku. Aku tak bisa menahan tangis. Tubuhku roboh. Wajahku pucat. Suaraku parau. Segera kumatikan komputer dan kuambil selimut untuk tidur. Sejatinya aku tak bisa memejamkan mata. Aku tak mau Ainun melihat air mataku. Itulah kenapa aku menutup mataku dengan selimut. Kini aku menangis. Menangisi nasib yang baru saja terjadi. Menangisi takdir dari Allah yang baru saja diguratkan kepadaku. Kesedihan yang luar biasa sedang menderaku. Seakan-akan tak ada tempat lagi yang mau menerimaku sebagai penduduknya. Seakan-akan cita-cita menjadi penulis luntur seketika. Kakiku terlalu linu untuk menginjak tanah di permukaan bumi. Tanganku nyeri tak mampu memegang pena lagi. Harapanku pupus sudah.

Di tengah-tengah kesedihanku itu, aku segera memberi kabar kepada orang terdekatku, yaitu keluarga yang selalu kurindukan. Aku tak bisa berucap apapun. Dalam kondisi seperti ini aku teringat dengan masa laluku yang juga sangat menyedihkan dan memilukan.

Empat bulan yang lalu di saat aku masih kerepotan ketika mengerjakan tugas kuliah sebab komputer belum kupunyai, sebenarnya aku juga mengalami hal serupa. Aku kehilangan naskah yang telah mencapai separuh perjalanan. Kejadiannya bermula ketika flashdiskku dipinjam oleh salah satu teman untuk menyimpan data dalam beberapa hari. Usai dikembalikan, aku cek untuk memastikan keadaan file-fileku baik-baik saja. Namun aku kaget, tertegun dan heran. Aku tersentak kaget karena di dalamnya hanya ada dua file dengan menggunakan program Microsoft Office Word 2007. Itu pun bukan milikku, tapi milik Mia, teman yang telah meminjam flashdiskku. Lalu ke manakah file naskah bukuku berada. Apakah Mia telah memindahkannya ke tempat lain? Ataukah.....? Oh tidak. Aku tak bisa membayangkan seandainya itu benar-benar terjadi.

Dan ternyata prediksiku tidak meleset. Apa yang kukhawatirkan benar-benar suatu kenyataan. Selama di tangan Mia, flashdisk yang kubeli dengan menyisihkan uang saku dari rumah itu sering dimasukkan ke komputer yang berbeda-beda. Sehingga berulang kali terkena virus dan harus discan. Ketika discan di salah satu komputer itulah semua dataku terhapus secara otomatis. Padahal aku masih ingat betul bagaimana susahnya diriku ketika menulisnya. 

Di tengah terik matahari di saat jam kuliah tak ada, aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke rental. Saat itu Ainun belum punya notebook. Tak ada maksud lain selain mengetik. Mengetik makalah adalah hal yang biasa kulakukan, namun ada satu hal yang menjadi prioritas utamaku setelah kuliah yaitu mengetik naskah buku. Ya, aku ingin menjadi seorang penulis yang karyanya dapat dimanfaatkan oleh para pembacanya. Aku ingin menyebarkan ilmu melalui media tulisan. Bagiku tulisan mempunyai nilai lebih daripada hanya sekedar mengucapkan. Ilmu yang diabadikan dengan tinta akan lebih mengesankan sebab tak habis dimakan masa. Sampai kapan pun masih bisa dinikmati walaupun si empunya telah bersatu dengan tanah.

Perjuanganku selama beberapa bulan untuk menjadi The Smart Writer tak membuahkan hasil. Naskah yang kutulis dengan perantara komputer di rental dengan biaya yang cukup mahal tak menghasilkan apa-apa. Seakan-akan apa yang kukerjakan selama ini sia-sia. Tapi semangatku tak boleh kendor. Aku harus bangkit dari keterpurukan. Aku tak boleh berlama-lama larut dalam kesedihan. Untuk menjadi seorang penulis tidaklah mudah. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum predikat sebagai penulis disematkan kepadaku. Sms-sms dari keluarga merupakan spirit yang luar biasa bagiku.

“Dek Millah, Mbak turut sedih atas musibah yang menimpa kamu. Semoga ini merupakan awal dari kesuksesan yang akan kamu peroleh di kemudian hari.”

Sms yang senada juga dikirimkan oleh orang tuaku. Aku sungguh terharu. Sudah selayaknya perhatian yang mereka berikan kubalas dengan yang lebih baik. Itulah kenapa aku mulai menulisnya kembali meski dengan semangat dan harapan yang agak redup.

Dan alhamdulillah tak lama kemudian ayah dan ibu memenuhi permintaanku. Aku dibelikan komputer. Harga dan kualitas yang pas-pasan tak menjadi problem. Bisa digunakan untuk mengetik sudah cukup. Fasilitas-fasilitas lainnya untuk saat ini belum terlalu penting. Mensyukuri apa yang telah ada adalah yang terbaik daripada membayangkan hal yang lebih tinggi dari itu.

Sejak komputer berada di kamarku, aku makin semangat untuk menulis. Sesibuk apapun, aku tak pernah meninggalkan komputer. Dalam kondisi bagaimanapun aku tetap menyempatkan waktu untuk menulis. Writing adalah satu dari sekian banyak aktivitas yang harus kulakukan. Akan tetapi spirit itu, harapan itu, cita-cita itu tiba-tiba mengendur karena naskah yang kutulis untuk kedua kalinya lenyap.
***

Mulai sekarang aku harus lebih konsentrasi pada sebuah misi rahasia. Misi yang tak akan pernah terwujud tanpa adanya niat yang tulus dan tekad yang bulat. Kini kegiatan selain perkuliahan dan menulis harus kutinggalkan. Biarlah untuk sementara aku tidak bersilaturrahim dengan teman-teman seperjuangan dalam organisasi, asalkan naskah bukuku lancar dan cepat selesai. Pengalaman-pengalaman pahit masa lalu seyogianya kujadikan pelajaran berharga untuk mencapai puncak kesuksesan. Kegagalan dalam menyusun naskah buku hanyalah segelintir dari perjuangan untuk memperoleh predikat penulis. Bukankah penulis-penulis kaliber dunia juga pernah merasakan kegagalan sebelum kesuksesan mereka genggam. Naskah yang hilang akibat virus bukanlah akhir dari hidupku. Aku harus bangkit. Barangkali di balik semua kejadian itu, Allah telah menyiapkan suatu kemuliaan untukku. Selain itu aku juga sebaiknya memperbaiki niat. Agar karyaku nanti benar-benar dapat memberikan manfaat untuk orang lain terutama untuk diriku sendiri.

“Millah, yuk kita berangkat sekarang.” Perkataan Ainun membuyarkan lamunanku. Ya, kali ini aku telah berjanji kepadanya untuk mentraktir makan siang. Kebetulan hari ini hari Sabtu yang secara otomatis tidak ada aktivitas perkuliahan apapun di kampus. 

“Ayo,” jawabku.

Sesaat kemudian kami telah sampai di sebuah warung sederhana. Pemilik warung segera menyodorkan menu masakan dan menyiapkan apa yang kami pesan. Kami makan dengan lahapnya. Rasa lapar menambah kenikmatan makanan yang ada. Memang makan ketika dalam keadaan lapar akan terasa lebih lezat dan nikmat dibandingkan ketika telah kenyang. Di samping itu faktor kesehatan juga sangat mempengaruhi terhadap selera makan seseorang.

Waktu terus berjalan tanpa harus ada komando dari orang yang berkepentingan. Jam terus berputar tanpa ada suatu apapun yang menghentikannya. Perlahan menit tergantikan oleh jam. Jam lama kelamaan menjadi hari. Dalam tiga puluh hari akan tersusun menjadi satu bulan. Demikian seterusnya hingga hari akhir tiba, yaitu hari di mana seorang tak akan mendapatkan pembela kecuali amal perbuatannya sendiri.
***

Tak terasa sekarang sudah memasuki awal bulan kesembilan. Liburan panjang semester genap sebentar lagi berakhir. Ini berarti perkuliahan akan dimulai. Berbagai aktivitas akademik akan aku geluti setelah menjalani liburan selama dua bulan di rumah. Berbagai hal-hal telah kusiapkan demi menyongsong semangat baru di Surabaya. Satu hal yang membuatku semakin semangat kembali ke kota pahlawan itu adalah naskah bukuku telah clear dan siap untuk ditawarkan ke penerbit. Berbagai doa dari keluarga dan orang-orang terdekatku turut menyertai perjalananku ke kota yang telah menjadi bagian dari hidupku itu. 

“Millah, hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, sms rumah. Jangan lupa naskah bukunya segera dikirimkan ke penerbit.” Demikianlah Ayah mengingatkanku. Beliau memang sangat mendukung kegiatan menulisku ini. Beliau juga yang selalu menyemangati aku di saat aku butuh spirit dari seseorang. Di samping pula keluargaku yang lain. Tanpa dukungan dan motivasi dari mereka, mungkin aku telah berhenti di tengah jalan sebelum menyelesaikan misi besarku itu.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur memiliki keluarga yang amat perhatian seperti mereka. Untaian hamdalah terus kupanjatkan karena aku telah berhasil menyelesaikan penulisan sebuah buku. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, aku telah mengcopy naskah itu ke dalam sebuah CD Room. Dengan demikian diharapkan aku tidak mengalami problem lagi dan aku tak harus mengetik ulang apabila naskahku hilang lagi. Dan mudah-mudahan ketakutan akan hilangnya naskah tak sampai terjadi. Amin.
***

Lima hari setelah sampai di Surabaya aku langsung mengunjungi sebuah penerbit yang kuprediksikan misinya sejalan dengan misi bukuku. Jaraknya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Hanya butuh perjalanan setengah jam untuk sampai ke tempat itu. Baru kali pertama ini aku akan memasuki sebuah tempat penerbitan dan percetakan buku. Aku ke sana seorang diri, tak ditemani oleh siapa pun. Ainun yang biasanya selalu setia kepadaku, saat ini tak bisa menemaniku. Sebab dia harus kuliah sejak pagi hingga siang. Sedangkan aku hari ini hanya ada satu mata kuliah. Itu saja pada pagi hari. Sehingga aku bisa memanfaatkan siang untuk menawarkan buku ke penerbit. Semoga pihak penerbit berkenan menerbitkan naskahku. 

Aku memasuki pintu penerbit yang kukenal dari seorang teman itu dengan hati agak gemetar. Sebenarnya aku tak percaya diri untuk bertemu dengan orang-orang yang ahli dalam bidang penerbitan buku. Namun kupaksakan diri untuk berani. Keinginan untuk memberikan manfaat kepada orang lain dalam bentuk tulisan, membuatku terus berjuang hingga sampai di penerbit tersebut. Kuawali langkah dengan bacaan basmalah. Kuiringi setiap hembusan nafas dengan shalawat. Berulang kali aku membaca doa rabbisyrah li shadri wa yassir li amri wahlul ‘uqdatan min lisani agar Allah senantiasa menganugerahkan kemudahan kepadaku.

Tanpa menunggu waktu yang lama aku dipersilakan masuk ke dalam ruangan di lantai dua. Katanya itu ruangan Pak Amir, penentu diterima atau ditolaknya sebuah naskah. Kesantunan dan kelembutan para karyawan di penerbit itu membuat rasa takutku hilang seketika. Aku berjalan pelan hingga sampai di depan ruangan yang ditunjukkan oleh seorang karyawan berparas cantik itu.

“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu.

Sejurus kemudian terdengar jawaban salam dari dalam oleh seorang pria. Mungkin itu adalah Pak Amir yang aku cari.

Tanpa berbasa-basi aku langsung mengutarakan maksud kedatanganku ke penerbit itu. Sebelumnya aku memperkenalkan diri agar perbincangan di antara kami bisa akrab dan ketegangan bisa sirna. Pak Amir bersikap terbuka dan merespons positif. Semoga keterbukaannya itu ditindaklanjuti dengan penerimaan naskahku. Amin...
***

Dua bulan sejak aku mendatangi Penerbit Bina Harapan telah berlalu. Jujur tiap hari aku mengharapkan ada sebuah sms atau telepon dari pihak penerbit yang memberikan kepastian kepadaku akan naskah buku yang telah kutawarkan. Namun berita itu, kabar itu tak kunjung datang, hingga aku sendiri sedikit putus asa dan tak punya harapan. Bahkan aku telah mengumpulkan beberapa nama penerbit yang rencananya mau kunjungi.

Namun di pertengahan bulan November ada seorang pria yang mengaku dari Penerbit Bina Harapan meneleponku. Aku agak tegang ketika menerima telepon itu. Gerangan kabar apa yang akan ia sampaikan kepadaku kali ini. Telinga telah kupasang dengan baik supaya aku tidak salah dengar nantinya. Pikiran-pikiran yang memenuhi otak segera kusingkirkan agar aku bisa konsentrasi dengan ucapan dari seberang sana.

“Saudari Millah, selamat. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami memutuskan untuk menerima naskah Anda untuk diterbitkan. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Untuk kontrak kerja dan lain sebagainya, Anda segera ke sini saja.” Suara dari seberang terdengar jelas namun aku masih belum mempercayainya. Berulang kali aku memastikan kabar membahagiakan itu kepada orang yang memperkenalkan diri sebagai Pak Yusuf itu. Dan ternyata apa yang baru saja kudengar memang benar-benar kenyataan. Aku tidak sedang bermimpi. Aku juga tidak sedang mengigau.

Kini harapanku benar-benar terwujud. Impian untuk menjadi seorang penulis akan segera terealisasi, insya Allah. Keringat yang keluar dari pori-pori tubuhku selama penulisan naskah telah diganti dengan nikmat yang amat besar, yaitu penerimaan naskah oleh penerbit. Air mata yang sempat menetes dari kedua pelupuk mata akibat dari kesedihan akan kehilangan naskah, sekarang telah ditukar dengan mutiara-mutiara kebaikan. Mutiara yang akan dimanfaatkan oleh banyak orang. Mutiara yang akan menjadi kontribusi berharga bagi orang yang membutuhkannya. Ya, saat yang kutunggu akan segera tiba. Sebentar lagi namaku akan tercantum dalam cover sebuah buku yang kutulis dengan perjuangan yang luar biasa. Ungkapan syukur yang amat dalam kupersembahkan kepada Allah, satu-satunya Tuhan yang patut untuk disembah. Ya Rabbi, lakal hamd. Jadikanlah kenikmatan ini jalan menuju ridha-Mu. Amin...
***

2 komentar:

IAIN Sunan Ampel SBY, cak sun mengatakan...

Hallo.... salam kenal.....

yok opo kabare??

mantappp juga blognya....

http://cangkrukdisini.blogspot.com/

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Hai... salam kenal juga.
Alhamdulillah kabarku baik.
Terima kasih telah mengunjungi blogku.