Jumat, 24 Juli 2009

Jeritan Hati Seorang Mahasiswa Penerima Beasiswa


Gelap gulita malam terobati oleh indahnya cahaya bulan yang bersinar dari langit sebelah timur. Nampak utuh dengan keindahannya yang luar biasa. Sinarnya yang tak redup oleh suatu apapun sehingga tampak nyaris sempurna. Aku tahu bahwa besok adalah tanggal 15 Sya’ban. Itu berarti purnamalah yang tengah kusaksikan dengan hati yang diliputi iri. Sorot cahayanya seakan mengisyaratkan kegembiraan. Kegembiraan yang tak terkontaminasi oleh sesetes pun kesedihan. Sangat jauh berbeda denganku.

Kepalaku pusing. Mataku lembab akibat air mata yang keluar tanpa kusadari. Hatiku sedih dan gundah. Tubuhku lunglai tak berdaya. Setahun menjalani kehidupan di Surabaya membuatku semakin tak karuan. Akhlaq karimah tak lagi bersemayam di dalam jiwa. Semboyan padi semakin berisi semakin merunduk tak ditemukan lagi di dalam otakku. Hanya emosi dan amarah yang selalu menghampiriku. Dendam dan dengki yang selalu bersarang di hatiku. Aku sangat pusing. Kepalaku sampai tak bisa digunakan untuk berpikir dengan jernih.


“Mida, kamu adalah anak yang selalu kami banggakan dan kami menaruh harapan besar pada dirimu,” kata-kata ayah di saat mengetahui kelulusanku mendapatkan beasiswa Depag untuk program strata satu, tiba-tiba terdengar kembali di telingaku. Itu membuat mataku semakin deras menitikkan tetesan nan sejuk.

Menangis, menangis dan menangis. Itulah yang selalu kulakukan selama seminggu terakhir ini. Pangkal permasalahan yang sedang kualami adalah perubahan dalam diriku sejak memasuki kampus IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Sering kali aku mencari solusi agar aku bisa keluar dari himpitan problem yang tak kecil itu. Namun sesaat kemudian aku kembali lagi ke wujud manusia yang beringas dan diliputi oleh hawa nafsu. Saat-saat itulah aku lupa dengan nasihat orang tua, aku lupa dengan niat suci yang sempat terpatri dalam hati, aku lupa dengan perjuangan orang-orang terdekatku sehingga aku berhasil menikmati bangku kuliah tanpa biaya.

Sekelibat aku ingat dengan ucapan-ucapan pedas yang pernah kulontarkan kepada orang-orang terdekatku di Surabaya.

“Terserah aku donk mau ke mana. Itu kan hakku. Jangan mencampuri privasi orang lain.” Itulah kata yang terlontar dari mulutku ketika teman-teman sekamar menanyakan peri hal kepergianku. Tak hanya satu atau dua kali aku mengatakan kata kasar itu, tapi sudah berpuluh-puluh kali. Niat mereka baik. Mereka sangat memperhatikanku. Tapi aku saja yang kurang menghargai mereka. Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan menyakitkan yang kutujukan ke mereka. Seandainya mereka tidak terima, mungkin aku telah berada di balik jeruji besi atas tuduhan penghinaan ringan dengan ancaman pidana maksimal empat bulan dua minggu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 315 KUHP. Beruntung mereka tak terlalu paham dengan hukum dan mereka tak mempersoalkan ucapanku.

Kekasaranku tak berhenti sampai di situ. Tiap hari mesti ada sesuatu yang bisa kujadikan umpan ketidaksenanganku kepada mereka. Misalnya: pinjam buku tidak segera dikembalikan, kamar kotor, air minum habis dan lainnya. Emosiku sering naik hanya karena masalah sepele. Kemarahanku membeludak gara-gara hal kecil yang bagi orang lain mungkin hal biasa yang tak patut dipermasalahkan. Namun kenapa sejak merasakan hidup di kota metropolitan ini aku menjadi perempuan yang gemar berbicara keras, perempuan yang tak memiliki rasa belas kasihan, perempuan yang suka marah, perempuan yang sepi akan kesabaran. Aku bingung kenapa aku bisa berubah seperti itu.

Aku merindukan masa-masa di pesantren dulu. Pondok Pesantren Nurul Qulub, tempatku menimba ilmu sewaktu di MTs dan MA, menjadikan hatiku tenteram. Tidak pernah sekalipun aku membentak teman meski tanpa sengaja. Ucapanku selalu terjaga dari hal-hal yang kurang baik. Senyum senantiasa mengembang di bibirku, sehingga aku dijuluki dengan mutabassimah oleh santri di pesantren yang terletak di kota Kudus itu. Aku menjadi uswah hasanah bagi adik-adik kelasku. Mereka sangat menyayangiku. Setiap mengalami kesulitan dalam belajar, mereka selalu meminta bantuanku. Entah materi Nahwu, Balaghoh, Fiqh, Hadits, Al Qur’an dan materi-materi lainnya yang dipelajari di pesantren. Para santri senior juga tak jarang berdiskusi denganku mengenai banyak hal. Bahkan suatu hari mereka meminta bantuanku untuk membimbing mereka membaca kitab kuning seminggu sebelum tes baca kitab diselenggarakan oleh madrasah tempat mereka belajar. Sungguh penghormatan yang luar biasa bagiku.

Setiap akhir jenjang pendidikan, pihak madrasah mengadakan tes baca kitab yang tujuannya untuk menguji sejauh mana kemampuan siswa dalam pemahaman bahasa Arab terutama teks kitab klasik. Selain ujian nasional, tes ini juga amat menentukan. Sebab bagi yang gagal, hampir bisa dipastikan bahwa dia tidak lulus walaupun pemerintah dengan memperhatikan nilai UAN-nya menyatakan lulus. Ketatnya tes baca kitab ini membuat sebagian orang serius mempelajari isi kitab yang akan diujikan nanti. Dan kesediaan mereka yang notabene lebih dewasa daripada aku, untuk sharing seputar kitab membuatku terharu. Tapi sayang semua itu hanya kenangan indah masa lalu bukan kenyataan di masa sekarang. Kini aku amat jauh dari sifat ta’awun ‘alal birri wat taqwa.

Lagi-lagi mataku menangis ketika satu persatu kenangan manis di pesantren itu melintas di depan mataku. Kepalaku semakin terasa pusing, seolah tak mampu menguak kembali kenangan-kenangan indah bersama kawan-kawan yang sangat memegang teguh prinsip-prinsip agama di pesantren itu. Mataku semakin lembab hingga sulit untuk memusnahkan kelembabannya sama sekali. Suaraku mulai parau. Kini yang ada dalam pikiranku hanyalah penyesalan. Sungguh aku menyesal meninggalkan tempat yang diliputi dengan kedamaian itu. Hatiku teriris.
***

Seluruh anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, aku dan kedua adikku berkumpul di ruang tamu tatkala informasi hasil seleksi beasiswa Depag telah keluar. Kami berkumpul untuk merasakan kebahagiaan dan kegembiraan bersama. Bahagia karena namaku masuk dalam daftar penerima beasiswa yang nominalnya tak sedikit itu. Gembira sebab usahaku selama ini dalam memperjuangkan beasiswa tak sia-sia. Hanya senyum yang kulihat dari masing-masing anggota keluarga yang amat kusayaangi dengan seluruh jiwa raga.

Sebagai anak pertama, prestasi yang ku peroleh tentunya sangat membanggakan kedua orang tua. Sebelum menggenggam beasiswa program strata satu berupa biaya kuliah selama empat tahun dan living cost tiap bulannya, aku telah berulang kali mendapatkan penghargaan atas prestasi akademikku, baik di SD, MTs maupun MA. Termasuk di antaranya adalah beasiswa Syahriyah selama satu tahun. Namun jika semuanya dikalkulasi, sangatlah jauh dari nominal beasiswa Depag yang mencapai puluhan juta atau bahkan mendekati angka ratusan juta. Nikmat yang amat agung yang patut, bahkan harus dan wajib disyukuri.

Semuanya bermula ketika KH Dhafir Abdillah, pengasuh PP Nurul Qulub mensosialisasikan informasi beasiswa yang diberikan oleh Depag kepada para santri melalui tes yang cukup berat. Dilatarbelakangi oleh keinginan untuk kuliah dan kondisi perekonomian keluarga yang pas-pasan, akhirnya aku mencoba untuk mengikuti tes seleksi yang diadakan di Kantor Wilayah Departemen Agama di Semarang pada tanggal 12 Februari. Keempat temanku juga turut berjuang bersamaku untuk mendapatkannya. Mereka adalah Ayu, Rani, Deny dan Arif. Jadi dari PPNQ ada dua santri dan tiga santriwati yang berkeinginan memperebutkan beasiswa Depag. Ayu dan Deny memilih kampus UGM sebagai tempat labuhannya untuk melanjutkan studi. Arif lebih condong untuk kuliah di ITB Bandung. Deny, lelaki dengan ketinggian badan lebih dari 165 cm itu bercita-cita kuliah di UIN Jakarta pada Fakultas Kedokteran. Sedangkan aku memutuskan untuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ya, ada sembilan perguruan tinggi yang ditawarkan oleh Depag dalam beasiswa tersebut.

Setelah melengkapi berbagai persyaratan administrasi dan dinyatakan lolos pada tahap awal penyeleksian, kami pun diberi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya, yakni tes di Semarang. Ratusan soal kami kerjakan dalam durasi waktu yang singkat. Sedari pagi hingga sore kami disibukkan dengan soal yang bermacam-macam.

“Aduh aku sangat capek,” kata-kata yang terlontar dari mulut kami. Akan tetapi sang pengasuh terus mensuppoort kami dan senantiasa berdoa demi kesuksesan kami. Betapa senangnya aku memiliki pengasuh sebaik beliau. Tak pernah mengharapkan imbalan sedikit pun dari para santrinya. Beliau terkenal sangat bijaksana, murah senyum, lemah lembut, dan sifat-sifat baik lainnya juga melekat dalam diri kiai asli Kudus berusia lima puluh lima tahun itu .

“Anak-anakku,” demikian Pak Dhafir memanggil kami, membuat gap antara pengasuh dan santri musnah seketika dan menjadikan hubungan kami semakin akrab,”kalian tak boleh berputus asa dalam mengharapkan karunia Allah. Ingatlah Allah akan selalu membantu hamba-Nya yang beriman. Doa dan usaha adalah hal utama yang harus dilakukan oleh orang yang menginginkan kesuksesan. Teruslah berikhtiar, Bapak akan selalu mendoakan kalian,” dawuh beliau membuat semangat kami semakin berkobar.

Selang dua bulan kemudian sebuah berita gembira datang ke pesantren. Yaitu aku dan keempat temanku dinyatakan lulus dan berhak memperoleh beasiswa penuh selama mengikuti perkuliahan di kampus yang diinginkan. Betapa bahagianya hati kami ketika mengetahui berita gembira itu. Embun pagi nan menyejukkan tiba-tiba menetes di hatiku. Satu per satu para santri mengucapkan selamat kepada kami membuat suasana semakin dramatis.

Pertengahan Agustus tahun 2008 aku secara resmi menjadi mahasiswa IAIN Sunan Ampel pada Fakultas Syari’ah. Ke depan aku diharapkan menjadi seorang yang faqih fiddin dan menguasai Ushul Fiqh. Karena itulah salah satu tujuan Depag membiayai kuliahku di kampus negeri Islam di Surabaya. Kelak ketika aku telah menyelesaikan studi strata satu, aku akan kembali ke pesantren untuk mengembangkan ilmu yang kugali dari kampus sebagaimana yang tertera dalam surat pernyataan yang kutandatangani di atas materai bernilai 6000.

Sejak saat itu banyak orang menaruh harapan besar pada diriku. Orang tua, guru-guru, teman-teman dan masyarakat. Uang yang kumakan berasal dari uang rakyat. Daging yang menyatu dengan darah dalam tubuhku juga bersumber dari uang rakyat yang dikelola oleh Departemen Agama. Oleh karena itu, beban yang kutanggung amat berat. Amanat yang ditaruh di atas pundakku tak selayaknya kuabaikan.

Namun bukanya kesenangan dan kebahagiaan yang kudapat, tapi malah perasaan tak damai yang selalu menghantui setiap saat. Seharusnya rasa syukur yang sering keluar dari mulutku, bukannya kalimat-kalimat kotor yang mengindikasikan pada kemarahan. Di tengah perjalanan kuliah, aku telah mengalami penurunan yang amat drastis. Kehidupanku tak jelas. Hatiku sulit untuk didamaikan. Aku tak mampu lagi berpikir dengan baik. Sungguh aku capai dengan keadaan ini, tapi aku sulit mengatasinya. Problem solving yang tepat belum kutemukan. Aku bingung harus bagaimana........
***

Ini adalah hari ke dua puluh kondisi jiwaku tak stabil. Pusing sering mendera kepalaku. Tubuhku cepat lelah. Emosiku tak terkendali walaupun teman-teman tak membuat masalah. Jujur aku sangat capai dengan kondisi ini. Aku ingin segera mengakhiri keterpurukan ini. Aku ingin merasakan kedamaian yang pernah kurasakan sebelum mengenal Surabaya. Aku ingin hidup tanpa diliputi rasa permusuhan dan kedengkian. Aku ingin senyum selalu mengembang di bibirku. Aku ingin merasakan hidup yang lebih berarti. Sungguh aku ingin berubah. Tapi aku tak tahu caranya. Aku tak tahu harus berbuat apa supaya karakterku bisa kembali seperti dulu.

Dengan ditemani malam yang sangat gelap walaupun ada jutaan watt lampu di dunia, aku merenung untuk ke sekian kalinya. Semoga renungan ini lain dari biasanya. Semoga aku mendapatkan insting yang bisa membuat hidupku semakin berarti nantinya. Aku mulai mencari akar permasalahan yang menyebabkan perubahan besar-besaran dalam diriku. Dengan diliputi kebingungan dan kepusingan, aku mulai menelusuri satu persatu. Bak ketika browsing di internet, aku juga menulis beberapa kata kunci yang kurasa menjadi penyebab keburukanku.

Detik telah beralih ke menit. Menit telah tergantikan oleh jam. Jam telah berjalan satu kali putaran sejak awal tafakkurku. Malam semakin larut. Bulan-bulan tak menampakkan sinarnya. Bintang-bintang terlihat redup. Lampu-lampu yang menerangi kamar di rumah-rumah sejauh pemandanganku telah dimatikan menandakan penghuninya telah terlelap tidur. Kini hanya lampu teras dan lampu jalanan yang masih menyala dengan terang. Udara malam terasa semakin dingin menusuk bulu kudukku. Udara malam yang tak sehat kuterjang demi mencari solusi atas ketidakberdayaanku. Aku tak peduli dengan semua itu. Aku harus memperoleh solusinya malam ini, janjiku dalam hati. Aku tak kuat lagi menghadapi permasalahan itu.

Sengaja kutanggalkan seluruh aktivitasku tiap malam hanya untuk mengakhiri keterpurukanku. Sengaja kupilih beranda lantai dua tak lain semata-mata untuk berpikir secara tenang dengan harapan memperoleh solusi atas permasalahan yang tengah kuhadapi.

“Mida, kenapa kamu kok sering melamun di sini sendirian?,” tanya Lina setiap malam karena heran melihat kebiasaan baruku, yaitu menyendiri di depan beranda.

“Ah, nggak apa-apa,” jawabku singkat tiap kali dia bertanya demikian tanpa ada perasan emosi. Dia memang sangat perhatian padaku tapi salahnya aku tak pernah merespons positif perhatiannya. Aku cenderung cuek bebek, acuh tak acuh dan satu hal yang amat menyedihkan, aku sering melontarkan kata-kata kasar kepadanya. Hatinya sering kusakiti tanpa kusadari. Dia sering tertekan karena sikapku. Namun dia masih tetap setia menemaniku dan masih menganggapku sebagai teman terbaiknya. Oh, maafkan aku kawan.

Tiga jam telah berlalu. Jam di handphone-ku menunjukkan pukul dua belas lebih empat menit. Hampir seluruh penghuni pesantren ini tengah menikmati kebebasan di alam mimpi mereka. Kini aku seorang yang masih terjaga. Tak ditemani siapa pun. Sebenarnya rasa kantuk sudah singgah di mataku tapi aku segera mengusirnya demi mendapatkan kejelasan masa depanku. Sesungguhnya rasa takut akan hal-hal gaib juga ada dalam diriku, namun segera dihilangkan oleh keinginan untuk mendapatkan solusi cerdas atas problem yang sedang kuhadapi. “Berapa lama lagi aku harus bertahan?”, tanyaku dalam hati. “Sampai kau menemukan sebuah solusi,” sisi hatiku yang menjawab.

Tanpa ku planing, tanpa kuduga, perkataan ayah sewaktu melepas kepergianku ke Surabaya untuk kali pertama terdengar kembali di telingaku. Itu semakin membuatku terisak tangis. Mataku lembam dan memerah. Napasku tersendat.

“Anakku, biasanya seseorang yang telah hidup lama di kota sedikit banyak mengalami perubahan. Dan perubahan itu kebanyakan ke arah negatif. Apalagi mahasiswa. Tak sedikit perempuan yang sepulang dari kuliah telah menggendong bayi padahal ia belum pernah terikat tali pernikahan. Banyak laki-laki dan perempuan setibanya di rumah, keluarganya sangat kaget dan heran karena penampilannya telah berubah drastis. Yang dulunya berbusana rapi nan islami, sekarang cenderung memakai pakaian yang ketat dan terbuka bahkan amat menampakkan auratnya. Ada pula seseorang yang pikirannya terlalu bebas sehingga menurutnya shalat tak wajib, puasa bukanlah suatu perintah yang harus dilaksanakan, zakat hanya membuang uang dan tenaga, dan lain sebagainya. Itu karena teman-teman yang mereka pilih salah. Ya, pergaulan yang tidak tepat akan memperburuk etika mereka. Untuk itu, sekali-kali janganlah kamu meremehkan ajaran agama. Ingat kesuksesanmu sangat kami harapkan. Bukan hanya kesuksesan duniawi saja, tapi kesuksesan ukhrawi pula. Jangan pernah mengecewakan orang-orang terdekatmu,” Bapak berkata di depan ibu dan adik-adikku sesaat sebelum aku meninggalkan rumah bertolak ke Kota Pahlawan di propinsi Jawa Timur. Pengalaman ayah sebagai seorang guru selama sepuluh tahun lebih sangat mempengaruhinya dalam bertutur kata. Sehingga ucapannya lebih sistematis dan mudah dipahami. Diksi yang dipilihnya pun sangat tepat.

Lantas Ibu membenarkan seraya berkata, “Mida, apa yang dikatakan bapakmu benar. Kami akan selalu mendoakanmu semoga kamu terlindungi dari hal-hal yang kurang baik. Kamu juga harus rajin berdoa dan jangan lupa laksanakan shalat malam selagi tak ada uzur.” Seketika aku langsung menangis dan tatkala mencium tangan mereka, air mata masih merembes dari kedua kelopak mataku. Suasana yang sangat dramatis seperti adegan dalam sinetron.

Sekarang, detik ini telah kutemukan akar permasalahannya. Aku baru sadar ternyata ketidaknyamanan hidup selama menjalani hari-hari di Surabaya disebabkan oleh diriku sendiri. Sikap teledor mengantarkanku ke tepi jurang yang hampir saja menenggelamkanku hingga ke dasar permukaannya. Semuanya bertumpu pada satu nama, yaitu Allah. Semuanya berpusat pada satu penguasa, yaitu Allah. Semuanya bersumber dari satu Zat, yaitu Allah. Ya, selama ini aku telah melupakan Tuhan yang sangat berjasa dalam hidup. Aku telah melalaikan kewajiban sebagai hamba yang tercipta hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Aku tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah-Nya.

Shalat lima waktu memang tak pernah kutinggalkan, namun aku belum menemukan substansi dari perintah Tuhan yang satu itu. Ayat al Qur’an yang berbunyi innas shalata tanha ‘anil fahsya’ wal munkar belum bisa kurealisasikan secara utuh, sehingga apa yang kuperbuat kurang berdampak terhadap batinku. Hati yang kering ronta dikarenakan kekurangan siraman rohani yang seharusnya menjadi nutrisi utama demi kesuburannya. Kitab suci Al Qur’an memang selalu kubaca setiap usai shalat Shubuh dan Maghrib, tapi pikiranku sering melayang ke hal lain daripada bertafakkur tentang isinya. Ah andai saja aku senantiasa ingat Allah di setiap hembusan napasku, mungkin aku tak pernah merasakan krisis religius. Andai saja aku sadar akan pentingnya berpikir tentang ciptaan-Nya sebagaimana dideskripsikan dalam Al Qur’an, mungkin aku akan jalani hidup dengan penuh kedamaian. Andai saja aku ingat bahwa marah termasuk perbuatan syetan, mungkin aku akan menghindarinya untuk menciptakan hubungan yang romantis dengan teman-teman. Tapi sayang sekali itu hanyalah sebuah tamanni dan sampai kapan tak pernah jadi kenyataan karena itu terjadi di masa lampau.

Sekarang yang terpenting adalah memperbaiki sikap. Dan yang paling utama kulakukan adalah meminta ampun kepada Allah,

“Rabb, betapa berdosanya aku karena telah melupakanmu dalam waktu yang cukup lama. Betapa bodohnya aku karena tak mensyukuri nikmat-Mu. Betapa durhakanya aku karena selalu mengutamakan urusan duniawiku. Ya Ilahi, saat ini aku sadar akan kesalahanku itu. Aku menyesal atas perbuatan burukku selama ini. Oleh karena itu, ampunilah hamba-Mu yang berlumur dosa dan khilaf ini. Astaghfirullahal ‘adzim,” ucapku lirih dalam hati. Kemudian segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Usai mendirikan shalat sunah empat rakaat sejenak ku berpikir mengenai langkah apa yang haru kutempuh untuk menghapus segala kesalahanku, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Lalu aku menemukan ide. Aku harus segera meminta maaf kepada seluruh teman-temanku. Mudah-mudahan mereka bersedia memaafkanku. Dan yang terpenting pula adalah memohon maaf dan restu kepada orang tua.

Selain itu yang tak kalah pentingnya ialah meminimalisir kemarahan. Emosi harus diredam dengan sepenuh kekuatan agar dampak negatifnya tak merambah ke orang lain. Aku ingin merasakan kehidupan yang dipenuhi dengan rasa kedamaian dan ketenangan. Semoga Allah memudahkan jalanku. Amin....

“Terima kasih ya Allah, Engkau telah menyadarkanku.”

Tidak ada komentar: