Jumat, 24 Juli 2009

Secercah Harapan di CSS MoRA


CSS MoRA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religius Affair) atau PBSB (Penerima Beasiswa Santri Berprestasi) adalah dua istilah yang sangat asing bagiku ketika seragam putih abu-abu masih kukenakan tiap hari Senin dan Selasa. Apalagi tahu keadaan di dalamnya, dengar istilahnya saja belum pernah. Nampaknya itu hal yang wajar karena di madrasahku (MA Al Hikmah) belum ada seorang pun yang terjun di dalamnya dan di pesantrenku (Pondok Pesantren Raudhatul Ulum) belum ada seorang santri pun yang terlibat langsung serta menjadi bagian dari CSS MoRA atau PBSB. Bahkan di Kajen, desa tempatku belajar yang terletak di kecamatan Margoyoso kabupaten Pati, Jawa Tengah juga belum ada yang kenal dengan komunitas itu. Padahal di Kajen sendiri ada puluhan pesantren dan tiga yayasan pendidikan formal yang cukup terkenal dan besar.



Ya, aku adalah orang pertama yang beruntung mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama dengan nominal rupiah yang sulit dihitung, anugerah dari Sang Pencipta yang membuat banyak mata melotot dan memandangku pekat-pekat. Tentunya karena beasiswa itu belum pernah diperoleh oleh siswa atau santri lain yang melanjutkan studi di Kajen. Dewi fortuna memang memihak padaku. Tak hanya beasiswa yang kudapat, popularitas juga kugenggam saat itu. Sungguh ini bukan maksud untuk menyombongkan diri. Namun demikianlah kenyataannya. Hampir seluruh ustadz-ustadzah di MA Al Hikmah memperbincangkan beasiswa itu pasca kelulusanku dari tes seleksi Depag. Secara otomatis aku juga turut diperbincangkan. Laka al hamd ya Allah......

Kenikmatan ini bukanlah suatu keberuntungan yang tak disertai usaha sebelumnya. Aku masih ingat betul bagaimana susahnya mendapatkan sebuah predikat sebagai “Santri Penerima Beasiswa Depag.” Kenangan-kenangan masa lalu masih tampak jelas di kedua pelupuk mata. Ikhtiyar dari beberapa pihak sulit untuk dimusnahkan begitu saja. Sampai kapan pun aku tak akan melupakan hal itu. Sampai kondisi tubuh berubah menjadi renta, selama ingatan masih normal, aku akan tetap mengenang jasa mereka. Terima kasih kupersembahkan kepada kalian, wahai orang-orang yang mencintaiku dan menganggapku penting dalam hidupnya sehingga bersedia membantuku semaksimal mungkin. Syukran lakum ya man yu’awinunani.

Semuanya bermula ketika aku dan kesembilan temanku dipanggil oleh Kepala Madrasah pada Jum’at sore awal Januari 2007 di tengah kegiatan Daurah Bahasa Arab. Aku tak tahu apa yang hendak disampaikan oleh Pak Syamu’in (Kamad) karena memang belum ada pemberitahuan sebelumnya. Tanpa banyak komentar kami langsung menuju kantor dan di sana beliau telah menunggu. Ternyata pertemuan sore itu adalah sosialisasi beasiswa Depag. Sebuah kabar yang sangat menggembirakan bagiku. Tak hanya beasiswa kuliah, namun Depag juga memberikan living cost tiap bulannya. Seketika aku langsung tertarik. IAIN Walisongo adalah kampus yang kubidik. Ada beberapa alasan kenapa aku memilih kampus Islam yang terletak di Semarang itu. Pertama, dibandingkan kampus-kampus lain yang ditawarkan oleh Depag, IAIN adalah yang paling dekat dengan rumahku. Paling hanya butuh dua sampai tiga jam untuk sampai ke sana. Kedua, sejak awal aku bercita-cita masuk Fakultas Syari’ah karena keinginanku untuk menjadi Ahli Hisab.

Waktu terus berlalu persyaratan administrasi sedikit demi sedikit kulengkapi hingga hari pelaksanaan tes di Semarang tiba. Domisiliku di Jawa Tengah mengharuskanku mengikuti tes di Kanwil Depag Jateng, yaitu Semarang. Dari pesantrenku yang berhasil lolos sampai tahap tes hanya aku. Sungguh kesempatan yang berharga bagiku. Kesempatan yang tak mudah diraih oleh orang lain. Terbukti banyak orang yang gagal ketika masih dalam tahap penyaringan. Nikmat itu harus kusyukuri.

Pra tes itulah terjadi banyak hal yang membuatku terharu. Para guru yang senantiasa menolongku ketika aku butuh pertolongan. Teman-teman yang turut aktif dalam membantuku. Dan terutama keluarga yang selalu mensupport diriku. Bapak yang mengorbankan waktunya demi mengantarkan anaknya ke tempat tes. Ibu yang selalu mendoakanku dari rumah. Mbak yang bersedia menyiapkan tempat menginap untukku di Semarang. Adik-adikku yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa. Ah, mereka memang orang paling berharga dalam hidupku. Merekalah cinta sejatiku. Tak ada seorang pun yang mampu menggantikan kedudukan mereka.

Ketika tes berlangsung Bapak dengan setia menemaniku seraya memanjatkan doa demi kelulusan anak keduanya ini. Memang untuk mencapai sebuah kesuksesan selain dibutuhkan ikhtiyar (usaha), juga harus diiringi dengan doa. Keseimbangan doa dan usaha sangat penting. Agar kesuksesan yang di ridhai oleh Allah mampu dicapai. Perlahan aku mengisi kertas jawaban yang disediakan oleh panitia. Sejak pagi sampai sore lebih dari 400 soal kukerjakan. Itu kali pertama aku mengerjakan soal dalam jumlah yang besar dengan alokasi waktu yang cukup singkat. Rasa capai dan lelah langsung menghinggapiku. Bahkan beberapa hari setelah tes punggungku masih terasa nyeri dan letih.

Beberapa bulan kemudian pengumuman tes Depag keluar. Kabar yang sangat menggembirakan dan membahagiakan. Beasiswa Depag itu adalah beasiswa terbesar yang kuperolehi sepanjang usiaku. Rasa syukur senantiasa kupanjatkan kepada Dzat yang patut dipuji. Tapi ada sedikit trouble, yaitu surat dari Depag sampai di madrasahku agak telat. Karena dalam daftar pengumuman itu, namaku disandingkan dengan PP Al Hikmah, Winong. Padahal semestinya PP Al Hikmah, Kajen. Dua tempat yang berbeda meskipun sama-sama berada di kabupaten Pati. Sehingga surat yang seharusnya sampai lebih awal, terpaksa baru sampai di saat peserta yang lolos lainnya telah menyelesaikan persyaratan administrasi selanjutnya. Untuk itu aku harus ekstra cepat dalam mengisi beberapa form yang disediakan oleh Depag dan mengirimkannya sebelum jangka waktu yang ditentukan berakhir.

Salah ketik terhadap alamat pesantrenku ternyata membawa hikmah. Beberapa teman dari PP Al Hikmah Winong yang berhasil masuk sebagai penerima beasiswa Depag, telah mengenalku tanpa ada proses ta’aruf terlebih dahulu. Masuknya namaku dalam daftar pesantren mereka membuat mereka penasaran dengan diriku. Rasa penasaran mereka terobati sewaktu pertemuan CSS MoRA di Bandung tahun 2008 lalu. Dan perkenalan itu masih berlanjut hingga sekarang. Setiap kali ada pertemuan, pasti kami menyempatkan untuk mengobrol walaupun hanya sebentar. Dari mereka pula aku tahu bahwa di Surabaya ada komunitas santri Pati yang dinamakan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati Surabaya (IKMPS) yang bermarkas di ITS.

Perjuangan untuk mendapatkan beasiswa tak berhenti sampai di situ. Usai mengirimkan surat pernyataan ke Depag, selanjutnya aku harus mengikuti orientasi di PU Surabaya. Inilah saat-saat yang menegangkan kurasakan. Semula kampus yang kuharapkan adalah IAIN Walisongo, tapi aku malah diterima sebagai mahasiswa di IAIN Sunan Ampel, sebuah perguruan tinggi yang belum kukenal dan aku pun belum pernah menghirup segarnya udara di sana. Sungguh aku sedih dan enggan beranjak dari rumah menuju Surabaya. Aku tak tahu kenapa aku bisa masuk di IAIN Sunan Ampel. Tapi apa daya keinginan untuk mencicipi bangku kuliah mengalahkan semuanya. Lebih baik aku menerima apa yang telah ada di depan mata daripada harus mencari yang lain yang masih belum pasti, pikirku saat itu. Seharusnya aku bersyukur, bukan menyalahkan keadaan.

Kini diriku telah resmi menjadi anggota CSS MoRA IAIN Sunan Ampel. Amanat telah dibebankan di atas pundakku. Belajar, belajar dan belajar adalah tugas utamaku. Dalam situasi dan kondisi apapun aku tak boleh melupakan amanat itu. Aku tak boleh mengecewakan orang yang telah menaruh kepercayaan kepadaku. Aku akan berbuat dzalim jika uang dari rakyat tidak kumanfaatkan untuk hal-hal positif. Aku harus menghargai kerja keras keluarga, guru dan teman-temanku. Betapa sakitnya hati mereka kalau tahu bahwa aku tak serius dalam menjalani studi di perguruan tinggi Islam di Surabaya ini.

Tidak ada komentar: