Minggu, 03 Mei 2009

Akulah Penulis Bertangan Satu


Di hari Kamis yang cerah ini aku akan melakukan sesuatu. Kesuksesan yang akan terjadi nanti akan sangat mempengaruhi diriku kemudian. Tepat di ulang tahunku yang ke-16, sebuah lomba karya tulis ilmiah diadakan di salah satu kampus paling bergengsi di Semarang. Kampus yang mayoritas mahasiswanya termasuk golongan borjuis. SPP tiap bulannya pun amat mahal. Kampus yang lulusannya sangat berpeluang untuk memperoleh pekerjaan. Kampus yang masih memegang prinsip Islam. Antara lain tercermin dalam kegiatan shalat Dzuhur berjama’ah di masjid kampus. Seluruh gerbang akan ditutup ketika adzan telah dikumandangkan. Tak ada satu pun aktivitas perkuliahan yang dilangsungkan saat itu. Setiap orang berbondong-bondong ke masjid. Kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan. Yaitu Universitas Islam Sultan Agung atau yang dikenal dengan nama UNISSULA. Kampus yang terletak di pinggiran kota Semarang itulah yang akan menjadi tempat tujuanku.

Sebenarnya aku tak memiliki rasa percaya diri untuk mengikuti ajang perlombaan tersebut. Tentunya ada banyak faktor yang menyebabkan diriku demikian. Aku merasa minder menghadapi para peserta dari SMU atau MA lain yang memiliki kapabilitas lebih dalam dunia penulisan daripada aku. Aku sadar bahwa aku berasal dari Madrasah Aliyah yang berpengetahuan pas-pasan jika dibandingkan dengan mereka yang hidup di kota dan telah mengenal kecanggihan teknologi. Kalaupun ada yang berasal dari desa tapi mereka juga pandai dan pintar. Aku sangat minder. Namun berkat dorongan dan motivasi dari orang-orang terdekatku, akhirnya aku maju juga ke ajang perlombaan itu.

“Nana, kami yakin bahwa kamu bisa bersaing dengan peserta lainnya. Jangan hiraukan perasaan yang ada dalam dirimu itu. Kami selalu mendoakan dan mendukungmu.” Pak Syarif, Kepala Madrasah Aliyah tempatku belajar menyemangatiku ketika aku mengungkapkan isi hatiku perihal rasa minderku.

“Lalu bagaimana dengan keadaan fisik saya ini. Bapak kan tahu sendiri bahwa saya ini mempunyai cacat fisik. Mungkin keadaan ini akan membuat orang lain menertawakan saya dan itu akan semakin membuat saya berkecil hati yang pada akhirnya akan membuyarkan konsentrasi saya.” Aku curhat ke masalah lain yang juga sangat urgen.

“Apakah kamu lupa. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Kekurangan pasti ada dalam diri kita. Entah itu kita sadari atau tidak. Kalau kita ingin menjadi orang sukses di dunia dan akhirat, maka sikap kita adalah bersyukur dan tidak menjadikan kekurangan itu sebagai alasan pembenar dari apa yang kita lakukan. Janganlah kita meninggalkan kewajiban hanya karena sakit atau sebab-sebab lainnya. Janganlah kita berhenti mengejar impian hanya karena keadaan fisik yang menurut kita tak sempurna. Bukankah Allah memandang seseorang bukan dari lahirnya? Dia tidak peduli dengan apapun yang membalut kita. Ingat ketakwaanlah yang menjadi parameter penilaian terhadap seseorang. Untuk itu Nana, kamu tidak boleh putus asa.” Nasihat guru berusia setengah abad itu sangat menyentuh. Sejak saat itu aku berjanji tidak akan mengecewakan orang-orang yang mencintai dan menyayangiku. Aku akan mempersembahkan yang terbaik untuk mereka. Salah satunya dengan mengikuti lomba penulisan di UNISSULA. Allahumma yassir lana umurana. Amin.
***

Aku diciptakan oleh Allah ke dunia dengan keadaan yang sempurna. Tanpa kurang suatu apapun. Aku dianugerahi dua mata yang masih berfungsi dengan baik, kedua telinga dengan panca inderanya yang tajam, kedua kaki yang bisa digerakkan untuk berjalan sekehendakku. Aku bersyukur dengan semua nikmat yang Dia berikan kepadaku. Termasuk pula nikmat berupa satu tangan. Bukan sepasang tangan. Di mata makhluk mungkin itu merupakan kekurangan, tapi tidak demikian dengan sang Khaliq. Aku yakin di balik semua ini tersimpan rahasia dan hikmah yang agung.

Ya, sejak lahir aku hanya memiliki satu tangan kiri. Awalnya aku sangat sedih dan malu sewaktu aku sudah memiliki rasa malu, yaitu sejak usia 5 tahun. Teman-teman sering mengejekku di kelas hingga akhirnya aku menangis dan pulang meminta perlindungan kepada Ibu di rumah. Biasanya setelah diejek aku tak mau berangkat sekolah untuk beberapa hari. Aku masih dirundung kesedihan yang mendalam. Yang kulakukan di rumah adalah menangis dan menangis. Aku tak berani berhadapan dengan teman-teman yang memiliki kelebihan fisik berupa kedua tangan. Tapi kenapa mereka suka mengucilkan aku hanya karena aku sedikit beda dari mereka.

“Ih, Nana kan tidak punya tangan. Terus kalau kamu makan menggunakan tangan yang mana? Masak make tangan kiri,” komentar salah satu teman kepadaku yang hampir saja memecahkan air mata yang terbendung di kedua mata.

“Nana si tangan buntung,” teman-teman memanggilku dengan predikat yang menusuk dan sangat menyakitkan.

Karena sering mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan itu, aku mulai mendapatkan perhatian lebih dari para guru yang mengajar. Mungkin karena kasihan melihatku selalu dihina oleh orang lain. Tapi ada pula yang memberikan simpati kepadaku karena aku pintar. Pintar menyanyi, menulis, membaca dan lainnya. Ini berbanding terbalik dengan keadaan teman-teman yang semakin menjauhi dan menghindariku sebab takut tertular.

Aku bisa tegar seperti saat ini juga berkat didikan orang tua. Mereka selalu menghibur, menguatkan dan menenangkan hatiku di saat gejala-gejala ketidakpedean muncul. Berbagai nasihat diberikan kepadaku supaya aku tetap kuat menghadapi segala realita yang ada. Kisah-kisah orang-orang penting dan berpengaruh di zaman dahulu diceritakan kepadaku agar aku bisa mengambil teladan dan hikmah dari semua itu. Pendidikan yang demikian sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakterku. Aku sedikit demi sedikit tumbuh sebagai anak yang sabar. Perkataan orang tentangku tidak terlalu kuperhatikan. Celaan, ejekan, hinaan dan ketidaksukaan orang kepadaku hanya sebagai angin yang berlalu. Aku tak mau larut dalam kesedihan. Apa yang ada sekarang harus kusyukuri. Barangkali suatu saat nanti aku mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan indah. Barangkali nanti aku akan mendapatkan kesuksesan yang tiada kira. There is no impossible in the world. 

“Ayah, kelak Nana ingin menjadi penulis seperti Imam Syafi’i. Kira-kira Nana bisa tidak mencapai cita-cita itu?,” kataku kepada Ayah yang langsung disambut senyuman dan respons positif di usiaku yang masih belia, yakni sepuluh tahun.

“Nana bisa menjadi penulis hebat seperti Imam Syafi’i. Untuk itu Nana harus belajar menulis mulai sekarang. Nanti Ayah dan Ibu yang akan mengajari dan membimbing Nana.” Ayah sangat mendukungku. Ibu juga menganggukkan kepala pertanda sepakat dengan perkataan Ayah. 

“Tapi Nana kan hanya memiliki satu tangan. Itu saja tangan kiri.” Terlihat raut ketidakyakinan di wajahku. Aku hampir saja menangis. Mataku sudah berkaca-kaca. Namun sejurus kemudian Ibu menenangkan hatiku seraya berkata,

“Nana tidak boleh bilang begitu. Meskipun tangan kanan Nana tidak ada, namun Nana masih tetap bisa menulis dengan tangan yang satunya. Insya Allah Nana nanti akan menjadi penulis hebat dan terkenal yang bisa memberikan manfaat kepada umat manusia sebagaimana Imam Syafi’i mempersembahkan karya-karyanya untuk umat Islam. Dan kita masih bisa menikmati karyanya hingga saat ini.”

Setelah kejadian itu, aku bertekad untuk menjadi penulis. Buku adalah makanan wajib yang harus kukonsumsi setiap hari. Aku beruntung dilahirkan dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Berbagai buku yang kuinginkan langsung mereka belikan. Usia belia tidak menghalangiku belajar menulis. Aku berharap mampu menelorkan karya di usia remaja. Entah itu buku ataukah tulisan singkat seperti artikel dan cerpen yang bisa dibaca oleh banyak orang.
***

Sejak jam delapan acara lomba karya tulis ilmiah di UNISSULA telah dimulai. Ada sekitar 40 peserta dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Rata-rata mereka mengenakan jas almamater. Hanya beberapa orang saja yang memakai seragam sekolah, putih dan abu-abu. Di antaranya adalah aku. Itu karena di madrasahku tidak ada jas almamater seperti lembaga pendidikan lainnya. Tampak hawa ketegangan di wajah mereka. Persaingannya sangat ketat. Para peserta adalah manusia pilihan dari masing-masing sekolah dan madrasah yang mendapatkan surat edaran dari panitia penyelenggara perlombaan. Terlihat sebuah naskah karya tulis di tangan mereka. Termasuk pula aku.

Hari ini bukanlah hari pembuatan karya tulis. Akan tetapi waktu untuk mempresentasikan karya masing-masing. Tulisan telah dibuat di hari-hari sebelumnya. Satu per satu peserta maju ke depan panggung sesuai dengan nomor urut yang diambil sebelumnya untuk memaparkan ide dan gagasan yang ia tulis tentang Pendidikan dan Moral Remaja di Era Globalisasi. Penampilan mereka sangat bagus. Mereka lancar dalam mempresentasikan tulisannya. Aku mendapatkan nomor urut 10. 

“Nomor urut 10. Nana Mauhibah.” Seorang panitia memanggil namaku. Itu berarti giliranku untuk presentasi telah tiba.

Ketika aku maju ke depan, ada sebagian peserta yang saling berbisik. Mungkin mereka heran denganku karena lengan bajuku yang satunya tak berisi. Mungkin mereka mengira bahwa aku ini hanya bertangan satu. Dan dugaan mereka itu benar. Tapi aku tak terlalu menghiraukan mereka. Aku fokus dengan bahan-bahan yang telah kupersiapkan sejak beberapa hari lalu untuk dipresentasikan hari ini. Sesekali aku melihat wajah Ayah dan Syarif yang mengantarku ke UNISSULA agar semangatku selalu ada dan ketegangan bisa hilang. Mereka pun tersenyum dan itu merupakan spirit yang luar biasa bagiku. Akhirnya aku bisa menyampaikan isi karya tulisku tanpa ada yang tertinggal. Aku kembali ke tempat dudukku semula dengan gemuruh suara tepuk tangan dari orang-orang yang ada di dalam aula, tempat pelaksanaan lomba.

Sore usai melaksanakan shalat Ashar acara dimulai. Agenda kali ini adalah pengumuman pemenang dan pemberian penghargaan. Aku tak terlalu berharap menjadi pemenang karena peserta yang lain berpenampilan sangat bagus. Mereka memang benar-benar memiliki kredibilitas walaupun usianya masih remaja. Intelektual mereka tak diragukan lagi.

“Juara pertama diraih oleh ananda Nana Mauhibah, delegasi dari Madrasah Aliyah al Hikmah, Wedung, Demak. Kepadanya dimohon naik ke panggung untuk menerima hadiah”

Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh panitia. Jangan-jangan ini hanya mimpi, pikirku. Tapi tidak, ini adalah kenyataan. Ya, kenyataan bahwa aku telah berhasil memenangkan perlombaan penulisan karya ilmiah. Kenyataan bahwa aku telah berhasil menyisihkan peserta lainnya. Kenyataan bahwa aku akan segera membawa pulang piala. Kenyataan bahwa ternyata cacat fisik bukanlah penghalang untuk memperoleh kesuksesan. Aku menoleh ke samping. Kulihat Ayah dan Pak Syarif tersenyum bahagia. Tanpa membuang banyak waktu, aku langsung maju ke depan untuk kedua kalinya. Yang pertama ialah waktu mempresentasikan tadi. 

Usai acara banyak orang yang mengucapkan selamat kepadaku. Mereka mengulurkan tangan. Aku pun berjabat tangan dengan mereka namun dengan tangan kiri. Mereka sangat memaklumi. 

Ya Allah, betapa agung nikmat yang Engkau berikan kepadaku. Jadikanlah aku termasuk hamba yang selalu mensyukuri nikmat-Mu. Jadikanlah apa yang aku impikan dan cita-citakan tercapai. Jadikanlah aku seorang penulis yang selalu memberikan kontribusi kepada agama dan masyarakat. Jangan jadikan kekurangan yang ada dalam diriku ini sebagai penghalang untuk mencapai kesuksesan sebagai penulis. Terima kasih telah Engkau hadiahkan sebuah piala di hari ulang tahunku ini. Amin.


Cerpen ini didedikasikan untuk orang-orang yang ingin menjadi The Smart Writer meski dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan yang mereka miliki.
Selamat Hari Buku 17 Mei 2009

Tidak ada komentar: