Sabtu, 02 Mei 2009

Imam Syathibi: Mujaddid fi al-Islam wa al-Mushlih

Problematika Fiqh yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks. Ini disebabkan oleh kebudayaan dan peradaban mereka yang senantiasa berkembang dari masa ke masa. Sedangkan tidak semua produk hukum yang dihasilkan oleh ulama terdahulu mampu mengcover permasalahan tersebut. Di sini diperlukan sebuah proses istinbath al ahkam yang nantinya produk yang dihasilkan bisa menjadi problem solving. Salah satu metode istinbath al ahkam yang masih menarik diperbincangkan di kalangan ulama dan akademisi sejak dulu hingga sekarang adalah metode maqashid al syari’ah.



Ketika membicarakan tentang maqashid al syari’ah tidak akan lepas dari peran seorang tokoh terkemuka di abad ke-8 H yaitu Imam Syahibi. Seorang Faqih pemilik nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al Gharnathi ini dilahirkan di Granada pada tahun 730 H. Gelar al Syathibi dinisbatkan kepada tempat kelahiran ayahnya di Syathibah atau yang lebih dikenal dengan Sativa, sebuah daerah di timur Andalusia.

Pemikiran Imam Syathibi sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial kultural saat itu. Ia hidup di masa pemerintahan Bani Ahmar, sebutan untuk keturunan dan keluarga salah satu sahabat Anshar yaitu Sa’ad bin Ubadah. Ketika Bani Ahmar memerintah, kehidupan masyarakat muslim sangat jauh dari ajaran yang sesungguhnya. Bid’ah dan khurafat tumbuh dan berkembang di mana-mana, praktik tasawuf telah terkontaminasi dengan hal-hal terlarang dan terjadi fanatisme yang berlebihan terhadap suatu madzhab yakni madzhab Maliki.

Sebagai wujud kepeduliannya, Syathibi kemudian mengarang kitab al Muwafaqat dan al I’tisham. Di samping juga kitab-kitab yang lain. Karena dua kitab itulah Rasyid Ridha memberinya predikat Mujaddid fi al Islam dan al Mushlih. Kitab al Muwafaqat semula diberi judul al Ta’rif bi Asrar al Taklif karena menyingkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Setelah bermimpi bertemu dengan gurunya, lalu Imam Syathibi menggantinya dengan nama al Muwafaqat karena kitab tersebut menyelaraskan dua madzhab yakni Maliki yang notabene ahli hadits dan Hanafi yang dikenal dengan ahli ra’yi.

Dijuluki Mujaddid fi al Islam sebab ia telah memberikan terobosan baru dalam dunia pemikiran Islam, khususnya dalam hal istinbath al ahkam. Yaitu dengan memadukan teori-teori (nadhariyat) Ushul Fiqh dengan konsep maqashid al syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan kontekstual. Fiqh tak hanya menjadi praktik ritual keagamaan (fardhiyah syakhshiyyah) saja, tapi juga berpengaruh pada tataran amaliyyah yaumiyyah. 

Sedangkan gelar al Mushlih diberikan kepada Syathibi karena jasanya yang besar dalam meluruskan kembali ajaran Islam yang sempat diselewengkan oleh sekelompok orang yang mendapat legitimasi dari pemerintahan di masanya. Konsep dalam al I’tisham juga mempengaruhi Muhammad Abduh untuk selalu mengembangkannya demi menghidupkan harakah salafiyah. 

Kiranya teori-teori yang ditawarkan oleh Imam Syathibi dalam beberapa kitabnya sangat penting dipelajari dan dikembangkan mengingat semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam masa sekarang. Dengan demikian diharapkan seluruh aspek kehidupan akan berjalan sesuai ajaran Islam yang benar tanpa adanya perasaan keberatan dan kesulitan dari masing-masing individu. Karena akal mampu menangkap pesan dari pensyari’atan suatu hukum. Wallahu a’lam bi al shawab.

1 komentar:

ARISTIONO NUGROHO mengatakan...

Assallamu'alaikum Wr. Wb.
Hi friend, peace...
Blognya bagus banget, update terus yaa...
Kalau sempat silahkan berkunjung atau mengikuti blog saya, "Sosiologi Dakwah" di http://sosiologidakwah.blogspot.com
Wassallamu'alaikum Wr. Wb.