Rabu, 13 Mei 2009

Ibnu Hazm al-Andalusi (Summary)

Nama lengkap ulama yang populer sebagai pengusung madzhab Dzahiri (aliran tekstual) ini adalah Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm Al-Andalusi. Ia dilahirkan di Cordoba pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November 994 M. Ia memiliki kakek berkebangsaan Persia (Iran) bernama Yazid. Yazid sendiri adalah salah seorang hamba sahaya milik Yazid bin Abi Sofyan (w: 19 H), saudara Muawiyah bin Abi Sofyan (w: 60 H). Setelah dimerdekakan dari status budak, keturunan Yazid tetap menjalin hubungan baik dengan keturunan Muawiyah, Kedekatan dua keluarga besar ini menjadikan pribadi Ibn Hazm loyal dan fanatik terhadap dinasti Bani Umayah di Andalusia (Spanyol).



Ibn Hazm beserta keluarganya tinggal di Montlisam (kini disebut Montijar) di kawasan Huelva, Andalusia bagian barat daya yang terletak dalam wilayah Niebla. Ia tumbuh dewasa sebagai putra seorang menteri pada masa pemerintahan Al Manshur bin Abu ‘Amir. Pasca berpulangnya sang ayah ke rahmatullah pada akhir Dzulqa‘dah 402 H/Juni 1013 M, Ibn Hazm yang masih berusia sembilan belas tahun pun meninggalkan Cordoba yang saat itu sedang diguncang prahara perang saudara dan menetap di Almeria dan Jativa. Di kedua kota itu, ia tidak tinggal untuk selamanya karena pada akhirnya ia juga berpindah lagi ke tempat lain.

Lima tahun kemudian ia kembali ke Cordoba. Sesampainya di kota kelahirannya, sebuah jabatan pemerintahan yang pernah dipegang oleh ayahnya, diberikan kepada Ibn Hazm, yaitu jabatan menteri. Ia diangkat sebagai menteri oleh Abdurrahman IV Al Murtadha. Sejak saat itu dunia politik tak asing lagi baginya. Ia dapat menjalankan tugas sebagai menteri dengan baik. Namun pada tahun-tahun berikutnya, beberapa kali ia terlibat dalam konflik politik yang keras dan menegangkan, terutama selepas pembunuhan ‘Abdurrahman V Al-Mustazhhir pada 424 H/1023 M, yang mengantarkannya ke dalam bui penjara. Setelah merasakan pahit getirnya kancah politik, ia melepaskan diri dari dunia politik dan konsentrasi pada dunia ilmu pengetahuan. Di sinilah ia banyak memberikan kontribusi kepada umat manusia melalui karya-karyanya yang monumental dan berkualitas.

Berbagai kitab telah ia tulis dalam disiplin ilmu yang berbeda. Ia tak hanya pakar dalam ilmu Fiqh saja, tetapi banyak bidang pengetahuan yang ia kuasai dan itu dituangkannya dalam bentuk tulisan sehingga dapat dinikmati oleh generasi sesudahnya hingga saat ini. Nampaknya ia benar-benar menerapkan semboyan scripta manent verba volant (apa yang ditulis akan tetap abadi dan apa diucapkan akan terbang bersama angin). Untuk itu ia diberi predikat sebagai seorang filosof, teolog, faqih, sastrawan, politikus, sejarawan, negarawan, akademisi dan lain sebagainya. Dalam bidang Fiqh, kitabnya yang berjudul al Muhalla menjadi rujukan utama bagi Fuqaha’ Mu’ashirin (pakar Fiqh kontemporer). Al Ihkam fi Ushul al Ahkam juga tak kalah menariknya untuk dipelajari oleh penikmat ilmu Ushul Fiqh. Di bidang Akhlak, ia menyusun karya besarnya dengan judul al Akhlâq wa al Sair fi Mudâwah AL Nufûs. Tak mengherankan jika ia mendapat gelar al Imam (Sang Imam).

Selain itu, ternyata sang Imam dari Andalusia ini juga melahirkan karya besar tentang cinta yakni Thuqul Hamamah. Karya yang mulai disusun oleh Ibn Hazm pada 428 H/1027 M di Jativa, ditemukan kembali pada awal abad ke-19 M dan membuat geger dunia ilmiah di bidang Kajian Ketimuran, terutama Kajian Andalusia. Seperti karya-karyanya yang lain. karya itu pun lantas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Pada 1931 di Paris terbit terjemahannya pertama kali itu dalam bahasa Inggris oleh L. Nykl. Sepuluh tahun kemudian, M. Weisweiler menerjemahkan karya ini ke dalam bahasa Jerman. Dan pada tahun 1949, F. Garibaldi menerjemahkannya ke dalam bahasa Italia. Di tahun yang sama, Leon Bercher menerjemahkan ulang karya yang acap dipandang sebagai karya paling menarik tentang cinta dari masa pertengahan ini, di dunia Islam maupun Kristen, ke dalam bahasa Prancis. Kemudian, pada 1952, terbit terjemahan pertama karya ini dalam bahasa Spanyol oleh Emilio Garcia Gomez. Tahun berikutnya, seorang orientalis terkemuka Inggris, Anthony J. Arberry, menerjemahkan kembali karya yang menyajikan pandangan dan pikiran Ibn Hazm tentang cinta ini ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Ring of the Dove. 

Kekaguman dan setakjuban tak hanya berhenti sampai di situ saja. Tak hanya orang berkebangsaan asing yang mengalihbahasakan Thuqul Hamamah ke dalam bahasa yang mereka kehendaki, seperti bahasa Inggris, Jerman. Italia, Prancis dan Spanyol. Ketertarikan terhadap kitab yang berisi tentang teori cinta baik secara horizontal maupun vertikal itu juga menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Terbukti kitab tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk pertama kalinya oleh Anif Sirsaeba yaitu adik seorang sastrawan sekaligus da’i terkenal bernama Habiburrahman El Shirazy. Kitab saduran Anif Sirsaeba ini diterbitkan dengan judul Di Bawah Naungan Cinta pada tahun 2006.

Ilmuwan produktif yang konon telah mengarang sekitar 400 buku ini meninggalkan dunia untuk selama-lamanya di Montlisam pada Sabtu, 28 Sya‘ban 456 H/14 Agustus 1064 M. Meski nyawa telah terpisah dari jasadnya, wajahnya tak dijumpai lagi, tanah yang digunakan untuk mengubur jenazahnya telah bersatu dengan bumi, namun ide dan gagasannya masih bisa dikaji oleh pencinta ilmu pengetahuan saat ini. Pada hakikatnya ia masih “hidup.” Perjuangannya dalam menghidupkan khazanah intelektual muslim di berbagai cabang ilmu pengetahuan masih dirasakan oleh umat Islam hingga detik ini. Semoga apa yang telah diperbuatnya mendapat imbalan yang mulia di sisi-Nya.

Tidak ada komentar: