Senin, 07 Juli 2014

Tiket Masuk ke Komisi Yudisial


Lima bulan aku menempati kantor ini. Kantor mentereng berlantai enam di Jalan Kramat Raya Nomor 57. Jalan strategis yang menghubungkan Senen dan Salemba. Berbilang-bilang minggu aku menjadi bagian dari keluarga besar instansi ini. Instansi yang kelahirannya dibidani oleh para reformis yang kecewa dengan sistem hukum masa lampau. Instansi yang eksistensinya termaktub dalam Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945. Instansi yang setara dengan tujuh lembaga negara: Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK dan MPR. Ya, terhitung mulai Februari 2014 aku resmi eker-eker di Komisi Yudisial, mencari rezeki sebagai staf anotasi.

Tahun lalu, ketika kubaca informasi pembukaan pendaftaran CPNS Komisi Yudisial di laman facebook CPNS Indonesia, aku langsung tertarik, berminat mencoba. Kualifikasi pendidikan yang tercantum, al-Ahwal al-Syakhsiyah, membuat mataku berbinar. Aih, jarang-jarang ada instansi yang terang-terangan menyebutkan nama jurusanku. Instansi-instansi lain yang membuka kesempatan untuk alumnus sepertiku hanya menuliskan Hukum Islam, tidak spesifik al-Ahwal al-Syakhsiyah. Itulah hal pertama yang memicu ketertarikan untuk mencoba mendaftar meski peluangnya kecil. Hanya dua orang dari program studiku yang akan diterima. Para lulusan Hukum yang akan mendominasi.

Bismillah. Dengan restu dan doa orang tua, aku menyiapkan segala pernak-pernik pendaftaran. Untuk kelengkapan administrasi berupa ijazah, transkrip nilai dan Surat Ketetapan Akreditasi Jurusan, aku rela berletih-letih ke Surabaya. Birokrasi kampus, alhamdulillah, tidak mempersulit. Dengan menyerahkan Surat Keterangan Mengabdi yang kubuat dengan sisipan hasil scan kop Madrasah Aliyah Al-Hikmah dan tanda tangan Kepala Madrasah, aku mendapatkan apa yang kubutuhkan. Pak Farid, staf di kantor akademik fakultasku, mempermudah urusanku. Satu lagi, aku memperoleh bonus scan ijazah dan transkrip nilai asli yang dikirim via email beberapa hari setelahnya. Ah, waktu itu aku baru tahu ternyata ijazah alumni Program Beasiswa Santri Berprestasi disimpan di kampus, bukan di Kementerian Agama.

Usai urusan di Surabaya beres, aku bergegas mengurus Surat Keterangan Dokter di RSUD Demak. Sempat aku merasa amat kesal karena berjam-jam menunggu dokter. Saat di ruang pemeriksaan sesudah dokter membubuhi tanda tangan di atas kertas kecil surat keterangan, dua asisten dokter (atau apalah namanya) menginterogasiku. Awalnya mereka basa-basi bertanya aku mau mendaftar tes CPNS di mana. Mantap kujawab, di Komisi Yudisial. Lalu mereka mengetesku soal teori hukum yang lantas bisa kutanggapi dengan baik. Pun, mereka menanyakan siapa Ketua Komisi Yudisial sekarang. Kukatakan, belum tahu, lupa. Ah, kala itu memang nama Ketua Komisi Yudisial belum familiar di benakku. Sekonyong-konyong, mereka mengecapku tidak akan lulus tes CPNS karena nama pejabat tertinggi di instansi yang kulamar saja aku tidak tahu.

Jujur, kejadian di RSUD Demak itu sedikit membuat nyaliku ciut. Apa aku bisa bersaing dengan para pendaftar CPNS Komisi Yudisial? Apa aku bisa melalui tahapan-tahapan seleksi? Apa aku mampu dan pantas kerja di lembaga negara yang bergerak di bidang hukum murni, bukan hukum Islam? Aku produk dari Jurusan Hukum Keluarga Islam, sementara Komisi Yudisial identik dengan hukum umum. Sewaktu di kampus dulu, aku juga kurang intens mempelajari teori hukum. Malah saat semester enam atau tujuh aku sempat kehilangan spirit belajar lantaran kebanyakan matakuliah yang tersaji mengenai hukum umum. Ya, aku tidak lebih menyukai hukum umum ketimbang hukum Islam. Meskipun demikian, aku tidak gentar untuk mencoba peruntungan di Komisi Yudisial. Siapa tahu, Gusti Allah ternyata menghendakiku kerja di ranah hukum.

Aku suka bernostalgia, mengingat proses seleksi di Komisi Yudisial yang tidak bisa dibilang mudah. Di seleksi administrasi, IPK dan skor TOEFL menjadi penentu kelulusan, di samping berkas kelengkapan lainnya. Pada tahap Tes Kompetensi Dasar dengan sistem CAT, passing grade harus terlampau agar lolos. Itu pun akan tereliminasi kalau ada peserta lain dengan skor lebih tinggi. Alhamdulillah, pada tahap ini skorku tinggi sehingga aku mantap lulus dan menyiapkan materi untuk tes berikutnya. Selanjutnya, tahap seleksi yang sangat menegangkan adalah Tes Kompetensi Bidang dua hari dengan PPM Management sebagai eksaminatornya. Tahap terakhir yang paling menantang yaitu wawancara pimpinan. Tidak tanggung-tanggung, interviewer-ku adalah Komisioner, Sekretaris Jenderal dan Kepala Biro Pengawasan Perilaku Hakim.

Alhamdulillah, aku dinyatakan lulus seluruh tahap seleksi. Berkah doa orang tua, Gusti Allah meluluskanku. Ternyata Komisi Yudisial-lah tempat terbaik yang disiapkan oleh Allah untuk aku berlabuh, entah sementara atau seumur hidup. Tiket masuk ke Komisi Yudisial adalah anugerah yang amat besar. Kurasa ini lebih membahagiakan daripada kelulusanku pada Program Beasiswa Santri Berprestasi enam tahun silam, pasca lulus Madrasah Aliyah. Aku bersyukur, sungguh bersyukur. Memiliki sepetak ruang di Komisi Yudisial adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ini kejutan, benar-benar kejutan yang begitu indah.
----

Lebih dari seperempat tahun aku di lembaga yang mempunyai dua core bussiness, menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim, ini. Setiap pagi, kecuali weekend, aku berangkat jalan kaki dari kos ke kantor selama kira-kira delapan menit. Mobil-mobil dan motor-motor yang parkir di badan jalan membuatku tegang, tapi aku tetap enjoy melewatinya. Aku selalu pergi ke dan dari Komisi Yudisial dengan gembira. Semangat eker-eker rezeki tumbuh subur. Sebelum keluar kamar kos dan keluar rumah kos, aku membiasakan untuk berdoa semoga selamat dan rezekiku berkah serta melimpah.


Sesampai di lantai dasar Komisi Yudisial, kuhirup udara AC yang begitu segar, kontras dengan udara di luar yang panas dan polutif. Aku bersyukur mendapatkan pekerjaan di kantor yang sejuk, nyaman dan bahkan bunyi hujan pun tidak terdengar. Mengingat orang-orang yang merantau di Jakarta, yang bekerja bermandikan keringat di luar sana, yang kadang belum tahu besok mau makan apa, mengingat mereka, sungguh aku merasa betapa beruntungnya aku. Sekali aku bekerja di Ibukota, aku ditempatkan oleh Allah di lembaga prestisius dengan pendapatan yang tidak pernah kuduga-duga sebelumnya. Apa yang diberikan oleh Allah melalui Komisi Yudisial benar-benar lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fabiayyi aalaai Rabbikumaa tukadzdzibaan? Ini nikmat yang luar biasa, amat luar biasa. Duh Gusti Allah, aku sangat bersyukur atas karuniamu ini.

Secara umum, aku nyaman eker-eker di kantor Komisi Yudisial. Tidak ada yang kukeluhkan. Sejak awal menjadi bagian dari keluarga besar Komisi Yudisial, aku memang sudah berkomitmen untuk tidak mengeluhkan apapun di sini. Jika ada benih keluhan, aku melenyapkannya dengan membayangkan betapa kerasnya hidup di Jakarta bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Mereka harus kerja banting tulang untuk bisa bertahan di kota ini.

Fabiayyi aalaai Rabbikumaa tukadzdzibaan?
Alhamdulillah...

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Apa dia ditakdirkan untuk menjadi seorang yang menyelamatkan sekelilingnya ya??hahahaha. Soale dia sendiri dulu tidak begitu minat menjadi birokrat.
Mengharukan mbak, kalau boleh cerita juga, seorang islahul falah yang sekarang menjadi teman hidup jenengang banyak membantu saya lewat dukungan doa juga tenaga. Waktu pemberkasan CPNS sudah muak dan males karena terlalu ribet.aku sangat dibantunya mengurus dan melengkapi itu semua. dia aku ajak kesana kemari karena bagiku dia seorang yang sangat-sangat ringan tangan, membantu ikhlas dari hati yang paling dalam. Sampai akhirnya aku menjadi ASN kemenag resmi. dalam perjalanan kita dikejar waktu dan brutal di jalan. termasuk saya memukul pintu mobil karena mendadak banting kanan dan kita dikejar hahahaha. Yang membuat menyesal adalah ketika temenku menikah aku tidak bisa datang karena sedang dinas luar. Aku selalu mendoakan Suro Nama akrabku padanya cie cie cie semoga dalam perjalannya dia selalu diberi kemudahan. Dia teman yang benar benar teman. Salam lope dari boyo sujancuk di semarang.

Hibatun Wafiroh mengatakan...

Hai Mas Theo. Terima kasih sudah membaca catatan saya.
Mas Ishlah pernah cerita sedikit tentang njenengan, tapi tidak sampai cerita tentang perjuangan njenengan mendaftar CPNS. Tadi waktu saya kasih tahu Mas Suami soal komentar njenengan di blog, eh Mas Suami langsung tertawa. Apalagi pas ingat njenengan mukul pintu mobil orang. Hehehe. Semoga kita bisa menjadi abdi negara yang jujur dan amanah. Semoga kita bertiga bisa ketemu ya biar makin seru kalau cerita langsung. Oh ya, saya merasa beruntung dan bersyukur banget memiliki Mas Suami sebagai pasangan hidup. Rasa syukur saya saat menikah dengan Mas Suami lebih besar ketimbang saat diterima di KY. Alhamdulillah banget. :-)