Lima bulan aku menempati kantor ini. Kantor mentereng berlantai
enam di Jalan Kramat Raya Nomor 57. Jalan strategis yang menghubungkan Senen
dan Salemba. Berbilang-bilang minggu aku menjadi bagian dari keluarga besar
instansi ini. Instansi yang kelahirannya dibidani oleh para reformis yang kecewa
dengan sistem hukum masa lampau. Instansi yang eksistensinya termaktub dalam
Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945. Instansi yang setara dengan tujuh lembaga
negara: Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK dan MPR. Ya, terhitung
mulai Februari 2014 aku resmi eker-eker di Komisi Yudisial, mencari
rezeki sebagai staf anotasi.
Tahun lalu, ketika kubaca informasi pembukaan pendaftaran CPNS Komisi
Yudisial di laman facebook CPNS Indonesia, aku langsung tertarik, berminat
mencoba. Kualifikasi pendidikan yang tercantum, al-Ahwal al-Syakhsiyah,
membuat mataku berbinar. Aih, jarang-jarang ada instansi yang terang-terangan menyebutkan
nama jurusanku. Instansi-instansi lain yang membuka kesempatan untuk alumnus
sepertiku hanya menuliskan Hukum Islam, tidak spesifik al-Ahwal
al-Syakhsiyah. Itulah hal pertama yang memicu ketertarikan untuk mencoba
mendaftar meski peluangnya kecil. Hanya dua orang dari program studiku yang
akan diterima. Para lulusan Hukum yang akan mendominasi.
Bismillah. Dengan
restu dan doa orang tua, aku menyiapkan segala pernak-pernik pendaftaran. Untuk
kelengkapan administrasi berupa ijazah, transkrip nilai dan Surat Ketetapan
Akreditasi Jurusan, aku rela berletih-letih ke Surabaya. Birokrasi kampus, alhamdulillah,
tidak mempersulit. Dengan menyerahkan Surat Keterangan Mengabdi yang kubuat dengan
sisipan hasil scan kop Madrasah Aliyah Al-Hikmah dan tanda tangan Kepala
Madrasah, aku mendapatkan apa yang kubutuhkan. Pak Farid, staf di kantor
akademik fakultasku, mempermudah urusanku. Satu lagi, aku memperoleh bonus scan
ijazah dan transkrip nilai asli yang dikirim via email beberapa hari
setelahnya. Ah, waktu itu aku baru tahu ternyata ijazah alumni Program Beasiswa
Santri Berprestasi disimpan di kampus, bukan di Kementerian Agama.
Usai urusan di Surabaya beres, aku bergegas mengurus Surat Keterangan
Dokter di RSUD Demak. Sempat aku merasa amat kesal karena berjam-jam menunggu
dokter. Saat di ruang pemeriksaan sesudah dokter membubuhi tanda tangan di atas
kertas kecil surat keterangan, dua asisten dokter (atau apalah namanya) menginterogasiku.
Awalnya mereka basa-basi bertanya aku mau mendaftar tes CPNS di mana. Mantap
kujawab, di Komisi Yudisial. Lalu mereka mengetesku soal teori hukum yang lantas bisa
kutanggapi dengan baik. Pun, mereka menanyakan siapa Ketua Komisi Yudisial
sekarang. Kukatakan, belum tahu, lupa. Ah, kala itu memang nama Ketua Komisi Yudisial belum familiar di benakku. Sekonyong-konyong, mereka
mengecapku tidak akan lulus tes CPNS karena nama pejabat tertinggi di instansi yang kulamar saja aku tidak tahu.
Jujur, kejadian di RSUD Demak itu sedikit membuat nyaliku ciut. Apa aku bisa
bersaing dengan para pendaftar CPNS Komisi Yudisial? Apa aku bisa melalui
tahapan-tahapan seleksi? Apa aku mampu dan pantas kerja di lembaga negara yang
bergerak di bidang hukum murni, bukan hukum Islam? Aku produk dari Jurusan
Hukum Keluarga Islam, sementara Komisi Yudisial identik dengan hukum umum. Sewaktu
di kampus dulu, aku juga kurang intens mempelajari teori hukum. Malah saat
semester enam atau tujuh aku sempat kehilangan spirit belajar lantaran kebanyakan
matakuliah yang tersaji mengenai hukum umum. Ya, aku tidak lebih menyukai hukum
umum ketimbang hukum Islam. Meskipun demikian, aku tidak gentar untuk mencoba
peruntungan di Komisi Yudisial. Siapa tahu, Gusti Allah ternyata menghendakiku
kerja di ranah hukum.
Aku suka bernostalgia, mengingat proses seleksi di Komisi Yudisial yang
tidak bisa dibilang mudah. Di seleksi administrasi, IPK dan skor TOEFL menjadi penentu
kelulusan, di samping berkas kelengkapan lainnya. Pada tahap Tes Kompetensi
Dasar dengan sistem CAT, passing grade harus terlampau agar lolos. Itu
pun akan tereliminasi kalau ada peserta lain dengan skor lebih tinggi. Alhamdulillah, pada tahap ini skorku tinggi sehingga aku mantap lulus dan menyiapkan materi untuk tes berikutnya. Selanjutnya,
tahap seleksi yang sangat menegangkan adalah Tes Kompetensi Bidang dua hari dengan
PPM Management sebagai eksaminatornya. Tahap terakhir yang paling menantang
yaitu wawancara pimpinan. Tidak tanggung-tanggung, interviewer-ku adalah Komisioner,
Sekretaris Jenderal dan Kepala Biro Pengawasan Perilaku Hakim.
Alhamdulillah, aku
dinyatakan lulus seluruh tahap seleksi. Berkah doa orang tua, Gusti Allah
meluluskanku. Ternyata Komisi Yudisial-lah tempat terbaik yang disiapkan oleh
Allah untuk aku berlabuh, entah sementara atau seumur hidup. Tiket masuk
ke Komisi Yudisial adalah anugerah yang amat besar. Kurasa ini lebih
membahagiakan daripada kelulusanku pada Program Beasiswa Santri Berprestasi enam tahun silam, pasca lulus Madrasah Aliyah. Aku
bersyukur, sungguh bersyukur. Memiliki sepetak ruang di Komisi Yudisial adalah
sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ini kejutan, benar-benar
kejutan yang begitu indah.
----
Lebih dari seperempat tahun aku di lembaga yang mempunyai dua core
bussiness, menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim, ini.
Setiap pagi, kecuali weekend, aku berangkat jalan kaki dari kos ke
kantor selama kira-kira delapan menit. Mobil-mobil dan motor-motor yang parkir di badan jalan membuatku
tegang, tapi aku tetap enjoy melewatinya. Aku selalu pergi ke dan dari
Komisi Yudisial dengan gembira. Semangat eker-eker rezeki tumbuh subur. Sebelum
keluar kamar kos dan keluar rumah kos, aku membiasakan untuk berdoa semoga
selamat dan rezekiku berkah serta melimpah.
Sesampai di lantai dasar Komisi Yudisial, kuhirup udara AC yang begitu
segar, kontras dengan udara di luar yang panas dan polutif. Aku bersyukur mendapatkan
pekerjaan di kantor yang sejuk, nyaman dan bahkan bunyi hujan pun tidak
terdengar. Mengingat orang-orang yang merantau di Jakarta, yang bekerja
bermandikan keringat di luar sana, yang kadang belum tahu besok mau makan apa,
mengingat mereka, sungguh aku merasa betapa beruntungnya aku. Sekali aku
bekerja di Ibukota, aku ditempatkan oleh Allah di lembaga prestisius dengan pendapatan
yang tidak pernah kuduga-duga sebelumnya. Apa yang diberikan oleh Allah melalui Komisi Yudisial benar-benar lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fabiayyi aalaai Rabbikumaa
tukadzdzibaan? Ini nikmat yang luar biasa, amat luar biasa. Duh Gusti Allah, aku sangat
bersyukur atas karuniamu ini.
Secara umum, aku nyaman eker-eker di kantor Komisi Yudisial. Tidak
ada yang kukeluhkan. Sejak awal menjadi bagian dari keluarga besar Komisi Yudisial, aku memang sudah berkomitmen untuk tidak mengeluhkan apapun di sini.
Jika ada benih keluhan, aku melenyapkannya dengan membayangkan betapa kerasnya
hidup di Jakarta bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Mereka harus kerja
banting tulang untuk bisa bertahan di kota ini.
Fabiayyi aalaai Rabbikumaa tukadzdzibaan?
Alhamdulillah...
2 komentar:
Apa dia ditakdirkan untuk menjadi seorang yang menyelamatkan sekelilingnya ya??hahahaha. Soale dia sendiri dulu tidak begitu minat menjadi birokrat.
Mengharukan mbak, kalau boleh cerita juga, seorang islahul falah yang sekarang menjadi teman hidup jenengang banyak membantu saya lewat dukungan doa juga tenaga. Waktu pemberkasan CPNS sudah muak dan males karena terlalu ribet.aku sangat dibantunya mengurus dan melengkapi itu semua. dia aku ajak kesana kemari karena bagiku dia seorang yang sangat-sangat ringan tangan, membantu ikhlas dari hati yang paling dalam. Sampai akhirnya aku menjadi ASN kemenag resmi. dalam perjalanan kita dikejar waktu dan brutal di jalan. termasuk saya memukul pintu mobil karena mendadak banting kanan dan kita dikejar hahahaha. Yang membuat menyesal adalah ketika temenku menikah aku tidak bisa datang karena sedang dinas luar. Aku selalu mendoakan Suro Nama akrabku padanya cie cie cie semoga dalam perjalannya dia selalu diberi kemudahan. Dia teman yang benar benar teman. Salam lope dari boyo sujancuk di semarang.
Hai Mas Theo. Terima kasih sudah membaca catatan saya.
Mas Ishlah pernah cerita sedikit tentang njenengan, tapi tidak sampai cerita tentang perjuangan njenengan mendaftar CPNS. Tadi waktu saya kasih tahu Mas Suami soal komentar njenengan di blog, eh Mas Suami langsung tertawa. Apalagi pas ingat njenengan mukul pintu mobil orang. Hehehe. Semoga kita bisa menjadi abdi negara yang jujur dan amanah. Semoga kita bertiga bisa ketemu ya biar makin seru kalau cerita langsung. Oh ya, saya merasa beruntung dan bersyukur banget memiliki Mas Suami sebagai pasangan hidup. Rasa syukur saya saat menikah dengan Mas Suami lebih besar ketimbang saat diterima di KY. Alhamdulillah banget. :-)
Posting Komentar