Rabu, 22 April 2009

Jangan Panggil Aku Pelacur

Langit masih terlihat gelap meski bumi telah diterangi oleh miliaran watt lampu listrik. Tak ada satu pun sumber cahaya di dunia yang mampu mengalahkan bulan, bintang dan matahari. Suara bising kendaraan belum terdengar sebab sebagian besar manusia tengah asyik mengembara di alam mimpi mereka. Inilah saat yang tepat bagiku untuk meninggalkan Surabaya, sebuah kota yang menjadi saksi bisu akan kebusukanku di masa lalu. Aku tak ingin orang lain mengetahui kepergianku. Oleh karena itu, kuputuskan untuk meninggalkan rumah sebelum adzan Shubuh dikumandangkan.

Tanpa terasa aku sudah sampai di terminal Bungur Asih. Sebelum masuk ke dalam bus, terlebih dahulu kulaksanakan shalat Shubuh. Meski diriku berlumuran dosa, namun kewajiban yang satu itu tak pernah kutinggalkan. Aku juga tak mau perjalananku nanti tak direstui oleh-Nya karena aku melalaikan perintah-Nya.
Tempat yang kutuju ialah Kajen, sebuah desa di kabupaten Pati, Jawa Tengah yang terkenal akan santri dan kiainya sebab di sana ada puluhan pesantren yang ditempati oleh ribuan santri. Itulah kenapa Kajen disebut dengan Kota Santri. Sebelumnya aku tak pernah mengenal nama Kajen, sebab wawasanku tentang itu tak begitu luas. Aku mengetahuinya dari seorang pria baik hati bernama Pak Muhim dua hari setelah ayahku meninggal dunia.


“Feris, sebaiknya kamu berubah mulai sekarang sebelum semuanya terlambat,” katanya setelah mengetahui keadaan diriku sebenarnya. Aku bertemu dengannya di terminal Joyoboyo. Mungkin karena kasihan melihatku, kemudian ia mendekatiku hingga akhirnya aku berterus terang kepadanya. Dia lalu mengeluarkan secarik kertas berisi alamat sebuah pesantren di Kajen dan sebuah amplop berisi uang sebagai bekal perjalananku nanti. Sungguh dia seperti malaikat yang tiba-tiba muncul di hadapanku untuk menolongku.

Tanpa berpikir panjang aku langsung menerima tawarannya. Sebab aku telah berkomitmen untuk berubah menjadi lebih baik sejak ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Perbuatan-perbuatan buruk dan keji di masa lampau harus kutebus dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bertaubat adalah hal utama yang harus kulakukan. Dan kurasa Kajen adalah tempat yang tepat untuk mendidik kepribadianku yang sempat tak karuan arahnya.
***


Setelah duduk di dalam bus, tiba-tiba butiran-butiran lembut nan sejuk mengalir dari kedua pelupuk mataku. Bayangan kenangan kelam masa lalu datang di pikiranku. Aku menangis tersedu. Andaikan waktu bisa kembali, pasti aku tak akan melakukan hal gila yang bisa merusak masa depanku itu. Andaikan aku mampu mengendalikan waktu, tentu aku tak akan pernah merelakan kehormatanku dihargai dengan uang dua puluh juta di usiaku yang masih belia yaitu 13 tahun. Ya, aku telah berprofesi sebagai PSK sejak duduk di bangku SMP kelas VIII. Aku tak tahu kenapa aku bisa sampai melepaskan keperawananku hanya demi uang yang nominalnya sangat kecil itu. Mungkin karena aku salah bergaul sehingga aku terjerumus ke lembah maksiat bernama seks bebas. Aku bergabung dengan gang cewek beranggotakan lima orang yang semuanya memiliki aktivitas baru di luar sekolah, yakni berkencan dengan pria hidung belang. Tiap kali jalan, kami bisa meraup uang tiga juta sampai lima juta, jumlah yang besar saat aku belum sadar akan berharganya sebuah kehormatan diri.

Kalau saja saat itu aku ingat bahwa zina adalah dosa besar, pastinya saat ini aku masih bisa berdiri tegak dengan kedua kakiku di bumi Indonesia tanpa menanggung aib apapun. Tapi apa daya hal itu hanyalah tamanni yang tak mungkin terwujud meski aku mengemis di hadapan Allah seumur hidupku. Nasi telah menjadi bubur. Aku harus mampu memanfaatkan waktu yang masih tersisa sebelum malaikat mencabut nyawaku.

Di Surabaya aku tinggal berdua dengan ayah di sebuah rumah seluas 5 x 5 m. Ibu meninggal sesaat setelah melahirkanku. Ayah bekerja sebagai penjual bakso keliling. Pagi jam sembilan ia telah bersiap-siap untuk menjajakan dagangannya dan pulang sebelum matahari terbenam. Aku bekerja sebagai PSK siang hari sehingga ayah tak mengetahui bahwa anaknya selalu berbuat dosa besar setiap seminggu sekali. Namun sepandai apapun tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Akhirnya ayah pun tahu dan marah besar.

“Feris, kenapa kau bisa sampai melakukan hal itu? Apakah ayahmu ini tak mampu mencukupi kebutuhanmu sehingga kamu mencari uang dengan cara yang tak halal? Apakah ayahmu ini tak pernah mendidikmu tentang etika hingga kamu bisa berbuat zina padahal usiamu masih belia? Meskipun kita miskin tapi kita tak boleh melepaskan kehormatan kita hanya demi uang. Ayah sungguh kecewa denganmu.” Itulah kata-kata ayah yang selalu terngiang di telingaku. Sejak saat itu dia sakit dan pada akhirnya meninggalkanku untuk selama-lamanya. Uang hasil dari kerjaku sebagai PSK selama enam bulan yang ku tabung habis untuk biaya perawatan ayah. Kini aku hidup sendiri dan dalam hati aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
***


Perjalanan selama tujuh jam ini sangat melelahkan. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Jawa Tengah. Tenang, damai dan sejuk. Itulah kesan yang muncul saat memasuki desa Kajen. Tak seperti di Surabaya, di sini udaranya sangat menyegarkan. Namun ada satu hal yang membuatku merasa heran dan jijik yaitu kotoran kuda ada di sepanjang jalan. Ya, di sini kereta kuda masih dijadikan sebagai alat transportasi utama khususnya bagi santri. Mungkin karena biayanya lebih murah.

“Assalamu’alaikum,” ucapku sewaktu sampai di rumah pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Jannah. Tak terlalu sulit untuk menemukan pesantren berlantai tiga yang sangat besar ini. Karena hampir semua kusir tahu pondok tersebut. Tak lama kemudian terdengar suara orang menjawab salamku dan keluar dari balik pintu kamar. Dan aku tak menyangka ternyata Pak Muhimlah pengasuh yang kucari.

“Bagaimana, Feris? Apakah kamu telah siap menjalani hidup di pesantren ini?” tanyanya.

Dengan kepala tertunduk, aku pun menjawab. “Ya, Pak. Saya telah memutuskan untuk belajar agama di sini. Dan saya berharap Bapak bersedia membimbing saya yang penuh dosa ini. Sungguh saya ingin bertaubat. Saya ingin membuka lembaran baru di pesantren yang Bapak asuh ini.” Tak kusadari mataku mulai berkaca-kaca.

Pembicaraan kami berlangsung cukup lama. Banyak nasihat yang kudapatkan darinya. Aku beruntung telah mengenalnya. Tak bisa kubayangkan apa jadinya diriku seandainya aku tak bertemu dengan Pak Muhim kala itu. Mungkin aku akan terombang-ambing tanpa tujuan di Surabaya. Aku juga berharap dia bisa menuntunku ke jalan yang benar.
***


Rutinitasku di Pesantren Bustanul Jannah berjalan lancar. Kuikuti kegiatan pengajian kitab kuning dengan semangat yang luar biasa. Kini Alhamdulillah sedikit demi sedikit aku telah bisa mencerna materi yang disampaikan oleh para ustadz. Padahal pengetahuanku tentang agama bisa dikatakan sangat minim. Selain di pesantren, aku belajar pula di Madrasah Tsanawiyah Bustanul Jannah yang masih dalam satu komplek dengan pesantren. Para santriwati di sini pun bersikap terbuka kepadaku sehingga membuatku semakin nyaman menjalani hari-hariku di desa baru yang jauh dari tanah kelahiranku ini.

Namun di bulan yang ke-7 tiba-tiba suasana di pesantren berubah drastis. Sejak bangun tidur tak ada satu pun kawan yang mau berbicara denganku. Semuanya terdiam dan menghindariku. Entah penyebabnya apa aku tak tahu. Aku merasa mereka jijik melihatku seakan-akan diriku ini adalah sebuah barang yang terkena najis dan belum disucikan. Aku seperti orang asing. Hanya ada satu praduga dalam pikiranku, yaitu mereka tahu masa laluku yang kelam. Aku takut jika hal itu sampai terjadi. Dan ternyata dugaanku benar.

“Lihatlah, seorang PSK datang di kelas kita.” Tak sengaja aku mendengar perkataan itu dari salah seorang teman sekelasku. Deg. Ingin rasanya aku jatuh pingsan seketika.

“Untuk apa ya dia ke sini. Padahal ini bukan tempat untuk melakukan gitu-gituan, “ teman yang lain menimpali dengan perkataan yang membuatku semakin sakit. Setelah sekian lama aku mencoba untuk melupakan kenangan hitamku, kenapa kini mereka mengingatkanku kembali.

“Teman-teman, ada berita aktual yang sayang untuk dilewatkan. Yaitu Feris yang kelihatannya sangat alim itu ternyata seorang pelacur.” Dina, gadis berpostur tinggi itu menyebarkan berita yang hampir saja membuat gendang telingaku pecah. Dengan suara agak parau aku menanggapi mereka.

“Maaf, aku bukan PSK. Dan jaga omongan kalian.”

“Ah, mana mungkin ada maling yang mengaku. Mana mungkin dia berani berterus terang kepada kita bahwa dia pelacur.” Kata seorang teman berparas cantik yang kemudian disusul dengan suara tertawa dari teman-teman sekelas. Bahkan sebagian siswi kelas yang lain juga ikut menyaksikan. Aku sangat malu. Ingin sekali aku menumpahkan air mata namun aku harus menahannya karena aku tak mau menangis di hadapan mereka.
“Jangan panggil aku pelacur. Aku tegaskan lagi bahwa aku sekarang bukan PSK. Aku adalah santri PP. Bustanul Jannah. Dan aku juga teman kalian. Kenapa kalian tega mengatakan demikian?”

“Hai Feris, mengaku sajalah kalau kamu itu memang pelacur. Kamu itu pendosa. So, kamu tidak pantas berteman dengan kami.” Respons seorang teman yang membuat hatiku semakin teriris.

Berbagai macam cercaan, hinaan dan kutukan kuterima pagi itu. Setelah sekian lama aku mencari identitasku yang sempat hilang dan berusaha untuk melupakan bahwa aku pernah bekerja sebagai PSK, kini aku diingatkan tentang hal itu lagi oleh orang-orang yang kuharapkan bisa menjadi teman di kala aku senang dan sedih, yang kuharapkan bisa menjadi teman diskusi di saat aku kesulitan dalam belajar. Tapi kenapa mereka musti mencerca dan menghinaku sekejam ini. Apakah mereka lupa bahwa Allah akan menerima taubat seseorang yang benar-benar ingin menempuh jalan kebenaran. Aku memang seorang gheisha. Tapi itu dulu ketika aku belum sadar. Kini aku berkomitmen untuk menjadi orang baik meski dengan berbagai kekurangan dan kelemahan yang kumiliki.

“Teman-teman, sekali lagi kumohon jangan memanggilku pelacur. Karena memang sekarang ini aku bukan pelacur,” kataku dengan nada memohon. Suasana kelas masih ramai mempergunjingkan diriku. Ini mengingatkanku ke peristiwa tujuh bulan yang lalu. Yaitu ketika aku dan anggota gangku yang lain dikeluarkan dari SMP tempatku belajar di Surabaya setelah diketahui sering melakukan tindakan asusila. Dianggap telah mencemarkan nama baik sekolah, kami pun di-DO. Dari situ ayah akhirnya tahu bahwa ternyata anaknya seorang pelacur.

Beberapa menit kemudian bel berbunyi. Ustadz pengampu mata pelajaran bahasa Arab masuk ke dalam kelasku. Walaupun sudah ada ustadz, tak sedikit teman yang masih berbisik-bisik membicarakanku. Dan itu membuat suasana kelas kurang kondusif. Hingga akhirnya ustadz menanyakan perihal keramaian mereka. Dan tak kusangka mereka berani berterus terang.

“Pak, kami saat ini sedang digemparkan oleh berita terungkapnya jati diri Feris. Bapak sudah tahu kabar ini belum? Bahwa ternyata Feris adalah seorang perempuan liar tak berakhlak. Dia ternyata seorang pelacur.” Ustadz terlihat kaget dan seketika membawaku ke kantor untuk dimintai keterangan.

Sehari kemudian.

Walaupun berita masa laluku yang kelam sudah tersebar ke seluruh pelosok desa Kajen, aku masih bisa berjalan tegak tanpa harus memakai cadar untuk menutupi mukaku karena malu. Aku tak lagi menghindar dari tatapan mata orang-orang yang benci dan merasa jijik melihatku. Aku tak lagi menutupi telinga ketika mendengar orang sedang ghibah tentangku. Aku tak lagi anti ketika mendengar kata pelacur. Sebab pasca kejadian tempo lalu, aku langsung menerima jaminan perlindungan dari Pak Muhim. Aku menerima berbagai masukan darinya yang membuatku semakin mantap menjalani proses metamorfosis ini. Aku semakin semangat dalam mengkaji turats islami. Aku yakin dengan kesungguhan yang luar biasa, insya Allah aku akan memperoleh kesuksesan dalam belajar.
***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Heheheehe.... Purabaya rek...