Minggu, 18 Januari 2009

I Wanna Love You Coz of Him




Pagi ini terasa begitu indah. Tentunya dengan segala keajaibannya yang amat dahsyat. Tetesan embun di permukaan daun yang lambat laun membasahi tanah. Kicauan burung di ranting pepohonan terdengar merdu seakan mempersembahkan sebuah lagu kebahagiaan dan kegembiraan kepadaku yang sedang dirundung sejuta rasa bahagia. Sinar keemasan matahari merambat dengan pasti ke seluruh bagian muka bumi, bahkan sampai ke celah terkecil pun.

Memang sejak beberapa minggu yang lalu aku senantiasa memuji kebesaran ayat-ayat Allah yang ditunjukkan oleh-Nya di alam semesta ini. Untaian kalimat Hamdalah tak henti-hentinya mengalir dari kedua bibirku. Terutama hari ini. Hari di mana aku akan mengukir kenangan terindah dalam hidupku. Kedua mataku tak mampu lagi menahan butiran-butiran lembut yang membuat pipi terasa dingin. Aku sungguh terharu. Ingin rasanya aku bersujud di hadapan-Nya sepanjang hari ini.

"Ya Allah, betapa besar nikmat yang telah Kau berikan kepadaku. Sehinnga aku tak kuasa mengatakan apapun selain puji syukurku kapada-Mu. Ya Allah, berkahilah moment penting yang akan terjadi nanti. Amin."

Air mataku masih mengalir dan membanjiri pipiku ketika mobileku berdering.

"D', skrg Mas sdh smp d Rembang. Doakn Mas n klwrg spy slmt smp 7an. Sbr y. Mg nnti brjln lncr n pnuh berkah." Begitulah isi sms dari Mas Munib.

Masih terbayang jelas di kedua pelupuk mataku kenangan masa-masa OSPEK empat tahun silam. OSPEK yang sangat mengesankan. Pahit manis kurasakan bersama teman-teman seangkatanku di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel. Dari situlah aku mengenal sosok yang beberapa jam lagi akan menjadi prioritas utama dalam hidupku.

Di ujung acara penutupan OSPEK 2007, datang seorang lelaki menuju tempat dudukku. Dia adalah salah satu panitia defisi Protokoler. Sepertinya dia memang mencariku. Untuk apa aku tak tahu.

"Dek, kamu dari Pati ya?," katanya membuka pembicaraan.
"Ya, saya dari Winong, Pati. Dulu saya mondok di Kajen. Lho Kakak kok tahu, tahu dari mana?," tanyaku penasaran.

"Saya tahu dari co card yang kamu kenakan. Saya juga alumni Kajen. Nama saya Munib. Tapi saya asli Malang. Nama kamu siapa?," dia menanyakan namaku dan aku baru ingat bahwa di leherku tergantung co card yang memuat identitasku.

"Nama saya Anis sebagaimana yang Kakak lihat di co card ini. Oh ya, saya senang sekali bertemu dengan orang yang sama-sama pernah merasakan nikmatnya menuntut ilmu di kota Santri itu." Aku mengingat-ingat kembali memori kehidupanku di sana yang tidak akan pernah kulupakan.

Perbincangan kami terus mengalir hingga aku tahu banyak hal tentang dia. Dia adalah santri Pondok Pesantren Maslakul Huda. Sebuah pesantren yang sangat populer di kalangan santri Kajen itu. Bahkan mungkin tak sedikit masyarakat Indonesia yang mengenalnya. Maklum pengasuhnya adalah tokoh NU tingkat nasional, yaitu KH. Sahal Mahfudz. Seorang Kyai yang mendapatkan gelar Doktor Honoris karena karyanya yang berjudul Fiqh Sosial. Buku fenomenal itu di kalangan mahasiswa IAIN juga tidak asing.

Rata-rata kualitas intelektual santri pesantren tersebut tidak diragukan lagi. Dengan demikian bisa kuprediksikan bahwa Kak Munib merupakan orang sangat pintar di bidang ilmu agama. Apalagi selain belajar di pesantren, dia juga menyetorkan hafalan al Qur'annya kepada KH. Nafi' Abdillah, pengasuh Pondok al Qur'an terbesar di Kajen. "The great santri," bisikku dalam hati. Berbeda denganku yang hanya santri biasa yang beruntung mendapatkan beasiswa penuh dari Depag sehingga bisa merasakan bangku kuliah di IAIN ini.

Pertemuan dengan Kakak semester 5 berpenampilan ok berpostur tinggi itu berakhir ketika teman di sampingku mengajakku pulang. Kuakhiri pertemuan itu dengan salam.

Pagi hari di minggu pertama bulan Desember 2007. Sejak memiliki notebook, aku sering ngenet di kampus. Selain mencari data yang berkaitan dengan perkuliahan, tak jarang aku membuka e-mailku. Fasilitas hotspot area harus kumanfaatkan dengan baik.

Mataku tercengang, hatiku berdebar, pikiranku tak percaya, tubuhku gemetar ketika membaca sebuah surat yang dikirim ke alamat e-mailku oleh orang yang tak asing lagi bagiku. Seorang yang kuanggap sebagai kakakku sendiri karena hanya dia satu-satunya alumni Kajen yang ada di kampus ini. Bukan karena pengirimnya yang membuatku kaget, tapi isi suratnya itu yang membuat diriku seakan berada di dunia mimpi.

"Anis, aku mencintaimu dan aku ingin menjadi kekasihmu………"
Sederet kalimat itu merupakan inti dari surat yang dikirim oleh Kak Munib pada jam 23.10 WIB sehari sebelum aku membuka e-mailku. Tak lama kemudian aku pulang ke pesantren tempat tinggalku yang letaknya tak jauh dari gedung Fakultas Syari'ah.

Bulan telah menampakkan sinarnya. Bintang pun tak redup meski harus bersaing dengan jutaan watt lampu yang ada di dunia ini. Angin malam terasa dingin menusuk jiwa. Hampir seluruh mahasantri yang ada di pesantren ini telah nyenyak dalam tidurnya. Mereka tengah asyik dengan mimpi-mimpi indah mereka. Mungkin hanya segelintir orang yang belum memejamkan mata. Termasuk di antaranya adalah aku.

Aku sedang memikirkan surat dari Kak Munib itu. Aku tak tahu harus berbuat apa dan bersikap bagaimana. Di tengah kebingunganmu itu, aku teringat dengan ucapan Nailin, teman karibku yang menjadi tempat curhatku untuk masalah ini.

"Sebaiknya kamu bertemu dengan Kak Munib dan membicarakan permasalahan itu face to face supaya semuanya menjadi clear." Begitu solusi yang ditawarkan oleh Nailin tadi siang yang menurutku tak ada salahnya jika aku mencobanya.

Beberapa saat kemudian kuambil handphoneku. Kuketik beberapa kata dan kukirim ke nomor Hpnya. Aku ingin bertemu dengannya besok. Moga ini solusi yang terbaik.

"Allahumma yassir lana umurana, umurad dunya wal akhirah………" Dengan membaca Basmalah dan mengharap ridha Allah, aku mulai memejamkan mata.

"Assalamu'alaikum…." Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh Kak Munib ketika melihatku dan Nailin di taman kampus yang lebih dulu datang daripada dia. Aku mengajak Nailin dalam pertemuan ini supaya tidak terjadi fitnah. Bukankah apabila ada dua orang berlainan jenis berkhalwat, maka pihak ketiganya adalah syaitan.

"Wa'alaikumsalam…." Aku dan Nailin menjawab salamnya hampir berbarengan.

"Bagaimana kabar kalian? Mudah-mudahan selalu mendapat petunjuk-Nya," dia berbasa basi dengan menanyakan kabar.

"Alhamdulillah, aku dan Nailin dalam keadaan sehat sebagaimana yang kamu lihat saat ini. Kak, saya ingin membicarakan surat kamu kemarin lusa." Aku berusaha bicara sedatar dan setenang mungkin. Padahal jantung ini terasa berdegup kencang.

"Oh ya, silakan. Saya akan menerima apapun keputusanmu"

"Kak, sebelumnya bolehkah saya bertanya sesuatu?," suaraku terdengar makin kecil dan mataku sama sekali tak berani memandang wajahnya. Aku tak tahu kenapa ini bisa terjadi. Padahal biasanya aku berani menatap matanya. Tapi kali ini tidak.

"Bertanya apa, Anis?," dia bertanya penuh penasaran.

"Sebenarnya hal apa yang menyebabkan kamu mencintaiku? Tolong jawab dengan jujur karena ini akan menentukan perasaanku kepadamu."

"Cinta yang beralasan tak akan bertahan lama. Cinta karena kecantikan akan pudar seiring pudarnya kecantikan itu. Cinta karena harta akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya harta itu. Begitu juga dengan cinta yang berpijak pada alasan-alasan yang lainnya. Saya mencintaimu bukan karena suatu alasan apapun. Dengan demikian saya berharap cinta yang saya rasakan ini bisa bertahan sampai kapanpun."

Sebuah jawaban yang sarat akan makna. Itulah jawaban yang aku tunggu untuk mengetahui alasan dia mencintaiku. Aku ingin menangis mendengar jawabannya seperti itu.

"Sekarang giliran saya yang bertanya. Apakah kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku? Apakah kamu bersedia menjadi kekasihku?," dia bertanya serius.

"Sebenarnya hati ini sulit memungkiri bahwa saya juga menaruh simpati kepadamu. Tapi maaf saya tidak bisa menjadi kekasih atau pacarmu. Saya tidak mau menjalin hubungan cinta dengan siapapun sebelum adanya ikatan yang suci. Saya mengharapkan cinta yang dibangun di atas pondasi yang berlabelkan halal. Supaya saya bisa mencintai dengan sepenuh jiwa dan raga.. Jujur saya tak ingin seperti kebanyakan orang yang menjadikan pacaran sebagai ajang untuk bersenang-senang belaka," aku berkata dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaannya.

Aku segera mengakhiri pertemuan itu karena sebentar lagi ada jam kuliah. Kesimpulan dari perbincangan kami yang panjang lebar itu adalah kami sepakat untuk tidak menjalin hubuingan yang disebut dengan pacaran. Kami harus menunda perasaan cinta ini. Entah sampai kapan, kami belum tahu. Kami saling mendoakan semoga Allah menciptakan yang terbaik untuk kami. Meskipun tidak pacaran, kami tetap berteman. Kami harus melupakan peristiwa itu agar tidak mengganggu konsentrasi kuliah kami.

Empat tahun sudah peristiwa itu berlalu. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menahan rasa cinta. Dalam jangka waktu selama itu aku harus berusaha semaksimal mungkin supaya cintaku terjaga dengan baik. Dan inilah hari kemenangan. Hari di mana sebuah prosesi sakral akan dilangsungkan. Sebuah ikatan yang suci akan kujalin dengannya. Ya, hari ini aku akan menikah dengannya. Orang yang aku selalu berharap bisa mencintainya hanya karena Allah. Supaya cinta ini tidak membutakan hati kami. Aku berjanji akan menaati seluruh perintahnya sepanjang tidak melanggar syara'. Aku akan berusaha menjadi a good wife and a good mother.

"The most important…… I wanna love you cz of Him," kalimat utama yang kubisikkan ke telinganya sesaat setelah akad nikah berlangsung.

"So do I, semoga cinta yang kita rasakan ini semata karena Allah," jawabnya sambil menggenggam tanganku erat.

1 komentar:

Abd. Basid mengatakan...

alur cerita yang sangat mulya. santri banget....:-)