Kamis, 25 Desember 2008

Anugerah dari Sang Pencipta

Bulan masih tampak terang di langit ditemani bintang-bintang yang juga terlihat indah. Malam belum terkalahkan oleh siang. Jarum jam menunjuk ke angka 3. Sebuah fenomena yang biasa terjadi, yaitu santri-santri di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum (PPRU) tengah asyik dalam sujudnya. Termasuk juga aku. Di pesantren yang terletak di desa Kajen, Pati Jawa Tengah ini, tradisi semacam itu telah mengakar dalam diri santri. Tentunya berkat kerja keras pengasuh yang tak henti-hentinya mengingatkan, mengontrol dan memotivasi seluruh santrinya untuk selalu bermunajat kepada Allah terutama di sepertiga malam terakhir.

Berbagai bait doa kuucapkan dengan penuh kekhusyu’an dengan harapan semoga Sang Pencipta mengabulkan permohonanku. Usai sholat tahajjud empat rakaat, aku segera menuju kamarku yang berada di samping mushalla pondok untuk melihat kembali isi tas yang akan kubawa besok pagi dalam perjalanan ke Semarang untuk mengikuti tes seleksi penerima beasiswa Depag. Tes yang kutunggu sejak aku memasuki tahun ajaran baru di kelas XII. Tentunya aku berharap bisa mengerjakan soal-soal yang ada dengan baik dan lulus. Sehingga aku bisa melanjutkan study di perguruan tinggi tanpa biaya.


Selang beberapa menit kemudian adzan subuh berkumandang. Seluruh santri berkumpul di mushalla untuk melaksanakan shalat subuh berjama’ah. Rasa ukhuwah begitu kuat tertancap dalam jiwa mereka. Kedamaian selalu kurasakan ketika berada di antara mereka.

“Allahu Akbar Allahu Akbar. Asyhadu an la ilaha illallah. Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Hayya ‘alas shalah. Hayya ‘alal falah. Qad qamatis shalah. Qad qamatis shalah. Allah akbar. Allah akbar. La ilaha illallah. ” iqamat telah dikumandangkan. Itu berarti jama’ah akan segera dimulai.
***

Kenangan masa-masa awal aku belajar di pesantren masih terekam jelas dalam otakku. Sampai kapanpun aku tak akan melupakannya. Perjuangan dalam thalabil ilmi yang oleh sebagian orang tak terasa berat. Aku ingat betul bagaimana Bapak bekerja untuk kelangsungan hidupku di pesantren. Padahal keluarga di rumah juga membutuhkan uang yang tak sedikit. Tiap bulan aku dipasok uang dari rumah yang jumlahnya jika dibandingkan dengan teman-teman yang tidak ada apa-apanya. Ya, saat itu Bapak memberiku Rp 200.000,00/bulan. Padahal rata-rata teman di pondokku menerima dari rumah minimal Rp 300.000,00/bulan. Akan tetapi aku tidak berkecil hati. Aku yakin dengan uang yang terbatas, aku akan tetap bisa mewujudkan cita-citaku. Aku menyadari kondisi orang tuaku yang hanya seorang petani tambak.

“Fia, dalam menuntut ilmu kamu harus sabar. Walaupun Bapak hanya bisa memberimu uang yang pas-pasan, tapi kamu jangan pernah berputus asa. Jangan kau jadikan keterbatasan materi sebagai alasan ketidaksuksesanmu. Ingatlah selalu tujuan utama kamu dari rumah. Bukankah kamu ingin menjadi seorang wanita yang kaya akan ilmu?,” kata Bapak ketika aku menuntut uang saku yang lebih. Nasihat yang sangat menusuk hati. Rasanya aku ingin menangis saat itu.

Tapi sayang, setahun kemudian Bapak dipanggil oleh Sang Khaliq. Tepat di hari ulang tahunku yang ke-16. Hari yang seharusnya aku merasa bahagia karena diberi usia yang panjang oleh Allah. Justru sebaliknya yang terjadi. Aku sangat sedih. Sejak itu aku memutuskan untuk mengabdikan diri di pesantren sebagai khadim pengasuh karena aku tak ingin membebani ibuku untuk membiayai sekolahku. Aku masih memiliki dua saudara yang duduk di bangku kelas V dan VIII. Meskipun aku hidup dalam keadaan serba kurang, namun semangat belajarku tak kendur sedikitpun. Aku menelaah kembali pelajaran-pelajaran di waktu selaku. Tak jarang aku masak di dapur dengan ditemani kitab. Walaupun demikian aku tetap menjaga kebersihan dan kerapian buku dan kitabku. Karena aku berharap mudah-mudahan dengan cara seperti itu akan bisa memberi efek positif dalam kegiatan belajarku.

“Mbak Fia, aku kagum kepadamu. Aku salut dengan semangat belajar yang kamu miliki. Kamu berbeda dengan mayoritas santri di sini. Semoga Allah selalu memudahkan jalan kamu,” kata Ida ketika dia melihatku tengah asyik membaca Bulughul Maram padahal aku sedang menunggu nasi yang hampir matang. Ida adalah ketua PPRU Putri. Dia sering berdiskusi denganku tentang banyak hal.
***

Tanggal 30 Juli 2006 menjadi salah satu hari bersejarah dalam hidupku. Kebahagiaan yang amat besar memenuhi seluruh ruang hatiku hingga tak ada sedikitpun celah untuk merasakan kesedihan. Untaian hamdalah berkali-kali kuucapkan dengan penuh keikhlasan. Aku tak percaya apakah yang kurasakan ini benar-benar nyata ataukah tidak. Teman-teman di pesantren silih berganti mengucapkan selamat kepadaku. Aku menangis terharu. Aku tak mampu menahan butiran-butiran lembut yang ada di pelupuk mataku. Hingga pipiku basah karena tangis bahagia.

“Mbak, selamat ya kamu diterima di IAIN Sunan Ampel. Saya nanti juga ingin seperti kamu. Pintar, cerdas, tidak sombong, baik hati dan pokoknya sifat yang baik ada dalam diri kamu.” Ida adalah orang kesekian kalinya yang mengucapkan selamat kepadaku atas keberhasilanku diterima di IAIN Sunan Ampel Surabaya tanpa biaya sepeserpun. Karena aku mendapatkan beasiswa dari Depag.

Ujian di Semarang yang kutempuh satu bulan yang lalu dengan penuh perjuangan baik jiwa maupun raga telah membuahkan hasil yang bagus dan maksimal. Ya, aku akan melanjutkan study di kampus Surabaya itu. Kampus yang selama ini belum pernah kukunjungi karena memang letaknya yang jauh. Tapi dengan semangat baru disertai niat libtighai mardhatillah aku akan berjuang di kota itu.

”Fia, ada kabar menggembirakan untuk kamu. Dengarkan dengan baik.” Kalimat pembukaan yang disampaikan oleh Kyai Umar membuatku deg-degan dan bertanya-tanya. Gerangan ada kabar gembira apa yang ingin disampaikan oleh beliau. Aku tak berani menatap mata beliau. Bukan karena takut tapi lebih karena faktor menghormati.

Kudengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakan oleh Pengasuh. Dan ada satu berita utama yang membuatku ingin sujud syukur seketika, yaitu aku diterima di IAIN Sunan Ampel melalui jalur Depag. Itu berarti dalam melanjalani perkuliahan nati seluruh kebutuhanku telah ditanggung oleh Depag. Sebuah anugerah yang agung dari Yang Maha Agung.

“Fia, selamat kamu telah berhasil merebut beasiswa itu. Beasiswa yang tak mudah diperoleh kecuali oleh mereka yang sungguh-sungguh dalam belajar disertai doa yang tulus. Memang segala sesuatu membutuhkan kesabaran dan perjuangan. Lapar, capai, letih, kantuk yang sering kamu rasakan di pesantren ini telah membuahkan hasil. Kesabaranmu telah diganti oleh Allah dengan anugerah beasiswa ini. Tapi ingatlah Fia, kamu jangan terlena dan bangga dengan apa yang berhasil kamu raih sekarang. Kamu harus memanfaatkannya dengan baik. Jangan kamu menyalahgunakan amanat yang telah dibebankan kepadamu. Mulai detik ini kamu harus memperbaharui niat.” Nasihat Kyai Umar membuat jiwaku gemetar. Sebuah motivasi yang mudah-mudahan selalu kuingat meski aku berada jauh dari beliau.

7 komentar:

Hibatun Wafiroh mengatakan...

ohhhh...... no....... yes.........
andai aku bisa bertemu dengan orang yang telah menggubah cerpen ini, entah apa yang bisa kuperbuat dengan sang pengarang.
ternyata, nyesel aku sudah-sudah gak usah dilanjutkan.

Radinal Mukhtar Harahap mengatakan...

mantap. komentari juga blog saya di http://kumpulan-q.blogspot.com

Anonim mengatakan...

terus berkarya ya...............hehehe, salam

tulisanku mengatakan...

wah... memang benar!! semakin kita belajar, semakin kita bisa merasakan manisnya proses pembelajaran itu sendiri dan pada akhirnya, akan menuai nya insyaAllah di kemudian hari.
I Proud of You hibah,,, :)

Anonim mengatakan...

mmmmmmmmm, keren reek. meaningfull. Hibbah,maaf ya baru bisa kunjungan balik, cz lama banget q g update blog. so, g tau ada komen dari Hibbah. sekadar info, ini blog baruku http://www.pumpingtalent.blogspot.com/
kunjungi ya?.....

jawaholik mengatakan...

jadi ingat sekitar th 1998 di PPRU. Waktu itu musholla baru blum ada. jadi kadang tidur di emperan dekat tempat wudlu.klo hujan langsung tunggang langgang.Apalagi kalo yg mbangunin Yai Fayumi sendiri.Tau ndak?? waktu itu PPRU sempat di datangi Perampok lho,...

Hibatun Wafiroh mengatakan...

@Jawaholik:
Kamu alumnus PRU thn berapa? Kalau aku di PRU dr thn 2004-2007. Wah, kalau thn 1998 aku masih SD, blm mondok. Hehe. Berarti benar2 sudah lama ya.
Km beruntung sekali bisa berjumpa dg Kiai Fayumi. Jujur, sewaktu di Kajen aku mengharapkan sosok kiai spt beliau. Tp beliau sudah lebih dulu menghadap Allah sblm aku mondok. Moga beliau mendapat kebahagiaan di alam sana. Amin...:)
O ya, kalau boleh th, nama asli km siapa? Suro ini ke Kajen nggak?