
Langit masih terlihat gelap meski bumi telah diterangi oleh miliaran watt lampu listrik. Tak ada satu pun sumber cahaya di dunia yang mampu mengalahkan bulan, bintang dan matahari. Suara bising kendaraan belum terdengar sebab sebagian besar manusia tengah asyik mengembara di alam mimpi mereka. Inilah saat yang tepat bagiku untuk meninggalkan Surabaya, sebuah kota yang menjadi saksi bisu akan kebusukanku di masa lalu. Aku tak ingin orang lain mengetahui kepergianku. Oleh karena itu, kuputuskan untuk meninggalkan rumah sebelum adzan Shubuh dikumandangkan.
Tanpa terasa aku sudah sampai di terminal Bungur Asih. Sebelum masuk ke dalam bus, terlebih dahulu kulaksanakan shalat Shubuh. Meski diriku berlumuran dosa, namun kewajiban yang satu itu tak pernah kutinggalkan. Aku juga tak mau perjalananku nanti tak direstui oleh-Nya karena aku melalaikan perintah-Nya.
Tempat yang kutuju ialah Kajen, sebuah desa di kabupaten Pati, Jawa Tengah yang terkenal akan santri dan kiainya sebab di sana ada puluhan pesantren yang ditempati oleh ribuan santri. Itulah kenapa Kajen disebut dengan Kota Santri. Sebelumnya aku tak pernah mengenal nama Kajen, sebab wawasanku tentang itu tak begitu luas. Aku mengetahuinya dari seorang pria baik hati bernama Pak Muhim dua hari setelah ayahku meninggal dunia.