Minggu, 08 November 2009

Air Mata 25 Mei

By: Hibatun Wafiroh
Jam empat sore aku sampai di taman kampus yang berada di samping kantin. Aku sengaja ke sini di saat mahasiswa lainnya mulai meninggalkan kampus yang terletak di Surabaya ini. Aku duduk di antara tanaman dan pohon rindang bukan tanpa tujuan atau sekedar menghabiskan waktu. Tetapi aku sedang menanti seseorang yang telah berjanji akan menemuiku di taman ini. Janji yang selalu kuingat setiap saat.

“Indri, tunggulah aku di sini setiap tanggal 25 Mei jam empat sore. Dalam keadaan bagaimana pun juga aku pasti akan datang menemuimu di tempat ini.” Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku. Dia mengucapkannya delapan bulan yang lalu ketika acara wisuda S1 di kampus ini.

“Ya, aku akan selalu menunggumu di sini. Aku akan setia menanti kedatanganmu,” jawabku dengan suara terisak.


Suaraku terdengar parau dan air mataku nyaris tak tertahankan karena pasca wisudanya aku tak bisa menemuinya lagi. Dia akan kembali ke kota kelahirannya, yaitu Semarang. Itu artinya kesempatan untuk bertemu dengannya akan sangat sulit. Tanggal 25 Mei dipilihnya sebagai hari perjumpaan sebab itu adalah hari ulang tahunku dan pada tanggal itu pula dia pertama kali menyatakan cinta padaku.

Henky adalah nama pria yang mengisi ruang hatiku selama tiga tahun terakhir ini. Usianya lebih tua dua tahun daripada aku. Dia menyelesaikan pendidikan S1 di saat aku memasuki semester 7.

Ketika status mahasiswa masih bersemayam dalam dirinya, komunikasi di antara kami selalu lancar. Mulai dari sms hingga pertemuan langsung. Bahkan terkadang kami menjadikan internet sebagai media berinteraksi.
Setelah dia meninggalkan Surabaya, suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Di samping tidak bisa menatap mukanya, komunikasi pun tersendat. Nomornya mendadak tidak aktif sehari setelah kepulangannya ke Semarang tanpa kuketahui penyebabnya. Aku tak ambil pusing karena aku bisa mengirimnya pesan via e-mail dan facebook. Namun hanya kekecewaan yang kudapat sebab ia tak membalas pesanku itu sama sekali. Padahal lebih dari seratus pesan kukirim selama delapan bulan. Aku tak mengenal lelah mengharapkannya. Kekecewaan yang pernah kurasakan sirna ketika aku ingat janji-janji manisnya dulu. Mungkin kesibukan membuatnya tak memiliki waktu meski hanya untuk membuka e-mail atau facebook. Hingga bulan Mei pun tiba.

Di bulan ini aku menagih janjinya untuk menemuiku di taman kampus. Berulang kali aku mengingatkannya melalui dunia maya perihal janjinya itu. Jika nanti Henky memang tidak datang berarti dia benar-benar telah ingkar janji dan itu pertanda bahwa aku bukanlah orang spesial baginya. Dengan berat hati aku harus melupakannya. Waktu delapan bulan kurasa sudah cukup bagiku untuk bersabar dalam ketidakpastian.

Detik telah tergantikan oleh menit dan menit perlahan berubah menjadi jam. Satu jam lebih aku duduk sendiri di taman yang seluruh sudutnya dipenuhi cemara. Beruntung aku membawa laptop sehingga kesepianku sedikit terobati dengan browsing di internet. Tapi dalam lubuk hati ada perasaan jengkel karena kekasih yang kutunggu tidak muncul juga. “Barangkali dia memang tidak akan datang,” lirihku dalam hati.

Akhirnya kuputuskan untuk menunggunya hingga jam 17.40 WIB. Jika dia tidak sampai juga di sini, aku akan pulang dan menganggapnya tidak pernah ada dalam sejarah hidupku. Untuk apa mengharapkan seseorang yang tak peduli padaku.

Kumatikan laptop, lalu kupandangi jarum jam tanganku yang terus berputar tanpa mengenal lelah. Perlahan tapi pasti malam akan tiba. Itu artinya waktu penantianku akan segera berakhir.

Di tengah-tengah keheningan sore, tiba-tiba seorang perempuan menghampiriku seraya bertanya, “Maaf, apakah kamu yang bernama Indri?”

“Ya, betul saya Indri. Mmm... ada perlu apa?” Rasa heran masih memenuhiku.

“Saya Wulan. Maukah kamu ikut saya sebentar ke sana,” pintanya sambil menunjukkan arah parkir.

Tanpa menunggu waktu lama aku langsung bangkit dan mengikuti langkahnya. Wulan berhenti ketika sampai di hadapan pria berkulit putih yang tak kukenal.

“Indri, ini Roni,” Wulan mengenalkan cowok di sampingnya. “Roni adiknya Henky. Sedangkan saya kakaknya. Kami ke sini ingin menyampaikan amanat dari Henky,” lanjutnya.

“Dia sekarang di mana? Dan dia titip pesan apa?” tanyaku dengan penuh penasaran dan keterkejutan.

“Mbak Indri, sebelumnya minta maaf jika apa yang akan kami sampaikan nanti menyakitimu,” Roni mulai angkat bicara. “Dulu sewaktu pulang ke Semarang usai wisuda, musibah menimpa Mas Henky. Motor yang dikendarainya tertabrak bus dan hampir masuk ke sungai. Kecelakaan itu terjadi di Rembang. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian nyawanya tidak tertolong lagi.” Berita duka yang baru saja disampaikan Roni seketika membuat tubuhku lemas tak berdaya. Pupus sudah harapanku. Butiran-butiran lembut perlahan keluar dari pelupuk mataku. Aku nyaris roboh dan pingsan, namun tetap kutahan.

“Lalu kenapa kalian tidak memberitahuku sejak dulu? Kenapa kalian merahasiakan hal ini dariku? Tahukah kalian bahwa selama ini aku berusaha menghubungi Henky lewat telepon, e-mail dan facebook, namun hasilnya nihil. Dan ternyata dia telah tiada di dunia ini,” kataku dengan nada rendah.

“Mbak Indri, kecelakaan yang merenggut nyawa Mas Henky itu menyebabkan telepon selulernya tercebur di sungai sehingga kami tidak bisa menghubungimu. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, dia berpesan agar kami menemuimu di sini pada tanggal 25 Mei. Dan hari ini kami menepatinya. Sekali lagi kami minta maaf,” Roni menceritakan panjang lebar. Sedangkan aku hanya bisa menangis dan menangis. Lelaki yang kuharapkan kedatangannya di setiap detak jantungku sejak delapan bulan yang lalu ternyata nyawanya telah diambil oleh Tuhan. Perasaan menyesal, bersalah, tak percaya dan sedih bercampur jadi satu membuat hari yang seharusnya diliputi dengan rasa bahagia karena bertambahnya usiaku, justru menjadi hari yang penuh duka cita.

Penulis adalah pelajar yang berdomisili di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar: